jpnn.com - KECAMAN dan hujatan dari berbagai kelompok yang mengaku pembela hak asasi manusia (HAM) tidak menyurutkan Kesultanan Brunei Darussalam untuk menerapkan hukum Islam. Hukuman yang tegas itu diharapkan bisa menurunkan angka kriminalitas yang terus naik di negeri kaya minyak tersebut.
Brunei Darussalam menjadi sorotan dunia beberapa hari belakangan ini. Bukan karena kekayaan negeri tersebut. Melainkan karena syariat Islam atau hukum Islam yang baru diimplementasikan di negeri tersebut.
BACA JUGA: Terkubur di Lubang Galian Pasir, Xiong Tetap Hidup
Sejak Sultan Hassanal Bolkiah mengumumkan penerapan syariat di negerinya, kritik dari berbagai belahan dunia datang bertubi-tubi. Mayoritas menganggap bahwa penerapan hukum Islam tersebut dianggap terlalu kejam.
Salah satu kritik dilontarkan profesor ilmu politik Islam di Singapura Joseph Chinyong Liow. Dia berpendapat bahwa semakin tua, sultan semakin berpikir konservatif.
"Sultan berada pada titik di mana dia menjadi semakin religius baik secara personal maupun (diaplikasikan) untuk negaranya," ujarnya.
BACA JUGA: Mau Mencoblos, Merengek Petugas Minta Identitas Dirahasiakan
Meski banyak kritik mengalir, Kesultanan Brunei Darussalam tetap bersikukuh dengan keputusan mereka. Walau begitu, syariat Islam tersebut tidak diimplementasikan seluruhnya secara langsung.
Melainkan bertahap. Yang diterapkan tahun ini adalah hukuman yang terbilang ringan berupa denda dan penjara untuk kasus-kasus seperti tidak menunaikan kewajiban salat Jumat bagi laki-laki, perbuatan tidak senonoh, dan penyebaran agama selain Islam.
BACA JUGA: Bentrok Ukraina, Gedung Terbakar 31 Tewas
Penerapan penuh syariat sangat mungkin baru dilakukan pada akhir tahun depan.
Beberapa artis Hollywood merespons keputusan sultan Brunei tersebut. Di antaranya adalah pembawa acara televisi Ellen DeGeneres dan aktor Inggris Stephen Fry.
Mereka menyerukan boikot untuk hotel yang dimiliki Sultan Hassanal Bolkiah. Sebab, syariat menganggap homoseksual adalah kriminal, padahal Ellen DeGeneres merupakan lesbian.
Namun, keputusan pihak kesultanan untuk menerapkan syariat itu tidak dibuat dalam satu dua hari. Pihak kesultanan sudah mengajukan rencana implementasi syariat itu pada 1990-an.
Tetapi, entah karena alasan apa, hukuman tersebut tak kunjung diimplementasikan. Oktober tahun lalu ada pemberitahuan syariat diberlakukan. Namun, baru 1 Mei lalu hukum Islam secara resmi berlaku di Brunei Darussalam.
Sebelum syariat diterapkan, pihak kesultanan mengaku bahwa tingkat kejahatan di negeri tersebut meningkat tiga kali lipat pada 2000-2008. Pada 2012 ada kenaikan sebanyak 50 persen untuk pelaku penyalahgunaan obat.
Pihak kesultanan menganggap hal tersebut disebabkan pengaruh dari luar yang berasal dari internet. "Islam adalah antivirus untuk melawan globalisasi," tutur sultan.
Keputusan sultan yang telah memimpin selama 47 tahun itu didukung mayoritas etnis muslim Melayu yang merupakan 70 persen penduduk Brunei. Hanya sebagian kecil penduduk Melayu dan penduduk nonmuslim yang tidak setuju dengan keputusan tersebut.
Penduduk nonmuslim di Brunei mencapai 15 persen dari keseluruhan jumlah penduduk yang hanya 420 ribu jiwa. Mayoritas adalah etnis Tionghoa yang beragama Kristen, Katolik, dan Buddha.
Warga nonmuslim memang patut waswas. Sebab, hukum Islam itu berlaku untuk umum. Termasuk untuk para pekerja di sektor perminyakan yang mayoritas berasal dari Filipina dan beragama Katolik.
Salah satu contoh penerapan hukum syariat pada warga nonmuslim adalah seluruh penduduk tidak boleh makan dan minum di tempat umum saat bulan puasa. Jika tidak, mereka akan didenda.
Baju yang dipakai penduduk nonmuslim pun diatur. Jika bajunya dianggap terlalu terbuka, mereka akan dihukum maksimal enam bulan penjara dan atau denda BND 2 ribu (setara Rp 18,4 juta).
Seluruh penduduk muslim maupun nonmuslim wajib memakai hijab jika bekerja untuk pemerintah atau menghadiri acara-acara resmi.
Sebanyak 8,7 persen penduduk di Brunei beragama Kristen. Dulu gereja dan para pendeta diawasi dengan ketat oleh pemerintah. Kini, setelah syariat diimplementasikan, pengawasan akan jauh lebih ketat.
Sekolah-sekolah maupun penitipan anak yang berbasis nonmuslim juga berimbas. Sebab, orang tua dilarang menitipkan anaknya di tempat penitipan anak nonmuslim. Hukuman untuk tindakan itu adalah penjara lima tahun dan atau denda BND 20 ribu (Rp 183,8 juta).
Pada syariat, jika keyakinan orang tua berbeda, agama si anak akan ikut orang tuanya yang muslim. Pada akta lahirnya juga hanya dicantumkan nama orang tuanya yang muslim.
Mengajarkan ajaran selain Islam kepada siswa yang beragama Islam juga dilarang. Padahal, banyak sekolah Kristen yang memiliki siswa muslim.
"Saat ini orang tua sudah menginginkan kami agar memulai kegiatan belajar mengajar dengan doa secara Islam," ujar salah seorang pegawai sekolah Kristen yang namanya tidak mau dikorankan.
Selain itu, masih ada 19 kata yang tidak boleh digunakan oleh agama lain. Misalnya, kata Allah yang merujuk pada Tuhan dan firman Allah.
Padahal, kata tersebut kerap digunakan pada Bible yang berbahasa Melayu. Kitab Bible Melayu itulah yang biasa digunakan orang-orang kristiani di Brunei.
Hukum syariat itu diperkirakan akan membuat peringkat Brunei sebagai negara yang tersulit untuk memeluk agama Kristen naik. Sebelumnya Brunei menduduki posisi ke-24 di antara 50 negara yang dirilis oleh World Watch List.
Meski begitu, pemerintah meminta orang-orang tidak terlalu panik dan menganggap hukum Islam itu kejam. Sebab, penerapan hukum berlaku jika orang berbuat salah.
Selain itu, hukuman yang ekstrem seperti rajam harus melalui pembuktian yang detail di pengadilan. (AFP/Reuters/Christian Today/sha/c10/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... 350 Orang Tewas, 400 Hilang Tertimbun Tanah Longsor
Redaktur : Tim Redaksi