Quo Vadis Penegakan HAM di Papua?

Oleh: Dr. Filep Wamafma, SH, M.Hum (Anggota DPD RI Dapil Papua Barat)

Senin, 07 Desember 2020 – 16:43 WIB
Anggota DPD RI Papua Barat, Dr. Filep Wamafma. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com - Minggu, 5 Desember 2020, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa menegaskan bahwa ada 7 (tujuh) langkah strategis yang telah dilakukan Pemerintah Pusat untuk percepatan pembangunan kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.

Pertama, pemerintah menegaskan bahwa Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah langkah asimetris, afirmatif, dan kontekstual dalam mengelola pembangunan, pemerintahan daerah, dan pelayanan publik di Tanah Papua.

BACA JUGA: Wakil Ketua DPD RI Imbau Masyarakat Tetap Ikut Pilkada dan Terapkan Prokes

Kedua, Otsus telah membuka ruang bagi Orang Asli Papua (OAP) untuk berperan serta dalam pemerintahan daerah. Ketiga, Otsus menjadi panduan pemerintah melalui Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Papua dan Papua Barat.

Keempat, langkah Presiden Joko Widodo melalui adopsi pendekatan kultural wilayah adat dan ekologis dalam perencanaan pembangunan nasional. Kelima, komitmen untuk memberdayakan OAP dalam ruang publik, baik di jajaran kementerian/lembaga, TNI/Polri, dan BUMN.

BACA JUGA: Filep Wamafma: Kasus Pembunuhan Pendeta Yeremia Mulai Terkuak

Keenam, pemerintah juga menetapkan Provinsi Papua sebagai tuan rumah PON XX Tahun 2020. Ketujuh, berbagai kebijakan afirmatif untuk Papua didasarkan dengan kondisi global yang berlangsung.

Ketujuh langkah ini sesungguhnya tidak membedakan Papua dan Papua Barat dari provinsi lain. Tidak ada kekhususan yang afirmatif. Mengapa? Bila Pemerintah memahami kondisi Papua, persoalan pertama-tama yang membuat adanya penolakan terhadap berbagai kebijakan afirmatif untuk Papua dan Papua Barat adalah pengesampingan penegakan HAM.

BACA JUGA: Tokoh Papua Ingatkan Benny Wenda Jangan Mencari Sensasi

Amnesty International Indonesia mencatat, hingga September 2020, total pembunuhan di luar hukum di Papua sepanjang 2020 saja setidaknya mencapai 15 kasus dengan total 22 korban.

Belum lagi bila dihitung dengan peristiwa penembakan dan rasisme. Lima kasus yang belum pernah selesai ialah kasus Biak Numfor pada Juli 1998, peristiwa Wasior pada 2001, peristiwa Wamena pada 2003, peristiwa Paniai pada 2014, dan kasus Mapenduma pada Desember 2016. Ditambah lagi kini peristiwa Nduga dan penembakan Pendeta Yeremias.

Bila mau ditarik ke belakang, pada tahun 2018, Komnas HAM pernah melakukan pertemuan dengan Komisioner tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zeid Ra’ad Al Hussein, untuk membahas permasalahan strategis terkait isu HAM di Indonesia.

Salah satu permasalahan yang dibahas adalah penyelesaian HAM masa lalu. Pertanyaannya, seberapa jauh kebijakan Pemerintah berdampak terhadap penegakan HAM di Tanah Papua?

Terlalu banyak nuansa pendekatan keamanan yang diadakan oleh Pemerintah dalam menghadapi persoalan di Papua yang tidak berdampak signifikan bagi penyelesaian Papua, terutama kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Celakanya, Pemerintah seperti menutup mata terhadap hal ini.

Mengapa penegakan HAM jauh lebih penting di atas semua program yang lain? Ketika Universal Declaration of Human Rights dideklarasikan pada 10 Desember 1948, hal pertama yang dipikirkan ialah harga diri manusia. Harga diri manusia adalah prinsip dasar HAM, yang menyatakan bahwa semua orang layak untuk dihormati, semata-mata karena mereka adalah manusia.

Terlepas dari usia, budaya, agama, etnik asal, warna kulit, jenis kelamis, orientasi seksual, bahasa, kemampuan, status sosial, status civil atau keyakinan politik, semua individu layak untuk dihormati. Harga diri manusia inilah yang menjadi titik tolak dari peradaban. Ukuran kemanusiaan manusia terletak pada penghormatan pada harga diri.

Tanah Papua, Orang Asli Papua, merupakan wajah peradaban yang harus dihormati harga dirinya. Konflik-konflik yang terjadi hanya mengafirmasi dan mengulangi ritme pelanggaran HAM.

Sementara gerakan militerisme masih terus berlanjut hingga ke pelosok gunung-gunung Papua. Bagaimana mungkin kita mengimpikan dunia tanpa senajat dan kekerasan di Tanah Papua, bila senjata selalu dikedepankan?

Pemerintah seharusnya meletakkan kembali setiap kebijakan ke ruang penegakan HAM di Tanah Papua.

Kedamaian batin Orang Papua justru menjadi hal utama, yang dilakukan melalui penegakan HAM yang transparan. Atau jangan-jangan, pengabaian terhadap penegakan HAM di Papua adalah sebuah bentuk “Papua fobia”? Mungkin hanya Tuhan yang tahu!


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler