jpnn.com - Mahkamah Konstitusi akhirnya memberikan putusan (Putusan MK Nomor 87/PUU-XXI/2023) pada 29 November 2024 dalam permohonan uji materi terhadap Pasal 42 UU Nomor 19 Tahun 2019 (UU KPK), yang mengatur bahwa KPK berwenang untuk menangani perkara korupsi baik dalam lingkup peradilan umum maupun militer.
Putusan ini menjadi sebuah jawaban atas polemik yang sempat terjadi pada tahun 2023 lalu dimana KPK pada saat itu menangani kasus Basarnas yang melibatkan jenderal bintang tiga TNI atau Kepala Basarnas.
BACA JUGA: PDIP Tak Permasalahkan Mutasi Besar-Besaran di TNI Setelah Pelantikan Prabowo
Polemik tersebut kemudian bereskalasi saat TNI kemudian mengajukan protes kepada KPK dalam penanganan kasus ini karena dianggap sudah keluar batas kewenangan.
Selanjutnya KPK meminta maaf melalui pernyataan pers oleh Pimpinan KPK dengan alasan “kekhilafan”.
BACA JUGA: Pesawat Tempur TNI AU Diterbangkan Malam-malam di Indonesia Timur, Ada Apa?
Sontak seluruh media kemudian meliput dan menjadi buah bibir dalam masyarakat, baik itu pro maupun kontra.
Sebagian besar organisasi masyarakat pemerhati program antikorupsi di Indonesia menyayangkan pernyataan Pimpinan KPK tersebut dan berdalih merupakan sebuah kemunduran dan ketakutan lembaga anti-rasuah tersebut, hingga dugaan bahwa KPK sudah dilemahkan dan dipolitisir lebih jauh.
BACA JUGA: KSAD Jenderal Maruli Pimpin Wisuda Purnawira 160 Pati TNI AD
Alhasil, uji materi diajukan ke MK terkait pasal kewenangan KPK dalam perkara koneksitas.
Masyarakat dan para pemerhati boleh berpendapat apapun terhadap fenomena penanganan korupsi di lingkungan militer oleh KPK.
Namun kini, MK telah memutus bahwa penanganan korupsi di tubuh militer oleh KPK tetap dimungkinkan dengan syarat harus sudah terlebih dahulu atau sejak awal memang ditangani oleh KPK.
Tentu saja hal ini tetap melahirkan pro dan kontra, dimana selama ini UU yang ada sebenarnya telah memisahkan secara jelas tentang kedudukan kewenangan dalam perkara koneksitas yang diatur dalam hukum pidana biasa dan militer, termasuk hukum acara pidana dan militer.
Beberapa pertimbangan hukum dan UU juga memberikan pemisahan tersebut sesuai dengan asas dan tujuannya.
Pemisahan ini juga memberikan gambaran bahwa terdapat beberapa hal yang berbeda antara penanganan kasus sipil dan militer, meskipun memiliki karakteristik yang sama, seperti pada kasus korupsi.
Sebagaimana pernah diteliti oleh berbagai lembaga penelitian, seperti Transparency International, dimana sifat tertutup dari sektor pertahanan dan militer ini memang sangat rawan dengan korupsi.
Pada tahun 2021 misalnya terdapat penilaian terhadap indeks pertahanan global. Hasilnya, 62 persen dari seluruh negara di dunia menunjukkan skor yang sangat rendah untuk menutup celah korupsi di sektor pertahanan.
Hampir di semua negara belum memiliki standar mekanisme yang aman untuk mencegah dan memberantas korupsi dalam kegiatan militer. Lebih jauh bahkan diduga hal ini terkait pula dengan upaya invasi terhadap negara lainnya, yang notabene juga melahirkan sifat koruptif.
Sektor pertahanan dan keamanan memang masih menjadi sektor yang paling rawan korupsi dan menjadi keprihatinan bersama secara global.
Dari data dan fakta tersebut, kita dapat melihat sekelumit tantangan untuk membuat sektor militer menjadi lebih bersih. KPK yang menjadi salah satu lembaga terdepan dalam pemberantasan korupsi menjadi andalan masyarakat.
Oleh sebab itu, keterbukaan antara TNI dan KPK merupakan hal yang urgen. Dengan adanya putusan MK tersebut, maka sesuai dengan ketentuan, semua pihak wajib menghormati Putusan MK yang final and binding (bersifat final dan mengikat) terhadap seluruh pihak terkait.
Pertanyaannya kini, seberapa jauh kewenangan ini dapat diimplementasi secara harmonis dan bagaimana dampak dari putusan terhadap kewenangan yang dapat diatur dalam UU maupun dalam prakteknya.
Kewenangan Prosekusi Korupsi Militer
Sebagaimana diatur dalam undang-undang, KPK berwenang untuk menangani kasus korupsi baik di peradilan militer maupun umum yang artinya dalam perkara koneksitas. Jika ditelaah lebih jauh, kewenangan ini sebenarnya termasuk juga bahwa KPK dapat melakukan pencegahan, monitoring, penindakan, hingga koordinasi-supervisi.
Dalam ketentuan, KPK memang difungsikan untuk mengkoordinasikan program pencegahan dan pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Selama ini, kewenangan ini masih berjalan dan bukan pertama kali juga KPK mengusut kasus korupsi di bidang militer atau pertahanan.
Kasus korupsi di tubuh TNI atau bidang militer ini juga pernah ditangani dan menguak ke publik. Kasus-kasus tersebut seperti kasus Pengadaan Helikopter HW-101, kemudian kasus korupsid dana fasilitas TNI AL (2015), kasus korupsi Alutsista TNI AL yang hingga saat ini masih dalam pengembangan, kasus korupsi dana pensiun TNI, dan kasus dugaan korupsi proyek Satelit Kementerian Pertahanan (2022).
Terakhir adalah kasus Basarnas tersebut. Dalam penanganan kasus pengadaan Helikopter Agusta Westland (AW-101), penyidik KPK bekerja sama dengan penyidik TNI untuk menyelidiki kasus ini. Baik dari pihak swasta maupun beberapa pejabat TNI terkena kasus pidana korupsi.
Demikian pula dalam kasus korupsi dana pensiun TNI dan proyek satelit pada Kemenhan, KPK menemukan indikasi kerugian negara yang besar dan keterlibatan pejabat TNI maupun Kemenhan. Penanganan kasus ini juga dilakukan bersama-sama.
Sebagaimana dalam pemberitaan maupun pernyataan, penanganan kasus Basarnas yang lalu oleh KPK sebenarnya juga dikoordinasikan bersama TNI.
Dalam praktiknya hal ini berjalan biasa, sebagai bentuk penanganan perkara koneksitas. Penanganan bersama ini memang dikenal dalam perkara koneksitas, dimana Tim Koneksitas ini berfungsi untuk saling berkoordinasi dalam menangani perkara yang sama namun berbeda kedudukan subyek hukum.
Namun, sebagaimana dalam sebuah koordinasi, terdapat beberapa kendala atau perbedaan pendapat antara satu dan lain pihak. Hal inilah yang sebenarnya menjadi hambatan atau celah dalam forum kerjasama dan kolaborasi atau penanganan perkara bersama.
Dengan adanya putusan tersebut, kita dapat melihat bahwa MK berupaya untuk memberi “jalan tengah” terhadap kendala atau celah dalam perkara koneksitas.
Hukum Pidana Indonesia saat ini memang masih memisahkan antara Militer dan Sipil. Hal ini karena adanya asas-asas atau prinsip yang berbeda sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Asas tersebut seperti asas kesatuan komando, asas komandan bertanggung jawab, dan asas kepentingan militer.
Dalam UU Peradilan Militer, ditegaskan bahwa kepentingan militer memang didahulukan daripada kepentingan sipil, namun bukan melebihi kepentingan hukum. Artinya kepentingan hukum tetap didahulukan sebagaimana prinsip negara hukum.
Jika kita menelaah Putusan MK Nomor 87 tahun 2023 yang menguji Pasal 42 UU KPK tersebut, dalam amarnya MK menambahkan frasa “jika sejak awal telah ditangani oleh KPK”.
Melalui putusan MK, KPK dapat menangani dan mengendalikan perkara koneksitas sepanjang telah dilakukan sejak awal atau dimulai atau ditemukan oleh KPK.
Walaupun begitu, jika tidak ada perkara koneksitas dalam kasus korupsi tersebut, maka penanganannya tetap dilakukan oleh sistem peradilan militer.
Putusan ini telah mempertimbangkan maksud dari pembuat undang-undang yang menginginkan keterbukaan dan akuntabilitas pejabat militer yang selama ini dinilai sulit dan tertutup serta mempertimbangkan prinsip efisiensi dan efektivitas penanganan perkara yang selama ini berpedoman pada asas cepat, mudah, dan sederhana.
Dari Putusan MK ini juga tidak mengubah sifat bahwa penanganan perkara pidana di militer tetap menghormati kekhususan dari Sistem Peradilan Pidana Militer.
Putusan MK tersebut memang diharapkan memberikan jalan bagi keterbukaan dalam penanganan korupsi di lingkungan militer yang selama ini memiliki citra “tertutup” atau rawan penyalahgunaan.
Publik juga dikagetkan dengan polemik dalam kasus Basarnas dan menyebabkan salah satu Pimpinan meminta maaf dan menyebut adanya “kekhilafan”.
Putusan MK ini sendiri tentu dilihat sebagai jalan atau ruang untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau pegawai militer dengan netralitas dan independensi sistem peradilan, namun tentu memerlukan pengaturan lebih lanjut sehingga permasalahan serupa tidak terjadi kembali.
