Ratusan Guru Terbelit Kasus Kredit Beragunan

Senin, 11 September 2017 – 17:07 WIB
Guru mengajar di kelas. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, BANDUNG - Awal Agustus lalu kasus kredit yang melibatkan 345 guru bikin heboh di Jawa Barat.

Kucuran kredit itu berujung masalah gara-gara agunannya adalah sertifikat profesi palsu.

BACA JUGA: PMJ Terus Usut Kasus Penipuan di Apartemen One Pacific Place

Ini membuat konsentrasi Ketua PGRI Cabang Kecamatan Kertosari, Kab Bandung, Agus Derajat terpecah.

Di satu sisi, dia harus mengajar di SDN Tarumajaya 02, Kecamatan Kertasari, Kab Bandung.

BACA JUGA: Guru Ini Tak Waspada, Akhirnya Tertipu Sales, Jutaan Rupiah Lesap

Di sisi lain, dia mesti mendampingi sejawatnya yang sedang didera kasus hukum.

Agus mengungkapkan, ada 21 orang dari Kecamatan Kertasari yang tersangkut kredit beragunan sertifikat profesi guru palsu.

BACA JUGA: Gelapkan Sapi Kurban, Bekas Karyawan Yayasan Solo Peduli Dibekuk Polisi

''Di kecamatan semuanya guru PNS yang ngajar di SD,'' katanya Senin.

Seluruh guru yang tersangkut perkara itu berasal dari sejumlah kabupaten dan kota di seluruh wilayah Jawa Barat.

Khusus wilayah Kab Bandung, jumlahnya 203 orang. Sisanya berasal dari Bogor sampai Bekasi.

Dari pihak kepolisian, saat ini ada 14 tersangka. Tujuh di antaranya berstatus tahanan di Polda Jawa Barat.

Dari tujuh orang itu, tiga di antaranya guru. Tiga orang lagi pegawai BPR serta seorang pembuat sertifikat guru palsu berinisial YY.

Di luar 14 orang itu, seluruh guru berstatus sanksi sehingga tidak bersedia dimintai komentar.

Tetapi, karena mendampingi mulai awal, Agus mengetahui kasus tersebut secara utuh.

Termasuk iming-iming dari sindikat sehingga banyak guru yang kepincut mengikuti program kredit itu.

Agus menceritakan, untuk setiap kecamatan, ada seorang guru yang bertugas menjadi koordinator kredit.

Kuat dugaan sisa tersangka lain yang tidak ditahan adalah para guru yang berstatus koordinator.

''Kalau di kecamatan saya, koordinator yang mengiming-imingi serta merekrut guru sedang ditahan,'' jelasnya.

Koordinator guru yang bertugas di Kecamatan Kertasari adalah Joh. Dia berstatus guru di sebuah SD.

Dalam melancarkan aksinya, Joh memberikan uang Rp 5 juta kepada setiap guru yang bersedia bergabung.

''Dia guru biasa. Bukan tokoh atau pimpinan organisasi guru,'' jelasnya.

Selain bersedia memberikan uang pancingan Rp 5 juta, Joh menyampaikan bahwa setelah mengambil kredit para guru tidak perlu mencicil pengembalian.

Kenapa kok tidak perlu mengangsur? Sebab, separo dari kredit diendapkan di bank sebagai tabungan beku.

Kemudian, program itu juga mendapat subsidi serta keringanan lainnya.

Untuk mendaftar menjadi peserta program kredit itu, para guru tidak perlu repot.

Mereka cukup menyerahkan fotokopi sertifikat profesi guru.

''Coba, siapa yang tidak tertarik. Dapat kucuran kredit, tetapi tidak perlu mengangsur untuk pelunasan,'' jelasnya.

Para guru tidak tahu ternyata fotokopi sertifikat itu digunakan sebagai sumber untuk pembuatan sertifikat palsu.

Oleh Joh, fotokopian sertifikat tersebut diserahkan kepada oknum BPR.

Kemudian, oknum BPR memberikannya kepada YY, si pembuat sertifikat palsu, yang beralamat di Tambora, Jakarta.

Menurut Agus, BPR yang terkait dengan kasus itu adalah BPR Bahtera Masyarakat Papua yang berbasis di Bogor.

Setelah beberapa waktu, pengajuan kredit yang menggunakan sertifikat palsu tersebut selesai.

Para guru ditelepon orang BPR untuk mengambil uangnya di Bogor. Karena tahu akan mendapatkan uang, para guru langsung berangkat ke Bogor.

''Anehnya, pencairan uang dilakukan setelah jam 16.00. Setelah jam operasional resmi BPR selesai,'' ungkap Agus.

Sesuai dengan perjanjian awal, para guru tidak mendapatkan dana secara utuh.

Misalnya, ada guru yang mendapatkan plafon kredit Rp 71 juta, kemudian dipotong Rp 20 juta sebagai simpanan di tabungan beku.

Sampai saat ini, belum jelas apakah tabungan beku itu benar-benar dikelola BPR atau masuk kantong para sindikat.

Setelah dipotong untuk simpanan tabungan beku, uang yang diterima guru kembali disunat.

Kali ini dipotong oleh guru yang menjadi koordinator di tingkat kecamatan.

Akhirnya, para guru tinggal menerima Rp 15 juta sampai Rp 19 juta.

Meskipun uang yang diterima jauh dari kucuran kredit, para guru tidak mempersoalkannya. Sebab, mereka tidak perlu membayar cicilan.

Kabidhumas Polda Jawa Barat Kombes Yusri Yunus membenarkan adanya modus menggunakan sertifikat fotokopian untuk membuat sertifikat palsu.

''Iya, seperti itu. Guru-guru itu menyerahkan fotokopian ke koordinator. Lalu dibuat dokumen palsu oleh YY yang kita gerebek,'' katanya di Mapolda Jawa Barat.

Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan, untuk menentukan apakah para guru itu wajib membayar semua utangnya kepada BPR Bahtera Masyarakat atau tidak, isi perjanjian para guru dengan bank perlu dikaji.

Jika perjanjian kredit menyebutkan bahwa guru menerima pinjaman, misalnya, Rp 80 juta, yang harus dikembalikan adalah Rp 71 juta.

Itu juga harus ditambah sejumlah biaya di luar pinjaman pokok. Di antaranya, bunga dan denda yang timbul akibat keterlambatan bayar (jika ada).

"Penagihannya harus sesuai dengan apa yang tersurat," papar Joko. (wan/rin/c19/c10/oki/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tipu Letkol Rp 220 Juta, Feri Langsung Dibui


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler