JAKARTA - Pengamat hukum Tata Negara Fajrul Falaakh mengatakan, secara substansi ASEAN Charter yang disahkan dengan UU 38/2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN bukanlah wet in formele zijn (UU Formal), sehingga bukan undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya, prosedur internal di Indonesia sebagaimana diatur UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi perjanjian internasional tidak memerlukan pengujian ke MK.
“Bila MK dan MA berwenang menguji perjanjian internasional, banyak ratifikasi konvensi/perjanjian internasional berpotensi dibatalkan oleh pengadilan yang tidak tunggal,” kata Fajrul saat memberi keterangan ahli dalam pengujian UU Piagam ASEAN di ruang sidang MK, Jakarta, Rabu (3/8).
Menurut Fajrul, Persetujuan DPR terhadap perjanjian internasional tidak harus disamakan dengan persetujuan bersama DPR-Presiden terhadap RUU sesuai Pasal 20 ayat 2 UUD 1945.
Ia menambahkan, ratifikasi dengan prosedur internal berbentuk undang-undang atau Perpres/Keppres oleh Konvensi Wina 1969 disebut international act dari negara yang akan mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional“Ratifikasi perjanjian internasional dengan UU, Perpres atau Keppres adalah administrasi kenegaraan versi Indonesia,” katanya.
Diketahui, pengujian UU ini dimohonkan oleh Aliansi untuk Keadilan Global di antaranya Institute for Global Justice, Serikat Petani Rakyat, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia, FNPBI, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan, Migrant Care, Aktivis Petisi 28, Asosiasi Pembela Perempuan Usaha Kecil, Koalisi Anti Utang, Salamuddin, Dani Setiawan, dan Haris Rusli
BACA JUGA: Jamwas Segera Periksa Kajati Sumbar
(kyd/jpnn)BACA ARTIKEL LAINNYA... Minta Pasien GBS Disumbang, Menkes Dinilai Lepas Tangan
Redaktur : Tim Redaksi