DPR tentu melihat bahwa Putusan MK ini masih sejalan dengan ketentuan tentang penanganan kasus di lingkungan militer yang dapat berjalan secara kolaboratif demi supremasi hukum dan kepentingan seluruh pihak.
Selama ini, perkembangan dalam penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI ditangani secara khusus, namun sudah lebih terbuka.
Pada saat ini, penanganannya dilakukan oleh Penyidik TNI, Oditur Militer, dan pengadilan militer. Aturan koneksitas dan kekhususan ini diatur dalam rangka menjamin kepentingan militer nasional dalam rangka pertahanan dan keamanan, dan juga jaminan bahwa pelaku tindak pidana dapat diprosekusi.
Penerapan good governance dan profesionalitas dalam sebuah lembaga, termasuk TNI harus dapat dijamin dengan pengawasan dan penegakan hukum yang adil dan berkepastian hukum.
Pada saat ini, menarik untuk disimak perjalanan penanganan kasus korupsi di tubuh TNI baik oleh TNI sendiri maupun oleh KPK. Aturan koneksitas dan penegasan dalam Putusan MK ini memudahkan penyelesaian perbedaan pandangan, namun tetap membutuhkan pengaturan untuk menjamin kesepahaman.
Dalam hal ini berbagai masukan terkait hal ini bisa disikapi dengan aturan yang lebih komprehensif terutama dalam mengatur tolok ukur penanganan perkara.
Hal teknis tersebut antara lain terkait dengan sistem yang dibangun untuk koordinasi dan kolaborasi, yakni pemberitahuan tentang dimulainya suatu perkara dan penentuan penanganannya, dimana penting untuk memberi tolok ukur siapa yang sejak awal menangani.
Kemudian mengenai kolaborasi penyelidikan dan penyidikan, keterbukaan dan pemberian data dan informasi, koordinasi/kolaborasi dalam melakukan upaya paksa, hingga koordinasi atau kolaborasi dalam hal pengawasan penanganan dan program, pencegahan, maupun monitoring seperti fungsi-fungsi pada UU KPK.
Polemik seperti ini pernah terjadi dalam hal KPK dan Polri atau dengan Kejaksaan, namun perbedaan pandangan dapat dicegah dengan adanya kepastian aturan.
Oleh sebab itu, kita tentu mendorong adanya pengaturan yang lebih pasti tentang koneksitas atau kolaborasi dalam penanganan perkara.
Inovasi dan terobosan dapat juga dilakukan oleh KPK untuk membentuk sebuah “Tim Khusus” dalam penanganan korupsi militer yang melibatkan TNI.
Dalam hal ini kolaborasi juga dapat dilakukan dalam fungsi lain seperti pencegahan korupsi, monitoring, pendidikan anti-korupsi, ataupun penindakan bersama.
Boleh jadi, ada juga Divisi atau Deputi khusus dalam KPK untuk bidang militer, sebagaimana Kejaksaan yang memiliki Jaksa Agung Muda Bidang Militer atau Polisi Militer yang melibatkan Anggota TNI sendiri.
Selain akan memudahkan dalam komunikasi dan kerjasama, pelibatan TNI di KPK tentu akan saling menguatkan dan mengubah paradigma tentang eksklusivitas TNI.
Kita dapat belajar dari berbagai negara dan pengalaman, khususnya di Republik Rakyat Tiongkok di kala Presiden Xi Jinping ketika berkuasa ingin membersihkan korupsi di pemerintahannya. Presiden Xi menyasar beberapa sektor utama, termasuk militernya (People’s Liberation Army).
Banyak pejabat PLA, termasuk Menteri Pertahanannya yang kala itu mendapat investigasi dalam kasus korupsi dan penyuapan.
Alhasil, kini Cina menjadi negara yang dinilai mampu untuk berkomitmen secara berkelanjutan dalam pemberatasan korupsi, terlepas dari kepentingan apapun dibaliknya.
China menjadi pelajaran berharga bagaimana keseriusan untuk memberantas penyakit yang dapat melemahkan suatu negara.
Kita sebagai masyarakat tentu berharap bahwa tata kelola TNI maupun sistem Pertanahan dapat dijalankan dengan penerapan good governance dan profesional berintegritas.
Keterbukaan tetap diutamakan sebagaimana kepentingan hukum, terutama dalam pengelolaan keuangan dan efektivitasnya; namun tetap memperhatikan kepentingan kerahasiaan militer untuk pertahanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Dengan begitu citra TNI maupun KPK akan makin membaik, khususnya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Hal ini menjadi pintu masuk TNI untuk meningkatkan citra integritas dan akuntabilitas publik dan mengubah citra “eksklusivitas” atau ketertutupannya.
Redaktur & Reporter : Friederich Batari