Ini adalah pengalaman perdana bagi Natalia Nuyerepon yang baru beberapa bulan menjadi warganegara Australia memilih kandidat pemerintah federal Australia.
Sejak beberapa hari terakhir, Natalia telah mempelajari sistem Pemilihan Umum di Australia hingga akhirnya menentukan pilihannya awal minggu ini.
BACA JUGA: Beasiswa Dibatalkan, Mimpi Mahasiswa Papua Barat Berantakan
"Ternyata tidak sesulit itu," kata Natalia yang berasal dari Jawa Timur.
Perempuan yang tinggal di Werribee, negara bagian Victoria di Australia tersebut memilih lebih awal dengan mengirimkan kartu pos berisi kandidat pilihannya.
BACA JUGA: Kontak Erat Kasus COVID Tak Perlu Lagi Isolasi Tujuh Hari di Melbourne dan Sydney
Ini karena pada di hari pemilihan yang jatuh pada tanggal 21 Mei, Natalia masih akan sedang merayakan Lebaran di Indonesia.
Natalia mengatakan memilih kandidat yang mementingkan kesejahteraan warganya, termasuk mereka dengan pendapatan menengah.
BACA JUGA: Warga Australia di Shanghai Khawatir Dipisahkan dari Keluarga Mereka karena COVID
"Kandidat yang saya pilih memastikan bahwa orang-orang bisa hidup sejahtera," katanya.
"Ini berarti kalau misalnya suatu hari kami mau membeli rumah, prosesnya juga akan baik."
Natalia yang bekerja sebagai koki berharap agar ke depannya akses kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan untuk anak-anaknya di masa depan bisa semakin lebih mudah di Australia. Menjadi warganegara Australia supaya bisa memilih
Natalia bukanlah satu-satunya warganegara Australia yang mengikuti pesta demokrasi Australia untuk pertama kalinya tahun ini.
Menurut Komisi Pemilihan Australia (AEC), setidaknya 440.000 warganegara Australia baru ada di posisi yang sama.
Romel Lalata, yang datang ke Australia sebagai mahasiswa internasional pada tahun 2015 juga sangat bersemangat untuk memilih, karena ini adalah alasannya menjadi warganegara negara tersebut.
"Saya berkata pada diri sendiri suatu hari nanti saya akan menjadi pemilih," katanya.
"Saya akan memberikan suara saya pada pemimpin yang akan menentukan masa depan Australia."
Kali ini, ia sudah belajar dari kesalahan lamanya di mana Romel yang tadinya terdaftar di NSW lupa untuk mengganti alamatnya menjadi Canberra.
Romel akhirnya didenda oleh Pemerintah New South Wales (NSW) pada tahun 2021 karena tidak memilih dari sana.
"Sedikit sulit bagi saya untuk menemukan informasi cara memilih," ujar Romel.
"Bagi migran baru seperti saya, kami betul-betul tidak tahu prosesnya bagaimana."
Akhirnya, Romel berusaha mencari informasi online, yakni artikel yang menjelaskan pemungutan suara, selain mengunjungi situs AEC.
Romel pun sudah melihat informasi pemungutan suara yang diterjemahkan AEC ke dalam bahasa Filipina tetapi mengatakan informasi ini ditulis dalam bahasa yang sangat formal. Kurangnya sumber informasi dalam bahasa lain
Mengakses informasi dalam bahasa selain bahasa Inggris – terutama seputar kebijakan partai – menjadi tantangan tersendiri bagi Amro Zoabe yang berusia 22 tahun.
Amro yang tiba sebagai pengungsi dari Suriah pada 2016, mengatakan orang tuanya mengandalkan ia dan saudaranya untuk memahami sistem politik dan para kandidat karena masih belajar bahasa Inggris.
"Bahkan dua partai politik besar tidak memiliki banyak materi yang tersedia dalam bahasa [lainnya], yang sangat mengecewakan, karena membuat Anda merasa bahwa suara Anda tidak penting," katanya.
"Untungnya saya dan saudara laki-laki saya memiliki banyak pendapat yang berbeda tentang politik sehingga orang tua saya mendapatkan kedua sisi perdebatan."
Amro yang tinggal di Wollongong, NSW, mengatakan dirinya belajar tentang sistem pemilihan di sekolah menengah dan mencari di Google apa pun yang perlu diketahuinya sebelum pemilihan.
Tetapi ia masih membutuhkan lebih banyak informasi mengenai kebijakan, terutama tentang partai kecil.
"Saya sangat tertarik dengan partai-partai kecil…[tetapi] saya tidak dapat menemukan kebijakan yang jelas," katanya.
"Saya sebenarnya berharap ada cara yang lebih baik bagi kami untuk melihat kebijakan atau partai, yang akan membuat keputusan kami jauh lebih tepat."
Sebagai pemilih pemula yang peduli dengan keterjangkauan perumahan dan perubahan iklim, Amro ingin memastikan suaranya diperhitungkan.
"Saya menyaksikan secara langsung seperti apa ketiadaan demokrasi," kata Amro tentang masa kecilnya di Suriah yang dilanda perang.
"Saya sangat menghargai [demokrasi] dan saya ingin berpartisipasi di dalamnya sebanyak mungkin." Perlunya lebih banyak informasi pemilu untuk anak muda
Ketika Trisha Lopes masih belia dan tinggal di India, ia mendengarkan orang tuanya dengan penuh semangat mendiskusikan politik.
Kini sudah menjadi warganegara Australia, Trisha sibuk mempelajari politik Australia dan merasa "kewalahan".
"Saya tidak besar di Australia dan mendengarkan partai politik yang berbeda, jadi saya tidak begitu tahu apa sejarahnya," katanya.
"Jadi banyak penelitian, banyak usaha untuk memahami dan menguraikan melalui kebijakan, banyak PR yang harus dikerjakan"
Trisha mengatakan seorang teman menyarankan mendengarkan pidato APBN Australia untuk membantu proses belajarnya tapi ini justru membuatnya mengantuk.
"Saya benar-benar berharap ada toko serba ada untuk migran muda atau bahkan pemilih pemula … yang memberi penjelasan yang sangat mudah dipahami tentang apa yang diperjuangkan masing-masing partai," katanya.
Ia telah mencoba "Vote Compass", dan merekomendasikannya bagi orang-orang yang masih kesulitan memutuskan siapa yang harus dipilih. Bertanya ke suami
Bagi Natalia Zhukova, yang berimigrasi dari Ukraina dengan suaminya yang berkewarganegaraan Australia lima tahun lalu, isu geo-politik adalah yang menentukan suara pertamanya sebagai warga negara Australia.
"Dukungan untuk Ukraina dan pengungsi Ukraina sangat penting," kata Zhukova.
Tidak seperti Australia, pemungutan suara bersifat sukarela di Ukraina dan tidak ada sistem preferensi, jadi Zhukova telah berbicara dengan suaminya untuk memahami proses pemilihan di Australia.
"Suami saya sangat mendukung, jadi masalah apa pun bisa saya tanyakan padanya," katanya.
Sementara itu, Yitin Han, yang telah bermigrasi dari Tiongkok, berbicara dengan rekan-rekannya telah membantunya mengatasi "kebingungan" tentang pemungutan suara.
"Saya tidak tahu apa yang saya lakukan, saya tidak tahu harus berbuat apa," kata Han.
Dokter junior berusia 26 tahun, yang saat ini magang di Horsham, kawasan Victoria tersebut telah mulai belajar tentang sistem pemilihan Australia dari rekan-rekannya di rumah sakit.
Namun, dia mengatakan dia masih "sama sekali tidak paham" tentang proses pemungutan suara yang tepat untuknya.
Han mengatakan ia juga bingung tentang di mana ia harus memilih.
"Saya tidak tahu apakah saya termasuk di mana saya biasanya tinggal, atau di mana saya tinggal saat ini," katanya.
Seperti banyak pemilih baru yang diajak bicara oleh ABC, Han mengatakan bahwa dia ingin menemukan informasi yang dapat diakses tentang kebijakan pemerintah dan partai yang dapat menjadi dasar pilihan suaranya.
"Saya tidak merasa seperti saya telah diberikan informasi yang cukup tentang setiap partai atau masing-masing calon individu sama sekali," katanya. Risiko disinformasi
Menurut Esther Chan, editor biro Australia FirstDraft, sebuah organisasi nirlaba yang meneliti disinformasi online dan memberikan pelatihan literasi media, jika informasi yang kredibel tidak mudah diakses, ada risiko pemilih dapat lebih mudah terpapar informasi yang salah.
Esther mengatakan AEC atau lembaga pemilihan Australia, telah sangat baik dalam mengatasi penyebaran disinformasi dalam platform media sosial utama seperti Twitter.
Tetapi komunitas diaspora yang mungkin tidak menggunakan platform tersebut bisa lebih rentan terhadap kesalahan informasi.
"Komunitas yang tidak menggunakan platform [mainstream Australia] sebanyak itu, mereka mungkin tidak mengetahui jumlah informasi yang sama," kata Esther.
Esther mengatakan dalam enam bulan terakhir FirstDraft telah mengidentifikasi sirkulasi narasi pemilu yang menyesatkan seputar kecurangan pemilih di Australia, mirip dengan yang muncul selama pemilu AS.
Ini adalah sesuatu yang mengkhawatirkan bagi Romel Lalata, sehingga mengajak warga seperti dirinya sendiri untuk mengecek kebenaran informasi dan "memilih dengan bijak".
Romel berencana untuk terus mengikuti pengumuman kebijakan dan liputan pemilu menjelang 21 Mei dan memberikan suara.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Rusia Alihkan Serangan ke Donbas, Apa Tujuannya?