jpnn.com - JAKARTA -- Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Pilpres sebagai bentuk perampasan keadilan. Pasalnya, pembacaan putusan itu tertunda sampai hampir satu tahun.
Seperti diberitakan, sebenarnya MK sudah mengambil keputusan terkait permohonan ini dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang digelar pada bulan Maret 2013. Namun, karena berbagai alasan, mahkamah baru menggelar sidang pembacaan putusan hari ini, Kamis (23/1).
BACA JUGA: KPK Dalami Dugaan Korupsi Dana P2SEM Jatim
"Justice delay, justice denied, seharusnya pemohon bisa dapatkan keadilannya saat ini, kalau dibacakan Maret 2013. Saya pun sepakat kalau sekarang dibacakan susah realistis," kata Refly saat berbincang-bincang dengan wartawan di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (23/1) malam.
Menurutnya, akibat penundaan maka pemohon telah mengalami kerugian. Pasalnya, putusan mengalami perubahan karena menyesuaikan dengan situasi terkini.
BACA JUGA: Politisi PDI-P Apresiasi Putusan MK
Apalagi, tambah Refly, MK sebenarnya tidak punya alasan kuat untuk menunda-nunda putusan. Sejumlah perkara uji materi lainnya juga membuktikan bahwa MK mampu membuat putusan dalam waktu yang sangat singkat.
"Soal KTP, dua hari sebelum pilpres, gak ada alasan. Gus Dur dulu soal jasmani dan rohani hari Senin diajukan, hari Kamis selesai," tuturnya.
BACA JUGA: Tuntaskan Dugaan Korupsi di Tubuh BJB
Refly pun berkesimpulan bahwa hakim MK telah berlaku tidak profesional dalam menangani perkara ini. Ia pun menyarankan agar pihak pemohon mengadukannya ke Dewan Etik MK.
"Unprofesional conduct, ini kebangetan. Ini hakim nggak bodoh tapi nggak profesional. Delapan hakim ini harus dilaporkan ke Dewan Etik," tegasnya. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beda Pendapat, Maria Anggap Pemilu Serentak Inkonstitusional
Redaktur : Tim Redaksi