Sebanyak 1.296 dari 46.580 sekolah yang melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di Indonesia telah melaporkan penularan COVID-19 di sekolah.
Setelah baru empat hari masuk sekolah, Yovi Aulia Dwi Putra dinyatakan positif tertular COVID-19.
BACA JUGA: UI Paparkan Berbagai Bidang Studi Saat Penutupan Edufair SMAN 8 Jakarta
Ia tertular dari seorang murid di SDN Panggang 1, Gunungkidul, Yogyakarta.
Kemudian bersama ibunya, Baryanti, Yovi harus melakukan isolasi mandiri.
BACA JUGA: Anggota DPR Minta Kemenag Segera Bahas Teknis Penyelenggaraan Umrah
"Masalah COVID-19 itu kan ngeri, tapi ... waktu saya tanya anak saya keluhannya apa, katanya enggak ada apa-apa ... pilek, batuk, sesak itu juga enggak ada," katanya.
"Yang penting kita berdoa semoga enggak ada apa-apa lagi."
BACA JUGA: Indonesia Terima 245.440 Vaksin AstraZeneca dari Inggris
Tapi setelah isolasinya mandirinya selesai, Baryanti mengatakan akan kembali mengirimkan anak bungsunya ke sekolah.
"Karena di rumah pun saya sendiri kurang [mampu] kan mau mengajari," katanya.
Jumlah jam kerjanya yang dikurangi telah berdampak penghasilannya selama pandemi.
Ini juga menyulitkan dirinya untuk membeli paket internet bagi anaknya.
Made Tasya Nuarta tidak akan pernah lupa kejadian di sore hari yang dialaminya saat bulan puasa di awal Mei lalu.
Keluarganya kemudian pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
Pengalaman tersebut membuatnya sangat berhati-hati ketika memutuskan untuk mengirim anaknya kembali ke sekolah.
"Traumanya itu adalah kalau anak saya harus melalui hal yang sama lagi dan tidak bisa kembali sesehat dulu," kata Tasya.
"Menurut saya, kita itu sangat beruntung bisa melalui semuanya, dalam keadaan saya dan suami sudah divaksinasi."
Kekhawatiran lainnya adalah ketiga anaknya, yang semuanya berusia di bawah 12 tahun, belum menerima vaksinasi bahkan dosis pertama sekali pun.
"Saya akan baru merasa aman kalau anak-anak sudah divaksinasi," katanya, yang juga mengaku takut setelah mulai mendengar soal klaster sekolah.
Ketua umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr Aman Pulungan mengatakan bulan lalu lebih dari 1.800 anak Indonesia meninggal dunia karena COVID.
Sementara dari laporan Satgas COVID-19 hingga 8 Agustus, sebanyak 1.833 anak usia 6-18 tahun meninggal karena COVID-19, sementara 531 lainnya di bawah usia lima tahun. Klaster sekolah mulai bermunculan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi mengatakan hingga 22 September, sebanyak 1.296 dari 46.580 sekolah yang melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) telah melaporkan penularan COVID-19 di sekolah.
Meskipun ratusan siswa di beberapa provinsi Indonesia telah terpapar COVID-19 di sekolah setelah PTM berlangsung pada tanggal 11 September, Kemdikbud hanya mengakui 13 klaster sekolah di Jawa dan Sumatera.
Jumeri, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, mengatakan pihak terkait "sudah melakukan prosedur tes, lacak, dan rawat dengan baik". Dilema pembelajaran online
Lebih dari 60 juta siswa Indonesia terkena dampak penutupan sekolah selama pandemi, menurut laporan UNICEF dan WHO yang dirilis pada bulan September.
Kurangnya akses ke internet yang memadai menjadi perhatian utama bagi 57,3 persen rumah tangga dengan anak-anak, menurut survei yang dilakukan pada kuartal terakhir tahun 2020.
Apalagi ditambah dengan kenyataan jika pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah Indonesia tidak dilakukan setiap hari, melainkan dua hingga tiga kali per minggu, dengan siswa beralih antara kelas dan pembelajaran online. Persiapan sebelum pembelajaran tatap muka
Di Jakarta, Debbie Kumara, guru dan koordinator administrasi mengatakan hampir 80 persen orangtua di sekolahnya menyetujui pembelajaran jarak jauh.
Debbie, yang kini mengalami 'long COVID', mengatakan orangtua, siswa, dan sekolah harus sangat siap sebelum kembali melakukan PTM.
"Yang terpenting, menurut opini saya, adalah menyiapkan cara berpikir anak-anak untuk kembali sekolah dengan situasi yang berbeda setelah pandemi," kata Debbie.
"Mengubah cara berpikir dan paradigma ini tidaklah mudah. Akan lebih baik jika anak-anak tidak hanya tahu kalau mereka kembali ke sekolah, tapi mengedukasi kenapa harus mematuhi peraturan."
April lalu, Kemdikbud mengeluarkan pedoman protokol kesehatan penyelenggaraan pembelajaran tatap muka.
Beberapa ketentuannya antara lain setiap ruang kelas harus memberlakukan jarak 1,5 meter antar kursi, dengan jumlah siswa per kelas yang juga dibatasi.
Jumlah siswa maksimal per kelas pun berbeda untuk beberapa jenjang, misalnya maksimal 18 siswa bagi kebanyakan jenjang SD-SMA dan maksimal lima siswa di jenjang PAUD.
Bila terbentuk klaster COVID-19, kepala sekolah harus melaporkannya ke Satgas COVID-19 atau pihak pemerintah setempat, lalu membawa pasien yang bersangkutan ke fasilitas kesehatan untuk dirawat atau dikarantina.
Menurut epidemiolog Indonesia di Griffith University, Queensland, dr Dicky Budiman, dari aspek epidemiologis, syarat-syarat protokol kesehatan untuk pembukaan kembali sekolah tatap muka di Indonesia sudah memadai.
"Syarat positivity rate di bawah lima persen [untuk bisa membuka lagi sekolah] sudah benar, bed occupancy rate juga sudah di bawah 50 persen, demikian juga dengan [syarat] level PPKM 3 ke bawah," katanya.
Tapi dr Dicky mengingatkan, ada sisi lain yang harus diperhatikan selain sisi epidemiologis, yakni kesiapan infrastruktur dan kurikulum sekolah, yang harus menyesuaikan dan tidak bisa seperti sebelum pandemi.
"Misalnya kapasitas kelas dan ventilasi sirkulasi udara … serta perilaku yang mendukung yaitu disiplin dalam mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas," ujarnya.
"Vaksinasi juga harus ditingkatkan. Semua orang dewasa yang ada di rumah dan di lingkungan sekolah harus divaksinasi karena akan jauh mengurangi potensi penularan."
Menurutnya indikator epidemiologi, indikator kesiapan sekolah, dan indikator kesiapan murid, orangtua, guru dan masyarakat, "tidak bisa tidak, harus sejalan."
Ia menilai penyebab munculnya kasus-kasus COVID-19 yang baru di berbagai daerah di Indonesia setelah pembukaan kembali sekolah adalah karena sinergi ketiga indikator tadi belum terpenuhi. Kekhawatiran long COVID pada anak
Maria Galuh Kamenyangan Sari, dokter anak dari Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret Jawa Tengah, mengatakan telah menemukan kasus suspek 'long COVID' pada anak, namun masih terus diteliti.
"Gejala di anak-anak lebih ke masalah pernapasan, seperti batuk, susah nafas, juga diare yang tidak bisa hilang setelah dinyatakan negatif dari COVID," katanya.
Ia mengatakan agar aman, orang tua harus memberi tahu sekolah jika anak mereka memiliki penyakit bawaan.
Sementara para guru juga harus mewaspadai kondisi kesehatan siswanya.
Penyakit bawaan pada anak berbeda dengan orang dewasa, menurut dr Galuh, antara lain malnutrisi, obesitas, TBC, asma, palsi serebral dan penyakit saraf, serta penyakit jantung bawaan.
Untuk anak-anak yang belum memenuhi syarat untuk menerima vaksin COVID, dr Galuh menyarankan mereka setidaknya harus divaksinasi tergantung gejalanya.
"Misalnya, vaksin untuk flu atau vaksin pneumococcal," ujarnya.
"Vaksin yang melindungi organ di mana gejala klinik COVID-19 yang biasanya sering ditemukan."
Yuk, Simak Juga Video ini!
BACA ARTIKEL LAINNYA... Akselerasi PTM Terbatas dan Dorong Vaksinasi Bagi Pelajar