jpnn.com - Megawati Soekarnoputri mengusulkan agar Ratu Kalinyamat diangkat sebagai pahlawan nasional.
Sang Ratu ialah penguasa Jepara pada pertengahan abad ke-16 dan berhasil membangun Jepara menjadi kerajaan maritim yang tangguh yang mampu melawan infiltrasi tentara Portugal yang masuk ke wilayah Melayu.
BACA JUGA: TNI AL Mengupas Kehebatan Ratu Kalinyamat Sebagai Pejuang Maritim Nusantara
Di kalangan warga setempat, Ratu Kalinyamat lebih dikenal sebagai sosok mitos yang punya kesaktian linuwih.
Salah satu mitos yang diyakini oleh warga setempat adalah ritual ‘’tapa wuda’’ atau bertapa telanjang yang dijalani Ratu Kalinyamat selama beberapa tahun.
BACA JUGA: Megawati Harap Semangat Jalasveva Jayamahe Terpatri dalam Setiap Hati Prajurit TNI AL
Tujuannya adalah untuk membalas dendam atas kematian suaminya yang dibunuh oleh Arya Penangsang.
Dalam tapaannya, Ratu Kalinyamat bersumpah tidak akan membatalkan tapa sampai dia melihat kepala Arya Penangsang dipenggal dan dia akan berkeramas dengan darah Arya Penangsang.
BACA JUGA: Mbak Rerie Bahas Kesetaraan Gender, Ceritakan Kesuksesan Ratu Kalinyamat Bangun Poros Maritim
“Ora pisan-pisan ingsun jengkar saka tapa ingsun yen durung iso kramas getihe lan kesed jambule Aryo penangsang,”, saya tidak akan membatalkan tapa sebelum berkeramas darah dan menginjak-injak rambut Arya Penangsang.
Ratu Kalinyamat mendendam kepada Arya Penangsang yang telah membunuh suaminya, Pangeran Hadiri, dengan sadis. Akhirnya, Arya Penangsang dibunuh oleh Sutan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir atas perintah Nyai Kalinyamat.
Hadiwijaya mengirim orang suruhan untuk menghabisi Penangsang.
Kepala Arya Penangsang dipenggal dan dipersembahkan kepada Ratu Kalinyamat bersama semangkok darah Penangsang.
Ratu Kalinyamat membuktikan sumpahnya dengan berkeramas darah Arya Penangsang, kemudian dia pun mengakhiri tapanya.
Belum ada bukti arkeologis maupun historis yang bisa membenarkan kisah ini secara ilmiah.
Akan tetapi, kisah ini mirip dengan kisah Mahabarata mengenai persaingan keluarga kerjaan Amarta vs Astina yang berujung pada perang besar Baratayuda.
Salah satu episode menceritakan sumpah Dewi Drupadi, istri Puntadewa raja Amarta, yang tidak akan memakai kain dan sanggul rambut sampai berkeramas dengan darah Dursasana dari Astina.
Sumpah itu dilakukan karena Drupadi dilecehkan oleh Dursasana yang melucuti kainnya dan menarik sanggulnya sampai lepas. Pelecehan terjadi ketika Puntadewa kalah adu judi melawan
Dursasana dan keluarga kerajaan Astina.
Pada puncak perang Baratayuda, Bima yang menjadi senapati Amarta berhadapan dengan Dursasana yang sakti dan punya kekuatan fisik hebat.
Bima mengetahui kelemahan Dursasana di bagian selangkangan kakinya. Bima memukul dan menyobek kaki Dursasana sampai mati kehabisan darah.
Darah Dursasana dibawa kepada Drupadi yang kemudian menyiramkan ke rambutnya untuk keramas.
Kisah Drupadi dan Ratu Kalinyamat tidak sama, tetapi banyak unsur yang mirip.
Mitos-mitos raja Jawa banyak yang mirip dengan kisah Mahabarata yang diimpor dari India bersama dengan masuknya budaya Hindu dan Buddha.
Kisah-kisah ini diadaptasikan kedalam kisah-kisah pewayangan yang menjadi tontonan favorit masyarakat Jawa.
Sampai sekarang banyak politisi Indonesia yang menjadikan tokoh pewayangan sebagai idola, terutama tokoh-tokoh Pandawa yang menjadi Raja Amarta yang dikenal jujur, berani, dan tanpa pamrih.
Banyak yang mengidolakan Bima yang kuat, jujur, dan berani, meskipun kelakuan politisi itu berbalik 180 derajat dari Bima.
Megawati tampaknya ingin mencari legitimasi politik dari Ratu Kalinyamat.
Dia menganggap Sang Ratu sebagai sosok yang melambangkan kekuatan perempuan sebagai pemimpin politik.
Dengan memunculkan Ratu Kalinyamat, Megawati ingin mencari legitimasi untuk memunculkan pemimpin perempuan di Indonesia.
Megawati melempar kode keras bahwa Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang dipimpinnya akan memunculkan calon presiden perempuan, dan karenanya dia butuh legitimasi untuk memperkuat pilihannya.
Siapa lagi yang akan dimunculkan oleh Mega kalau bukan sang putri mahkota, Puan Maharani.
Saat ini, PDIP sedang berburu dengan waktu.
Ketika partai-partai lain sudah memunculkan nama-nama yang bakal dijagokan dalam Pilpres 2024, PDIP masih belum memutuskan pilihan.
PDIP galau karena Puan Maharani yang digadang-gadang menjadi capres, masih belum bisa beranjak dari angka satu koma dalam berbagai survei.
Puan berada di bawah bayang-bayang Ganjar Pranowo yang tetap konsisten masuk tiga besar teratas di setiap survei, bersama Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
PDIP harus secepatnya mengambil keputusan kalau tidak mau kalah start dari pesaing-pesaingnya.
Mega akan mengambil keputusan itu, dan dia berada dalam dilema besar.
Pada 2014, dia dikudeta oleh Jokowi melalui ‘’creeping coup’’ kudeta senyap, yang memaksanya untuk memajukan Jokowi sebagai capres PDIP.
Mega tidak bisa membiarkan hal yang sama terulang kembali dengan munculnya fenomena Ganjar Pranowo.
Tidak ada waktu lagu bagi Mega. It’s now or never.
Kalau dia menyerah terhadap kudeta senyap Ganjar Pranowo, habislah kekuasaan trah Soekarno dalam sejarah politik Indonesia.
Sepeninggalan Mega, Puan Maharani tidak punya cukup kapasitas untuk melanjutkan kiprah trah Soekarno.
Karena itu, Mega akan memaksakan Puan menjadi capres ketimbang menyerah lagi kepada kudeta senyap.
Mega akan memilih Puan dan menyiapkannya sebagai suksesor.
Risikonya adalah Ganjar akan lari ke partai lain.
Akan tetapi, Mega akan lebih memilih putri mahkota ketimbang orang lain.
Karena itu, Mega mulai mengetes air. Salah satu yang dikhawatirkan menjadi ganjalan serius bagi Puan sebagai capres adalah kepemimpinan perempuan yang masih banyak disoal oleh kalangan muslim tradisional.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih sangat banyak kalangan muslim yang menolak kepemimpinan perempuan. Jika isu ini dimunculkan maka kans Puan akan makin berat.
Karena itu, Mega sudah mengatur strategi.
Dia mulai banyak berbicara mengenai pemimpin perempuan.
Ratu Kalinyamat dimunculkan sebagai bagian dari strategi itu.
Mega juga menugaskan petugas partainya untuk mendekati para ulama.
Salah satu yang dilobi adalah Tuan Guru Turmudzy Badarudin dari NTB yang menjadi ulama pendukung kepemimpinan perempuan.
Kampanye media digencarkan. Said Abdullah menulis opini di Detik.com berjudul ‘’Islam, Puan, dan Kepemimpinan Perempuan’’.
Kolom itu mencari pembenaran untuk memunculkan pemimpin perempuan di kancah politik Indonesia.
Isu pemimpin perempuan masih sensitif di Indonesia.
Akan tetapi, isu ini tidak pernah menjadi wacana dalam riuh rendah perdebatan politik Indonesia beberapa waktu terakhir ini.
Dengan memunculkan wacana ini, PDIP malah membangunkan macan tidur dengan membuka kembali perdebatan itu.
Isu kepemimpinan perempuan muncul sewaktu Megawati menjadi capres bersama Hasyim Muzadi pada 2004 dan Prabowo Subianto pada Pilpres 2009.
Akan tetapi, sebenarnya bukan isu pemimpin perempuan yang membuat Megawati kalah.
Mega kalah telak karena memang kalah populer dan kalah kompeten dibanding Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi pemenang.
Memajukan nama Puan sebagai capres PDIP pada Pilpres 2024 akan mengulang kejadian Pilpres 2004 dan 2009.
Kali ini bahkan kartu Puan jauh lebih lemah ketimbang kartu Mega sebelumnya.
Tanpa diserang oleh isu kepemimpinan perempuan pun, Puan diprediksi sulit menang karena alektabilitasnya yang macet.
Sebagai ibu tentu Megawati akan berjuang keras memperjuangkan sang putri mahkota.
Reaksi netizen lucu. Mega pernah di-bully dengan julukan ‘’Ratu Bakso’’ karena meledek tukang bakso dalam acara Rakernas PDIP.
Sekarang Mega mendapat julukan baru, yaitu ‘’Kanjeng Ratu Kalinyamat’’. (*)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror