Ray Wagiu Basrowi Ajak Influencer Tingkatkan Pengetahuan Lewat Platform Digital

Jumat, 20 Agustus 2021 – 07:32 WIB
Praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja Dr dr Ray W Basnowi, MKK. Foto: dokumen pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja Dr dr Ray W Basnowi, MKK mengatakan jika peran influencer bisa memutus rantai masalah kesehatan di Indonesia.

Menurutnya, jika influencer kerap membagikan informasi valid seputar stunting maka para pengikutnya akan teredukasi dengan cerita yang dibangun.

BACA JUGA: Fakta soal Stunting, Bisa Jadi Ancaman Besar, Waspada!

"Peranan para influencer dan media belakangan menjadi sangat penting mengingat informasi semakin mudah diakses dengan layanan internet," dikutip dalam siaran tertulisnya, Kamis (19/8).

Pemilik 20 ribu followers di akun Instagram @ray.w.basrowi itu menuturkan bahwa mencegah stunting pada anak Indonesia dengan memastikan ASI Eksklusif 6 bulan pertama dan dilanjutkan dengan MPASI dengan asupan nutrisi tambahan sangat direkomendasikan.

BACA JUGA: Cegah Stunting, BKKBN Jalin Kerja Sama dengan Danone Indonesia

“Pemanfaatan sumber daya digital dan peran local influencer kaum milenial terbukti efektif membangun public awareness sehingga mengubah pola perilaku kesehatan bangsa," ujarnya.

Menurut Dr Ray, potensi tersebut berpotensi besar membantu pemerintah menurunkan serta mencegah kasus kurang gizi dan salah gizi di seribu hari pertama kehidupan.

BACA JUGA: Mensos Risma Ajak Masyarakat Tangani Korban Bencana Alam hingga Stunting

"Beberapa kajian kesehatan masyarakat juga menyebut Generasi Milenial adalah new messengers for public health di dunia, termasuk di Indonesia," tutur Badan Pengurus Bidang Kesehatan Ibu dan Anak Kemitraan Indonesia Sehat.

Dia mengatakan di beberapa daerah di Indonesia bahkan kalangan milenial sudah melakukan berbagai inovasi berbasis digital dan teknologi untuk edukasi keluarga muda untuk perbaikan pola asuh dan pola makan yang dinilai efektif bantu cegah serta mengatasi stunting.

Hubungan Parenting Style dengan Penurunan Tingkat Stunting

Dikutip dari hasil penelitian Dr. Ray beserta tim ahli lainnya yang terpublish di Synapse Koreamed, sebanyak 45% ibu bekerja di Indonesia berhenti menyusui bayinya pada usia bulan ketiga karena kembali bekerja.

Fasilitas laktasi yang terbatas dan program dukungan di tempat kerja dan pengetahuan yang tidak memadai tentang cara memompa ASI dan menyimpan ASI adalah alasan utama penghentian.

Hal ini menjadi fokus para peneliti agar informasi yang sebenarnya dapat disebarkan oleh influencer ataupun media massa mengenai kebutuhan gizi tercukupi di 1000 hari pertama kelahiran.

“Ini semua terlihat hasil positifnya memperbaiki pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga milenial untuk mengerti tentang gizi dan stunting serta berpotensi memutus mata rantai malnutrisi kronik di komunitas," ujarnya.

Stunting dapat dipahami sebagai masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu cukup lama.

Saat ini, sekitar satu dari 3 balita Indonesia masuk dalam kategori stunting. Bila angka stunting tidak membaik maka Indonesia terancam gagal memanfaatkan bonus demografi pada 2030 dan generasi emas di 2045.

“Yang paling penting, pendekatan inovatif anak-anak milenial ini sudah memiliki bukti epidemiologis yang sudah dipublikasikan baik di jurnal ilmiah internasional,” ungkap Dr Ray yang sempat mengerjakan beberapa penelitian di bidang infant and toddler nutrition. (jlo/jpnn)


Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler