Bulan Juli lalu, saya melihat sebuah unggahan di Facebook mengenai sesi informasi vaksin COVID-19 bagi komunitas multikultural di Australia Selatan.

Uniknya, unggahan tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia, dengan menghadirkan Kepala Pejabat Kesehatan Publik (CHO) Australia Selatan, Profesor Nicola Spurrier bersama wakilnya, Dr Chris Lease.

BACA JUGA: Kasus Positif Covid-19 Turun, Syarief Hasan: Pemerintah Tetap Tegas

Saya kemudian mendaftar untuk datang ke sesi kedua di sore hari pada tanggal 21 September lalu.

Ketika sampai di lokasi, saya disambut dua orang petugas yang meminta agar saya melakukan scan QR Code, seperti diberlakukan di tempat umum lain di Adelaide.

BACA JUGA: Seperti China, Australia Mendukung Agar Hak Paten Vaksin COVID-19 Dihapus

Di samping ruangan, terdapat meja registrasi pengunjung, lengkap dengan beberapa 'banner' bertuliskan "Roll Up SA". 

Ini menjadi kampanye Pemerintah Australia Selatan untuk memotivasi warga agar segera divaksinasi COVID-19.

BACA JUGA: Fakta-Fakta Terkini Serangan COVID-19 di Dunia, Seluruh Rakyat Indonesia Harus Tahu

Bagi mereka yang ingin melakukan vaksinasi, sudah disediakan petugas yang dapat membantu kita yang ingin melakukan 'booking' vaksinasi COVID-19. 

Foto di atas saya ambil saat sesi baru dimulai dengan pemaparan dari Profesor Nicola.

Meski tidak sampai penuh, ruangan tersebut terhitung cukup padat, yang juga dihadiri oleh warga dari berbagai latar belakang ras dan budaya.

Dari informasi yang saya dapatkan,  ada 110 orang yang datang di kedua sesi, kebanyakan berasal dari komunitas India, Tiongkok, Thailand, Indonesia, Yunani, Spanyol, dan Nepal.

Berikut beberapa poin informasi yang diberikan Profesor Nicola dan Dr Chris dalam sesi yang berlangsung hampir tiga jam ini. Apa kunci keberhasilan Australia Selatan menangani pandemi? Kenapa tetap harus jaga protokol kesehatan meski sudah divaksinasi? Sampai kapan kita berisiko tertular COVID-19? Bolehkan mencampur vaksin? Patutkah vaksin diwajibkan? Apa kunci 'keberhasilan' Australia Selatan menangani COVID-19?

Sejauh ini, Australia Selatan baru menerapkan dua kali 'lockdown'  pada 17 November tahun 2020 dan 20 Juli tahun ini.

Dua 'lockdown' di Adelaide juga berlangsung tidak lebih dari seminggu. tidak seperti di Melbourne yang mencetak rekor sebagai kota paling lama yang memberlakukan 'lockdown'.

Hingga hari ini (06/10), negara bagian tersebut mencatat empat kasus COVID-19 aktif, dengan empat kematian sejak awal pandemi.

Sementara untuk vaksinasi, Australia Selatan, setidaknya 70 persen warganya sudah mendapat vaksinasi dosis pertama.

Wakil kepala pejabat kesehatan publik Australia Selatan, Dr Chris Lease, menyebutkan kepemimpinan menjadi salah satu alasan bisa tercapainya semua ini.

"Kunci keberhasilannya juga adalah di sistem. Tapi menurut saya, komunitas Australia Selatan juga menjadi berperan," kata Dr Chris.

"Mereka menaati segala instruksi yang kami minta untuk dilakukan, dan terus menaatinya." Mengapa tetap harus prokes meski sudah divaksinasi?

Profesor Nicola mengatakan kebanyakan warga berpikir karena sudah divaksinasi artinya "kita sudah bebas."

"Tapi pemodelan kita dan pengalaman negara-negara lain seperti Israel, Amerika Serikat, Kanada, yang tingkat vaksinasinya tinggi menunjukkan warganya masih harus melakukan protokol kesehatan."

Profesor Nicola mengatakan penyebabnya adalah varian Delta yang mudah menular.

"Kita tidak dapat bergantung pada vaksinasi, karena tidak ada hal yang 100 persen dan tidak 100 persen orang akan divaksinasi," ujar Nicola.

"Jadi yang kita lakukan saat ini adalah mencegah naiknya kasus, sehingga sistem kesehatan tidak kewalahan dan mereka yang kena COVID bisa mendapatkan perawatan yang semestinya," ujarnya.

"Maaf kalau terkesan berita buruk, tapi itu kenyataannya." Sampai kapan risiko penularan COVID-19 akan tetap ada?

"Sampai semua negara di seluruh dunia dapat bekerja sama dan semua orang dapat akses vaksin," kata Profesor Nicola.

"Inilah mengapa saya sangat berhati-hati kalau sudah urusan pembukaan perbatasan internasional dan memonitor varian baru."

Australia memang sudah menentukan pembukaan perbatasan bulan November nanti, meski tanggalnya belum dipastikan dan masing-masing negara punya aturan yang berbeda.

"Untuk keluar dari pandemi ini, memang penting memperhatikan apa yang dilakukan Australia, tapi kita juga harus memastikan keadilannya merata di semua negara lainnya," katanya.

"Dan saat ini banyak sekali negara berkembang yang belum mendapat vaksin." Bolehkah mencampur vaksin?

Profesor Nicola mengatakan beberapa negara memang sudah mencampur beberapa vaksin berbeda.

Seperti juga Indonesia, yang memperbolehkan penggunaan Moderna sebagai 'booster' bagi yang sudah divaksinasi Sinovac.

Namun, hal tersebut belum dilakukan di Australia, yang sejauh ini menggunakan tiga merek vaksin: Pfizer, AstraZeneca, dan Moderna.

"Alasannya adalah karena penelitian masih berjalan. Perusahaan obat masih melakukan percobaan mencampur kombinasi vaksin," katanya.

"Karena memang ketika dua jenis vaksin dicampur, kadang kekebalan tubuh bisa semakin kuat, tapi efek sampingnya mungkin juga lebih banyak."

Pencampuran vaksin akan diizinkan di Australia "setelah ada bukti keamanannya", menurut Profesor Nicola. Patutkah vaksin diwajibkan?

Pertanyaan ini muncul menyusul unjuk rasa yang melibatkan ribuan pekerja konstruksi di Melbourne yang menolak keharusan vaksinasi dua minggu lalu (21/09).

"Kami belum mewajibkan. Kami hanya fokus pada bagaimana cara melindungi masyarakat yang paling rentan," kata Profesor Nicola.

Tapi pada kenyataannya vaksin sudah diwajibkan bagi warga dengan profesi tertentu di Australia Selatan, misalnya tenaga kesehatan di rumah sakit, pekerja dan sukarelawan panti jompo, kontraktor, petugas karantina hotel.

"Kami punya alasan kesehatan yang sangat jelas untuk mewajibkan. Karena orang-orang ini sering berhubungan dengan mereka yang rentan," kata Profesor Nicola.

Tidak menutup kemungkinan juga nanti Australia Selatan akan memberlakukan paspor vaksin bagi semua orang, seperti sebelum masuk ke salon atau layanan kecantikan.

"Jadi, menarik sekali kalau kita bisa mengetahui orang sudah divaksinasi atau belum dari panjang rambutnya," ujar Profesor Nicola, sedikit tertawa. Informasi yang disampaikan 'sangat membantu'

Setelah sesi berakhir sekitar pukul 9 malam, saya menyapa beberapa anggota komunitas multikultural yang hadir.

Beberapa di antaranya adalah tiga orang perempuan dari komunitas Thailand di Adelaide bernama Rachanee, Sukhuma Pongsuwan, dan Panwad Wongthonghh.

Ketiganya mengatakan sesi ini "sangat membantu", apalagi melihat masih ada orang-orang di komunitas Thailand yang ragu untuk divaksinasi.

"Karena informasi sering tidak jelas atau kurang lengkap, jadi muncul kekhawatiran," kata Rachanee, presiden Thai-Australian Association of South Australia (TAASA).

"Tapi sekarang kami telah menerima banyak informasi jelas, termasuk tentang vaksin untuk ibu hamil, yang sering ditanyakan."

Mereka menambahkan, hubungan yang dimiliki pemerintah Australia Selatan dengan komunitas multikultural pun cukup baik.

"Teman saya di negara bagian lain yang mewakili komunitas multikultural, mereka tidak seberuntung kita," katanya.

Kepada ABC Indonesia, Profesor Nicola mengatakan informasi yang ingin diketahui warga multikultural antara lain suntikan imun dan 'booster', angka efektivitas dan efek samping vaksin, persyaratan vaksin, dan kewajiban divaksinasi.

"Negara bagian sungguh beragam dan penting sekali memastikan warga Australia Selatan punya kesempatan untuk memahami dan bertanya tentang vaksin, tanpa pandang umur, latar belakang etnis, ataupun bahasa," pungkasnya.

SA Health mengatakan akan menerjemahkan informasi COVID-19 ke dalam sebanyak-banyaknya bahasa yang ada di komunitasnya.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Satgas Penanganan Covid-19 Minta 5 Provinsi Ini Menurunkan BOR

Berita Terkait