Indonesia sudah menyelenggarakan pemilu yang dianggap terbesar dan terumit di dunia. Namun ongkosnya juga tidak murah, hingga menelan korban jiwa.
Hanya dua pekan setelah lebih dari 204 juta warga Indonesia memberikan suaranya dalam pemilu, 115 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dilaporkan tewas.
BACA JUGA: Bawaslu Bogor Usut Dugaan Penggelembungan Suara Partai & Caleg, KPU Merespons Begini
Bukan pertama kalinya petugas KPPS meninggal usai pemilu, meski KPU terus berupaya memperbaiki sistem rekapitulasi yang diharapkan mengurangi beban dan tekanan petugas KPPS.Apa penyebab kematiannya?
Laporan Kementerian Kesehatan hingga 26 Februari 2024 mencatat penyakit jantung sebagai penyebab kematian terbesar.
BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Thailand Gagalkan Penyelundupan 87 Hewan, Termasuk Kuskus Sulawesi
Penyebab kematian lainnya antara lain syok septik, hipertensi, dan kecelakaan.
Angka kematian tertinggi ditemukam pada petugas berusia 51-60 tahun, namun ada juga petugas berusia di bawah 20 tahun yang meninggal dunia.
BACA JUGA: Cetak Hattrick di Pemilu 2024, Olsu Babay Berterima Kasih Kepada Ketum hingga Senior Golkar
Salah satunya adalah Rhevi Kusmana, siswa SMA berusia 19 tahun.
Ayah Rhevi mengatakan kepada Detik jika putranya meninggal di rumah sakit dua hari setelah ditemukan menderita penyakit jantung.
Ia mengatakan Rhevi bertugas di TPS sampai jam 3 pagi dan pergi ke sekolah beberapa jam setelahnya untuk ujian.
Kemenkes mencatat lebih dari 15.000 petugas KPPS juga mengeluhkan masalah pencernaan dan pernafasan ke rumah sakit.Apakah angka kematiannya wajar?
Terence Hull, Profesor Demografi di Australian National University mengatakan terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan untuk bisa melakukan analisa mendalam.
Namun menurutnya angka ini bukan tidak wajar.
Dalam Pemilu 2024 ini, terdapat setidaknya 5,7 juta petugas di lebih dari 820.000 TPS di seluruh Indonesia.
"Enam dalam 1.000 orang meninggal setiap tahunnya," kata Terence kepada Natasya Salim dari ABC Indonesia.
"Jadi ketika melihat angka kematian ini, masuk akal."
Menurut Terence, berita mengenai angka kematian petugas selalu muncul setelah pemilu karena Indonesia mendata angka tersebut, tidak seperti kebanyakan negara lain.
"Jika seorang petugas pemilu di Australia meninggal karena sakit jantung, datanya akan dicatat oleh catatan sipil, bukan KPU," katanya.
"Karena hal seperti ini dianggap hal yang alamiah."
Tapi Terence mengatakan petugas KPPS di Indonesia memang memiliki risiko dalam beban pekerjaan, seperti misalnya harus pergi ke daerah terpencil.Apakah ada korban jiwa pada pemilu sebelumnya?
Pasca pemilu 2019, KPU mengungkapkan 894 petugas pemilu meninggal dunia.
Arief Budiman, Ketua KPU pada Pemilu 2019 mengatakan jumlah korban jiwa ini disebabkan beban kerja yang harus ditanggung petugas.
Jakarta Post melaporkan jumlah korban pada tahun itu sangat tinggi karena banyaknya petugas lanjut usia.
Tahun ini, warga di atas 55 tahun tidak diperbolehkan menjadi petugas KPPS.
Pada pemilu 2014, sebanyak 157 petugas meninggal dunia.Apa yang membuat petugas KPPS stres?
Berdasarkan temuan organisasi Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), beban kerja petugas yang kebanyakan disebabkan masalah teknis menyebabkan jam kerja panjang dan stres.
Masalah teknis ini muncul dari upaya KPU mengurangi beban kerja petugas dengan memperkenalkan aplikasi baru bernama Sirekap.
Sirekap diharapkan dapat menghilangkan tugas memasukkan data ke dalam sistem penghitungan pemilu secara manual, seperti pada pemilu sebelumnya.
Namun, pada hari-H, server dilaporkan down sehingga staf masih harus memasukkan hasil penghitungan secara manual.
Belum lagi tahun ini, KPU mewajibkan petugas untuk mengunggah hasil penghitungan ke Sirekap.
"Yang tadinya kita beranggapanada mesin pengganda itu bisa menyelesaikan permasalahan, malah menambah permasalahan baru," kata Direktur Eksekutif DEEP Neni Nur Hayati kepada ABC.
"Dengan adanya [kewajiban] meng-upload ke Sirekap ... juga mereka beban kerjanya berat banget. Ya mereka juga sama-sama stress."
Neni dan tim mengatakan sempat mengunjungi TPS secara acak, dan menemukan beberapa di antaranya masih beroperasi hingga pukul 6 pagi.
Daffa, petugas yang identitasnya disamarkan, harus bertugas sampai jam 3 pagi karena aplikasi Sirekap bermasalah.
"Banyak dari aplikasinya yang error, jadi data-data yang masuk itu enggak kehitung, atau salah input, ada juga yang salah menghitung suara dari manual," kata Daffa yang adalah mahasiswa.
"Jadi kami harus mengulang lagi."
Daffa mengaku hanya dibayar Rp350 ribu untuk bekerja dari pukul 6.30 pagi pada 14 Februari, dan tidak menerima uang makan.
Ia sempat demam selama empat hari dan mengatakan pengalamannya "tidak menyenangkan."
"Perhatikanlah hal-hal kecil, seperti uang makan, kalau kita akhirnya pakai uang pribadi sendiri, percuma dong gajinya," katanya.
"Terus kesehatan juga dari tim pemilu tersebut perlu diperhatikan juga."Bagaimana kelelahan bisa membuat orang meninggal?
Dokter Diana Maryam Leiwakabessy mengatakan kelelahan kronis akibat tidak tidur selama satu atau dua hari dapat menyebabkan gangguan jantung dan berujung pada kematian.
Ia mengatakan risikonya lebih rentan terjadi pada "orang lanjut usia, atau orang muda yang kesehatan fisiknya tidak baik, tidak memiliki pola makan seimbang, atau tidak berolahraga".
Atau jika mereka memiliki penyakit penyerta yang tidak diketahui sebelumnya atau bahkan diabaikan.
Belum lagi jika orang tersebut melakukan kebiasaan berisiko, seperti merokok.
Ia mengatakan masalah pencernaan yang dilaporkan oleh para pejabat bisa jadi disebabkan oleh stres.
"Ada banyak manifestasi stres," kata dr Diana.
Ia juga menekankan pentingnya untuk memastikan petugas KPPS lulus pemeriksaan kesehatan untuk mengecek penyakit penyerta.Apa saja persyaratan kesehatan petugas?
Menurut Kementerian Kesehatan, petugas pemilu harus lulus pemeriksaan kesehatan dengan menunjukkan surat keterangan sehat jasmani dan rohani dari puskesmas, rumah sakit atau klinik.
Disebutkan mereka harus memenuhi syarat "sehat jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika."
Kemenkes juga mengatakan akan menyiapkan layanan darurat pada hari pemilihan.
Neni mengatakan pemeriksaan kesehatan pada pemilu kali ini lebih baik dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, namun "belum dilakukan secara ketat".
"Mereka masih hanya sebatas melihat kondisi luarnya saja, tidak melihat kondisi dalamnya," katanya.
Namun Daffa mengatakan pemeriksaan kesehatan tidak diperlukan saat mendaftar menjadi petugas, juga tidak ada petugas kesehatan yang siaga di TPS-nya.
Juru bicara Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan menempatkan petugas kesehatan dari total 11 ribu fasilitas kesehatan dalam negeri di lebih dari 820.000 TPS di seluruh negeri "tidak memungkinkan".Apa kata pihak berwenang?
ABC telah menghubungi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memberikan komentar tetapi tidak menerima tanggapan.
Berdasarkan pemberitaan beberapa media, KPU di daerah bersangkutan sedang dalam proses memberikan santunan kepada keluarga petugas KPPS yang meninggal.
Sesuai aturan KPU, keluarga berhak menerima santunan sebesar Rp36 juta, dengan biaya pemakaman sebesar Rp10 juta.Apa yang bisa dilakukan pada pemilu mendatang?
Dalam pemilu besar-besaran yang berlangsung satu hari, masyarakat Indonesia memilih presiden dan wakil presiden baru mereka, bersama dengan perwakilan parlemen dan daerah.
Neni mengatakan pemilu untuk memilih calon presiden, wakil presiden, DPR dan DPD seharusnya dipisahkan dari pemilihan wakil kepala daerah, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
"Model keserentakan pemilu itu jangan pemilu serentak lokal-nasional disatukan sehingga ada lima surat suara yang harus kita coblos," katanya.
"Jeda antara pemilu nasional dan pemilu lokal dua tahun itu lebih enak sebetulnya, lebih bisa mengurangi beban kerja KPPS."
Juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan pihaknya akan memberikan "pelatihan administrasi yang baik" kepada para pejabat menjelang pemungutan suara nasional berikutnya pada tahun 2029.
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menuju Senayan, Denny Cagur Berterima Kasih kepada Masyarakat Dapil Jabar II