Refleksi 25 Tahun Reformasi, Elsam dan KontraS Kritik Wacana Revisi UU TNI

Minggu, 21 Mei 2023 – 21:30 WIB
Diskusi publik yang digelar Imparsial menyoroti wacana revisi UU TNI, Minggu (21/5/2023). Foto: source for JPNN

jpnn.com, JAKARTA - Wacana revisi UU TNI yang mencuat ke publik disorot masyarakat sipil dalam diskusi yang digelar Imparsial di Cafe Sadjoe Tebet, Jakarta Selatan pada Minggu (21/5).

Diskusi publik tersebut mengangkat tema "Refleksi 25 tahun Reformasi: RUU TNI Mengancam Demokrasi dan Melanggar Konstitusi”.

BACA JUGA: Deklarasikan Pergerakan Advokat Indonesia, Para Aktivis 98 Ini Serukan Reformasi Jilid II

Direktur Elsam Wahyudi Djafar mengatakan supremasi sipil dan politik dalam revisi RUU TNI dapat dilihat sebagai indikator kemunduran reformasi pertahanan dalam hal ini TNI.

"RUU ini berpotensi untuk menghidupkan tentara pretorian," ujar Wahyudi, sebagaimana siaran pers diterima di Jakarta.

BACA JUGA: Peringati 25 Tahun Reformasi, Barikade 98 Tegas Dukung Jokowi 3 Periode

Wahyudi menuturkan bahwa dalam negara yang tentaranya bersifat pretorian, dia bisa mengawasi seluruh aktivitas masyarakat. TNI menjadi satu-satunya pengemban amanah untuk menjaga keamanan dan menjalankan agenda-agenda kerja pemerintah.

Hal itu menurutnya didasarkan pada doktrin total war, tidak hanya melihat ancaman dari luar, tetapi juga bahaya dari dalam. Untuk itu, tentara masuk ke dalam mengurusi urusan sosial hingga ekonomi.

BACA JUGA: Soroti Manuver Gibran bin Jokowi Bertemu Prabowo, Surokim Berkomentar Pedas

"Melalui doktrin itu, sipil dianggap tidak mumpuni mengemban urusan urusan tersebut. Inilah yang kemudian diubah oleh gerakan reformasi 1998," ucapnya.

Dia menilai dalam RUU revisi UU TNI terdapat penguatan fungsi pengkaryaan TNI aktif dalam institusi di luar TNI.

Dalam perspektif militer, katanya, mereka melakukan pengawasan ideologis dan politis, mengintegrasikan keamanan nasional dan pembangunan nasional.

"Yang mampu mengintegrasikan keamanan nasional dan pembangunan nasional adalah TNI," ujar Wahyudi.

Di sisi lain, dia memandang parlemen kehilangan peran kontrol dan pengawasan terhadap militer. Itu sebabnya penguatan kontrol sipil menjadi penting, termasuk peran parlemen dalam melakukan pengawasan terhadap militer.

Selain itu, Wahyudi menyebut Kementerian Pertahanan juga perlu disipilisasi. Sebab, meski status menterinya saat ini adalah sipil, namun tetap saja 'soldier never get old'.

"Pelanggaran HAM masa lalu juga tidak kunjung diselesaikan akibatnya militer kembali menguat. Reformasi peradilan militer tidak muncul dalam agenda legislasi nasional, padahal ini penting untuk proses reformasi militer," tutur Wahyudi.

Sementara itu, aktivis KontraS Andy Rezaldy dalam forum itu menyampaikan bahwa revisi RUU TNI berpotensi memperkuat militer dalam pengambilan kebijakan untuk TNI sendiri dan bahkan termasuk penyalahgunaan.

Dia mengatakan hari ini terjadi dominasi militer di ruang-ruang sipil. Awalnya adalah bersikap akomodatif tetapi kemudian berkembang mendominasi berbagai aspek, seperti terlibat dalam penanganan terorisme hingga pengamanan sumber daya nasional.

"Demokrasi di Indonesia ke depan bisa berpotensi didominasi oleh oknum militer dan pelaku ekonomi atau bisnis," ucap Andy.(fat/jpnn)


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler