jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mempertanyakan komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak ketergantungan terhadap utang luar negeri (ULN).
Dia sangat menyayangkan makin meningkatnya posisi utang luar negeri RI yang mencapai USD 417,5 miliar atau sekitar Rp 5940 triliun pada akhir 2020.
BACA JUGA: Utang Luar Negeri Makin Besar, DPR Minta Pemerintah Hati-hati
“Ingat saat kampaye pilpres salah satu janji Jokowi adalah APBN tidak akan mengandalkan utang luar negeri,” kata Syarief Hasan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (21/2).
Menurut Syarief Hasan, berdasar rilis Bank Indonesia posisi ULN RI pada akhir Kuartal IV-2020 sebesar USD 417,5 miliar atau tumbuh 3,5 persen (year on year). Jumlah ini meningkat tajam dari ULN pada Kuartal III-2020 yang tercatat USD 408,5 miliar.
BACA JUGA: Utang Luar Negeri RI Membengkak, Syarief Hasan Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Jokowi
Syarief lantas mempertanyakan pemerintah yang pada 2021 ini akan meningkatkan lagi belanja anggaran infrastruktur dengan utang baru.
“Pertanyaannya kenapa di tengah-tengah pandemi Covid-19 yang makin meningkat, ekonomi rakyat bangkrut, kemiskinan naik menjadi 27,5 juta orang, pemerintah lebih mengutamakan pembangunan infrastruktur dibandingkan mengatasi Covid-19 dan ekonomi rakyat?” kata Syarief.
BACA JUGA: BI: Utang Luar Negeri Capai USD417,5 Miliar, Masih Sehat?
Ia menambahkan bila diamati rilis bertajuk “International Debt Statistics (IDS) 2021”, World Bank juga memasukkan Indonesia ke dalam daftar 10 negara berpendapatan kecil dan menengah dengan ULN terbesar di dunia. “Sangat disayangkan, Indonesia menempati urutan keenam di dunia,” tegasnya.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat itu pun mengingatkan pemerintah terkait rasio ULN terhadap produk domestik bruto yang hampir mencapai 40 persen.
Menurutnya, pada saat rasio ULN terhadap PDB yang mencapai 39,4 persen dan mendekati 40 persen, namun justru utang negara-negara lain menjadikan andalan utama sebagai alasan. Yakni, negara-negara lain debt ratio-nya masih jauh lebih tinggi dari Indonesia.
“Namun, pemerintah lupa bahwa negara-negara tersebut income per kapitanya jauh lebih tinggi dari Indonesia dan rakyatnya yang miskin jumlahnya sangat kecil, serta kemampuan membayar utang-utang nya sangat tinggi,” ungkap Syarief.
Ia juga mendorong Indonesia belajar dari negara lain yang lebih mapan dalam mengelola ULN. Misalnya, kata Syarief, bisa belajar dari Korea Selatan yang memiliki ULN hanya 28 persen dari PDB, padahal sumber daya alam dan sumber daya manusia mereka lebih sedikit.
“Hal tersebut disebabkan karena Korsel fokus pada pengembangan industri yang berkontribusi pada perekonomian, bukan hanya sekadar perhatian utama kepada infrastruktur keras,” kata Syarief.
Ia menilai bahwa besarnya ULN yang dimiliki Indonesia harusnya menjadi prioritas utama pemerintah untuk dikelola dengan baik dengan mengurangi anggaran belanja infrastruktur saat ini.
“Utang luar negeri yang makin membludak akan makin membebani keuangan negara di tengah pandemi Covid-19 dan akan menimbulkan banyak masalah di bidang ekonomi di kemudian hari,” ungkap Syarief.
Apalagi, ia melanjutkan dari keseluruhan ULN tersebut masih didominasi utang jangka panjang senilai kurang lebih USD 353,56 miliar.
“Utang luar negeri yang didominasi utang jangka panjang sangat berbahaya dan membebani anak cucu kita yang menjadi pelanjut estafet kepemimpinan di masa depan. Artinya, meninggalkan masalah besar bagi pemimpin baru ke depan,” katanya.
Politikus Partai Demokrat ini pun mendorong pemerintah untuk mengevaluasi kembali sektor-sektor yang paling menyedot ULN.
Menurut Syarief, pemerintah harus mampu melihat sektor UMKM sebagai skala prioritas dalam pemulihan ekonomi.
“Bukan hanya sektor-sektor industri besar dan infrastruktur yang banyak menyedot ULN namun kurang berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi nasional,” katanya.
Syarief juga menegaskan supaya pemerintah berhati-hati dalam mengelola ULN. Menurutnya, makin membeludaknya ULN negeri menunjukkan kian buruknya pengelolaan ULN Indonesia yang berdampak pada kemampuan membayar utang.
“Pemerintah harus menghentikan ketergantungan terhadap utang luar negeri dan pengeluaran negara difokuskan pada sektor yang memberikan dampak langsung kepada ekonomi rakyat dan menyelesaikan pandemi Covid-19,” pungkas Syarief Hasan. (*/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Boy