jpnn.com - Saya sedih melihat apa yang terjadi di PWI Pusat --Persatuan Wartawan Indonesia --sekarang ini.
Lebih sedih lagi karena saya tidak bisa menulis secara objektif. Semua yang bersilang sengkarut di situ adalah teman sendiri. Baik mereka yang di atas panggung maupun yang di balik layar.
BACA JUGA: Drama Juga
Dewan Kehormatan PWI memecat Ketua Umum PWI Hendry Ch Bangun, bahkan sekjen PWI dipecat sampai ke keanggotaan PWI-nya. Akan tetapi yang dipecat itu melawan.
Sekjen yang ikut menandatangani surat pemecatan itu sudah dipecat oleh ketua umum PWI pusat. Maka Hendry tetap merasa sebagai ketua umum.
BACA JUGA: Ide Terakhir
Hendry juga tetap masuk kantor di lantai atas Gedung Dewan Pers Jalan Kebun Sirih Jakarta Pusat.
"Ini saya baru pulang dari rapat PWI di kantor," ujarnya saat saya telepon kemarin petang.
BACA JUGA: Terbaik Baru
Saya sendiri resminya masih anggota Dewan Penasihat PWI Pusat, tetapi tidak pernah aktif. Sudah lama saya merasa tidak harus menasihati para pengurus.
Saya sudah terlalu jauh meninggalkan dunia organisasi wartawan --sejak jadi dirut sebuah koran di Surabaya dulu. Saya lebih merasa sebagai juragannya para wartawan daripada sebagai wartawan.
Karena itu organisasi saya adalah Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) --sampai tiga periode sebagai ketua umumnya. Saya pernah lari meninggalkan kongres SPS agar tidak terpilih, ups, dipilih juga.
Melihat kemelut di PWI sekarang ini saya tidak akan memberi nasihat apa-apa. Sudah terlalu ruwet.
Hendry, misalnya, juga tidak akan mau ketika saya beri nasihat untuk mengalah: mengundurkan diri. Dia merasa benar. Pemecatannyalah, katanya, yang salah.
Saya juga memberikan pilihan kepadanya: bagaimana kalau KLB --Kongres Luar Biasa. Itu, kata Hendry, tidak mungkin.
KLB memang bisa terlaksana kalau diminta oleh 2/3 pengurus cabang --berarti sekitar 20 daerah. Namun, menurut AD/ART organisasi ada syarat lain: yakni kalau ketua umumnya sudah jadi tersangka dalam perkara pidana.
Saya pun nguping sana-sini: apa sih pokok pangkalnya. Ups. Soal dana. Rp 6 miliar.
Dana itu didapat dari Forum Humas BUMN. Sifatnya sponsor kegiatan. Yakni untuk biaya penyelenggaraan UKW --uji kompetensi wartawan. Bunyi kontraknya: untuk UKW di 10 daerah.
"Jelas sekali dana itu sifatnya sponsor. Bukan CSR BUMN," ujar Hendry. "Tetapi saya diberhentikan dengan tuduhan menyelewengkan dana CSR," tambahnya.
Itu yang Hendry tidak bisa menerima. "Dasar pemecatannya pun sudah salah," tambahnya.
Yang menuduh ada penyelewengan itu rupanya punya dasar. Sebagian dana itu memang dikeluarkan untuk komisi bagi yang berjasa mendapatkan sponsor. Hendry mengakui itu, tetapi bukan penyelewengan.
Menurut Hendry, sejak tiga kepengurusan sebelumnya, sudah berlaku aturan itu. Ada SK-nya. Yakni siapa yang berjasa mendapatkan sponsor akan mendapat bagian.
Dari situlah muncul rumor soal cash back. Dan siapa saja yang menerimanya. Hendry memang tidak menerima tetapi dianggap harus bertanggung jawab.
Hendry adalah pensiunan jajaran redaksi Kompas. Kini dia memimpin media online Hello Indonesia. Di zaman ketua umum PWI Margiono, Hendry menjabat sekjen.
Hendry orang Karo. Marganya Bangun. Waktu kecil namanya Hendry Bangun --terinspirasi oleh kehebatan tokoh palang merah dunia asal Swiss, Hendry Dunant.
Dia pun dipanggil Hendrik. Waktu kelas tiga SD di Medan, di tengah nama Henry Bangun diberi singkatan "Ch": Henry Ch Bangun. Itu karena sekeluarganya menjadi mualaf. "Ch" adalah singkatan Chairuddin. Sebelum itu keluarga ini menganut agama adat.
Kalau tidak ada yang mengalah, heboh PWI ini masih akan panjang. Kecuali dewan penasihat turun tangan dengan full power. Ketuanya: Ilham Bintang. Dia bos besar media terkenal Cek Ricek. Dia dua kali menjabat ketua dewan kehormatan.
Sebenarnya saya ingin Ilham sekali lagi menjabat Dewan Kehormatan, tetapi aturan melarang: maksimal hanya boleh dua periode.
Rasanya Ilham adalah tokoh ”langitan” terakhir menjabat ketua dewan kehormatan.
Kongres PWI seharusnya ketat menetapkan persyaratan ketua dewan kehormatan: agar terjaga tradisi bahwa ketua dewan kehormatan adalah kelas ”suhu”.
Akan tetapi beginilah konsekuensi sistem pemilihan dengan cara suara terbanyak. Rasanya sudah waktunya susunan pengurus dewan kehormatan jangan dipilih berdasarkan suara terbanyak.
DK adalah hati nuraninya profesi. Bukan wakil suara terbanyak. DK adalah penjaga etika tertinggi sebuah profesi, bukan corong suara terbanyak. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Tanpa Lipstik
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Tim Redaksi