Rampung Diperiksa, PK Alex Semoga Jadi Momentum Perbaikan Sistem Peradilan

Jumat, 29 November 2024 – 17:08 WIB
Sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) mantan Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Alex Denni di di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis (28/11) kemarin. Foto: Supplied for JPNN.com.

jpnn.com - BANDUNG - Proses pemeriksaan berkas peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Alex Denni selesai dilaksanakan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis (28/11) kemarin.

Pengadilan Negeri (PN) Bandung selanjutnya akan segera mengirimkan berkas perkara PK ke Mahkamah Agung. Berkas telah dilengkapi berita acara penandatanganan oleh Tim Advokasi untuk Reformasi Peradilan: Disparitas Putusan selaku Penasihat Hukum Pemohon PK, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Majelis Hakim.

BACA JUGA: Mau Berubah?

"Untuk selanjutnya, kami akan bermusyawarah untuk memberikan pendapat dan kemudian melimpahkan berkas perkara ini ke Mahkamah Agung (MA). Mudah-mudahan dalam waktu dua minggu kami bisa mengirim ke MA," ujar Ketua Majelis Hakim Panji Surono sebelum mengetuk palu yang menandai selesainya sidang, Kamis (28/11).

Sementara itu Penasihat Hukum Alex Denni dari Tim Advokasi Gading Yonggar Ditya berharap majelis hakim bisa segera meneruskan berkas perkara ke MA. Dia menilai kasus Alex Denni bisa menjadi salah satu momentum untuk perbaikan sistem peradilan di Indonesia.

BACA JUGA: Sahroni Desak Kejagung Sikat Semua yang Terlibat Kasus Ronald Tannur hingga Tingkat MA

"Kami berharap sebelum dua minggu sudah bisa dikirim ke MA. Hal tersebut akan memberikan sinyal majelis hakim menyikapi kasus Alex Denni ini dengan serius dan mendukung terciptanya reformasi peradilan di Indonesia," ucap Gading.

Dia menilai Alex Denni mengalami kasus yang cukup janggal.

BACA JUGA: Merasa Ada Kejanggalan Hukum, Alex Denni Ajukan Peninjauan Kembali

Putusan terhadap Alex Denni baik di tingkat banding maupun kasasi bertolak belakang dengan putusan terhadap dua terdakwa lain.

Terdakwa yang dimaksud yakni pejabat PT Telkom Indonesia Tbk (Telkom) Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.

Padahal, ketiganya sama-sama ditetapkan sebagai terdakwa dan Alex bukan merupakan pejabat negara.

Sementara itu ahli hukum pidana dari Universitas Pancasila Rocky Marbun mengatakan telah melakukan eksaminasi terhadap putusan pada Agus Utoyo, Tengky Hedi Safinah, dan Alex Denni baik di tingkat pertama, banding, hingga tingkat kasasi.

Ditemukan sejumlah kejanggalan yang berujung pada terjadinya disparitas putusan. Kejanggalan terjadi baik di level administrasi pengadilan, hukum acara dan pemeriksaan perkara, hingga substansi putusan.

Sejak awal, Alex Denni dipisah alias splitsing meski ketiganya didakwa pada peristiwa atau perbuatan yang sama dengan unsur penyertaan. Yakni, tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara.

Di tingkat pertama, ketiga perkara diperiksa majelis hakim yang sama. Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dinyatakan bersalah dan divonis 1,5 tahun penjara.

Sementara Alex Denni selaku konsultan swasta diputus bersalah karena dianggap turut serta dalam rangkaian peristiwa tersebut dengan vonis 1 tahun penjara.

Di tingkat banding, dua pejabat Telkom tersebut dinyatakan bebas, tidak bersalah karena terbukti tidak melakukan penyalahgunaan wewenang dan tidak ada kerugian negara.

Namun, dengan alat bukti yang sama, Alex Denni yang merupakan pihak swasta dan tidak punya kewenangan dalam membuat keputusan malah tetap dinyatakan bersalah.

Menurut Rocky, putusan yang saling bertentangan itu disebabkan susunan majelis hakim yang berbeda.

Berdasarkan penelusuran Rocky, susunan majelis hakim yang memeriksa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah di tingkat banding berbeda dengan majelis hakim yang memeriksa Alex Denni.

Akibatnya, putusan tingkat banding untuk Alex Denni berbanding terbalik dengan putusan untuk Agus Utoyo dan Tengku Hadi Safinah.

Di tingkat kasasi, Rocky menyebutkan komposisi majelis hakim juga berbeda. Terdakwa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah diperiksa dan diputus oleh Ketua Majelis yang sama.

Sedangkan terdakwa Alex Denni diperiksa dan diputus oleh Ketua Majelis yang berbeda.

"Setelah saya telusuri, perbedaan majelis hakim tersebut dikarenakan hakim yang memeriksa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah telah pensiun pada 2012," kata Rocky dalam keterangannya.

Menurut Rocky, perbedaan susunan majelis hakim tersebut tidak bisa dilepaskan dari kejanggalan perbedaan waktu pemeriksaan di tingkat kasasi antara terdakwa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah dengan terdakwa Alex Denni.

Pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi untuk Agus Utoyo maupun Tengku Hedi Safinah dilakukan pada November 2007.

Sementara Alex Denni baru memperoleh pemberitahuan putusan Pengadilan Tinggi pada Februari 2012 meski telah diputus pada 2008.

Menurut Rocky, jika pemberitahuan putusan pengadilan tinggi dilakukan lebih awal, misalkan di 2010, hakim yang memeriksa Alex Denni di tingkat kasasi pasti akan sama dengan yang memeriksa Agus Utoyo dan Tengku Hedi Safinah.

"Saya melihat, dari teknis administrasi peradilan mulai banding hingga kasasi, ada yang ditutupi supaya hakimnya tetap beda. Ada skenario membedakan hakim sehingga terjadi perbedaan putusan," kata Rocky.

Berbagai kejanggalan tersebut menguatkan dugaan adanya rekayasa hukum dalam kasus Alex Denni. Dalam analisisnya mengenai pengenaan Pasal 55 ayat 1 KUHP mengenai pidana penyertaan, Rocky menyebutkan, ketiga terdakwa semestinya sama-sama bebas.

Namun, karena perbedaan majelis hakim, hanya Alex Denni yang dinyatakan bersalah.

Akibatnya, kata Rocky, persepsi yang muncul adalah Alex Denni merupakan pelaku tunggal dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Hal ini tidak konsisten dengan dakwaan Pasal 55 KUHP.

Rocky juga menilai kasus Alex Denni mengandung aspek pelanggaran HAM yang tinggi. Alex harus menunggu selama empat tahun untuk mendapatkan pemberitahuan putusan pengadilan tinggi. Dia juga harus menunggu selama 11 tahun untuk mendapatkan pemberitahuan putusan kasasi.

"Dengan empat tahun baru disampaikan pemberitahuan banding kemudian baru dieksekusi setelah 11 tahun putusan kasasi, orang dibuat dalam posisi ketidakpastian hukum selama belasan tahun. Selama belasan tahun, orang tersebut juga tidak mendapatkan keadilan. Ini jelas pelanggaran HAM," kata Rocky.(gir/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa Oknum R Diduga Perantara Suap Vonis Bebas Ronald Tannur? MA Mau Usut


Redaktur & Reporter : Kennorton Girsang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler