jpnn.com - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Rosa Ristawati menyebut demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran setelah putusan MK tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.
Rosa bahkan menilai saat ini terjadi pembajakan konstitusi (constitutional hijacking) dengan adanya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
BACA JUGA: Putusan MKMK Mencopot Anwar Usman Bikin Pencalonan Gibran Cacat Hukum dan Etika
Hal itu disampaikannya dalam diskusi bertajuk "Quo Vadis Demokrasi dan Hukum Pasca-Keputusan Mahkamah Konstitusi" yang digelar Pusat Studi Hukum dan HAM FH Unair kerja sama Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, di Surabaya, Kamis (9/11).
Dia menuturkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah kelembagaan yang dari awal ditujukan untuk memastikan demokrasi konstitusional berjalan dengan baik.
BACA JUGA: Dicopot dari Ketua MK, Anwar Usman Ungkap Sebuah Skenario
Akan tetapi, situasi saat ini justru menempatkan MK sebagai aktivis yang melebihi kompetensinya dimana juristocracy terjadi.
"juristocracy adalah kepemimpinan dengan hukum tangan besi, semua bentuk kesewenangan dilegalisasi melalui hukum. Saat ini terjadi pembajakan konstitusi," ujarnya.
BACA JUGA: Prabowo-Gibran Unggul di 2 Provinsi, Ganjar - Mahfud Kuat di Jateng, Anies-Muhaimin di DKI
Dia menyebut putusan MK tentang perkara Nomor 90 tersebut menjadi bukti sekaligus pintu masuk pembajakan. Pertanyaannya, kata dia, siapa yang membajak?
"Kekuasaan hari ini telah bertransformasi dari berdasarkan keadilan dan kepastian hukum, menjadi major political issue. Hal yang lebih berbahaya lagi adalah tidak mencerminkan keadilan publik bahkan bertentangan dengan nalar publik," tuturnya.
Rosa menyampaikan bahwa Indonesia saat ini mengalami kemunduran demokrasi, pergeseran demokrasi, bahkan krisis demokrasi yang bisa berujung pada quo vadis demokrasi atau frustrated democracy.
"Di mana ada value demokrasi tetapi rakyat menjadi cynical dan apatis dengan demokrasi yang dijalankan," ucap akademisi bergelar doktor itu.
Dia menambahkan bahwa MK saat ini menjadi 'as a tool for political interest atau alat untuk kepentingan politik. Seharusnya lembaga tinggi itu berperan sebagai equilibrium judicial.
"Akan tetapi menjadi yudisialisasi politik yang mengancam independensi MK sebagai salah satu kekuasaan kehakiman," ujar Rosa.
Oleh karena itu, dia berharap para hakim MK menjaga independensi, imparsialitas, dan substansi putusan berkualitas dengan argumentasi yang kuat dan nalar yang jernih.
"Hakim harus secara sadar diri sebagai ethical person, harus terhindar dari anasir control, intervensi dari pihak luar," ujar Rosa.
Masih dalam diskusi yang sama, Direktur LIMA Ray Rangkuti bicara soal demokrasi menjamin kebebasan menyampaikan pendapat, sehingga harus dijaga dan dipertahankan.
"Jika demokrasi terancam maka bisa menyebabkan tragedi kemanusiaan," ucap Ray.
Menurut dia, pondasi demokrasi sekarang sedang digerogoti hampir dari semua aspek. Kebebasan berpendapat sekarang begitu mahal, karena ada intimidasi, dianggap penghinaan, dan kemudian dipenjara.
"Penggerogotan demokrasi dapat kita lihat, misalnya melalui ada tentara nurunin baliho, revisi UU ASN yang membolehkan tentara menduduki jabatan sipil, dan masih banyak lagi," ujarnya.
Ray menyebut munculnya dinasti politik belakangan ini justru memanfaatkan sistem demokrasi dan dilahirkan oleh orang yang dipilih secara demokratis.
Dia mengatakan saat ini terjadi kemunduran karena cita-cita reformasi, yakni demokrasi sudah memiliki banyak penurunan seperti banyak kebijakan dan regulasi yang tidak melibatkan masyarakat.
"Dinasti politik jelas merupakan penyimpangan dalam dunia demokrasi," ucap Ray Rangkuti.
Selain itu, dia menilai putusan MK atas Perkara Nomor 90 akan membuat klasifikasi pada anak muda kedepan, karena keputusan itu bukan merefleksikan atau memberikan anak muda kesempatan, melainkan hanya memberi karpet merah kepada anak muda elite politik saja.
"Putusan 90 hanya akan melanggengkan anak muda dalam konteks dinasti politik," kata Ray.(fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Video Bintang Emon soal Cara Tutupi Dosa Masa Lalu & Dinasti Dihapus, Ada Intimidasi?
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam