Di saat berbagai negara di dunia mengecam tindakan militer Rusia di Ukraina, Pemerintah China menolak menyebutnya sebagai invasi.

Taiwan kini bersiaga tinggi karena khawatir China akan memanfaatkan situasi.

BACA JUGA: China Bela Rusia, Taiwan Pilih Bersama Negara-Negara Demokratis

Menanggapi eskalasi militer sejak Presiden Vladimir Putin memerintahkan serangan militer kemarin, NATO menyatakan akan menambah pasukan darat, laut dan udaranya di dekat Ukraina dan Rusia.

"Kami mengerahkan tambahan pasukan darat dan udara ke bagian timur aliansi ini, begitu pula dengan aset kekuatan maritim," kata para duta besar NATO dalam pernyataan bersama.

BACA JUGA: Ingin Hancurkan Rusia, Veteran Ukraina Tinggalkan Kehidupan Nyaman di Negeri Tetangga

"Kami telah meningkatkan kesiapan kekuatan militer untuk menanggapi semua situasi darurat," tambahnya.

Berbeda dengan negara lainnya, Pemerintah China menolak untuk menyebut langkah Rusia di Ukraina sebagai "invasi".

BACA JUGA: Rusia Ingin Memusnahkan Ukraina, di Mana Pasukan Amerika?

Juru bicara Kemenlu China, Hua Chunying, mengatakan, "Ini mungkin perbedaan antara China dan kalian negara Barat. Kami tidak akan terburu-buru mengambil kesimpulan".

"China memantau dengan cermat situasi terbaru. Kami meminta kepada semua pihak untuk menahan diri agar situasi tidak lepas kendali," kata Hua Chunying.

"Mengenai definisi invasi, saya pikir kita harus melihat situasi saat ini di Ukraina. Masalah Ukraina memiliki latar belakang sejarah yang sangat rumit hingga hari ini. Mungkin tidak semua orang ingin melihat hal itu," paparnya.

Sikap China ini secara tidak langsung melemahkan pengakuan Beijing atas Ukraina sebagai "negara berdaulat."

Hua menambahkan negaranya akan tetap "melakukan hubungan perdagangan yang normal" dengan Rusia dan Ukraina.

Sementara itu Presiden AS Joe Biden telah mengumumkan paket sanksi baru untuk Rusia, menyebut Presiden Putin yang "sengaja memilih perang" akan menghadapi akibat dari perbuatannya itu.

Menurut Presiden Biden, paket sanksi baru itu menargetkan perbankan Rusia, para oligark, dan sektor teknologi tinggi.

Bersama dengan sekutunya, Amerika Serikat akan memblokir aset empat bank besar Rusia, memberlakukan kontrol ekspor, dan memberi sanksi kepada oligarki.

Presiden Biden juga mengatakan AS akan mengerahkan pasukan tambahan ke Jerman untuk mendukung NATO setelah invasi ke Ukraina, yang bukan anggota organisasi pertahanan itu.

Sanksi tersebut sejalan dengan desakan Gedung Putih untuk memukul sistem keuangan Rusia dan lingkaran dalam Presiden Putin, di samping memberlakukan kontrol ekspor agar industri dan militer Rusia kekurangan semikonduktor AS dan produk teknologi tinggi lainnya.

"Putin adalah agresor. Putin memilih perang ini, dan sekarang dia dan negaranya akan menanggung akibatnya," kata Presiden Biden.

Namun Presiden Biden menunda penerapan sanksi paling berat, termasuk memotong Rusia dari sistem pembayaran SWIFT — yang memungkinkan transfer uang dari bank ke bank di seluruh dunia — atau membatasi sektor energi Rusia.

Presiden Biden menyampaikan pidatonya kepada rakyat AS dari Gedung Putih, beberapa jam setelah mengadakan pertemuan virtual dengan para pemimpin Inggris, Kanada, Prancis, Italia, dan Jepang.

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Presiden Dewan Eropa Charles Michel dan Sekjen NATO Jens Stoltenberg juga hadir dalam pertemuan virtual itu.

Desakan untuk memotong akses Rusia terhadap sistem SWIFT disampaikan pula oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

"Kami mendesak pemotongan akses Rusia dari SWIFT, pemberlakuan zona larangan terbang di wilayah udara Ukraina serta tindakan efektif untuk menghentikan sang agresor," katanya. Mengimbangi pengaruh Amerika Serikat

Serangan militer Rusia terhadap Ukraina terjadi beberapa pekan setelah Presiden Putin bertemu dengan Presiden China Xi Jinping sebelum ajang Olimpiade Musim Dingin digelar di Beijing.

Kedua pemimpin saat itu mengumumkan kemitraan strategis untuk mengimbangi pengaruh AS, menyebut kedua negara akan bekerja sama di semua bidang, tak terkecuali bidang yang "terlarang".

Presiden Xi dan Presiden Putin telah menjalin kemitraan erat selama bertahun-tahun, namun tindakan Rusia di Ukraina menempatkan China dalam posisi yang canggung.

Ditanya apakah Presiden Putin memberi tahu China rencana untuk menyerang Ukraina, Jubir Deplu China Hua Chunying mengatakan Rusia tidak perlu meminta persetujuan dari China.

"Negara itu secara independen memutuskan dan menerapkan diplomasi dan strateginya sendiri sesuai dengan penilaian dan kepentingan strategisnya sendiri," katanya.

Menteri Pertahanan Australia, Peter Dutton, berpendapat bahwa Presiden Xi Jinping memegang kunci yang bisa mendorong Presiden Putin menghentikan invasi ke Ukraina.

"China satu-satunya negara yang dapat menelepon Presiden Putin sekarang dan memintanya untuk berhenti dari kesalahan fatal yang sedang dia lakukan saat ini," katanya.

"Mereka (Pemerintah China) tidak siap untuk melakukan hal itu," tambah Menteri Dutton.

"Mereka mungkin menunggu apa reaksi dunia sehingga mereka dapat membuat perhitungan sendiri terkait dengan isu Taiwan," katanya. Taiwan bersiaga penuh

Di tengah eskalasi situasi di Ukraina, Angkatan Udara Taiwan kembali bersiaga tinggi pada hari Kamis (24/02) setelah sembilan pesawat militer China yang memasuki zona pertahanan udara Taiwan.

Menurut Kementerian Pertahanan Taiwan, tindakan militer China itu terjadi pada hari yang sama ketika Rusia menginvasi Ukraina.

Disebutkan, delapan pesawat tempur J-16 China dan satu pesawat pengintai Y-8 terlibat terbang di daerah timur laut Kepulauan Pratas yang dikuasai Taiwan.

Angkatan Udara Taiwan mengirim pesawat memperingatkan pesawat-pesawat China tersebut.

Selain itu, mereka juga mengerahkan rudal pertahanan udara untuk "memantau kegiatan" pesawat-pesawat China.

Taiwan telah mencermati krisis Ukraina karena khawatir bahwa China mungkin mencoba memanfaatkan situasi itu di Taiwan.

Diproduksi oleh Farid Ibrahim dari berbagai sumber ABC News.

BACA ARTIKEL LAINNYA... WN China Dipulangkan Secara Paksa dari Palembang

Berita Terkait