jpnn.com, JAKARTA - Pakar hukum tata negara Refly Harun menyebut presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, menjadi mainan para cukong politik dan kartel dalam pemilu di Indonesia.
Hal ini disampaikan Refly, dalam webinar dengan tema "Ambang Batas Pilpres, Kuasa Uang dan Presiden Pilihan Rakyat" di Jakarta, Jumat (19/6).
BACA JUGA: Refly Harun: Meminta Presiden Mundur Boleh dalam Demokrasi
Hadir juga sebagai pembicara lain yakni pakar hukum tata negara sekaligus pemohon gugatan presidential threshold di MK, Denny Indraya dan peneliti senior LIPI R Siti Zuhro.
"Presidential threshold ini hanya digunakan cukong-cukong politik untuk menguasai parpol. Saya katakan ada kartel yang bekerja untuk memastikan bahwa hanya dua paslon saja yang bertanding di Pilpres 2014, 2019, maupun 2024 nanti," ucap Refly.
BACA JUGA: PKB Usul Presidential Threshold 10 Persen
Presidential threshold kembali menjadi perbincangan, seiring rencana merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu.
Berbagai upaya telah dilakukan sejumlah pihak untuk menghapuskan ambang batas itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga saat ini.
BACA JUGA: PKS Usul Presidential Threshold Cukup 7 Persen
Pakar HTN kelahiran Palembang ini bahkan mematahkan klaim bahwa presidential threshold diperlukan dengan arugmen kalau nanti dihilangkan, maka jumlah calon presidennya akan banyak sekali.
"Respons saya pertama adalah, emang kalau banyak kenapa? Karena kita tahu bahwa konstitusi kita kan sudah mengunci itu hanya dua putaran saja. Jadi kalau putaran pertama tidak memperoleh 50 persen plus satu persebaran di daerah, maka kemudian diadakan putaran kedua," jelas Refly.
Nah, dia menyebut banyak orang awam yang tidak paham dan menganggap bila presidential threshold dihilangkan, maka Pilpres akan lama sekali putarannya.
Refly menegaskan, anggapan itu keliru karena maksimal tetap dua putaran.
"Siapa yang menang, berapa jumlahnya, yang penting terbanyak dari calon lainnya maka dia terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Itu satu hal," jelas mantan ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi tersebut.
Refly juga meyakini, meskipun presidential threshold dihapuskan, tidak mudah juga menghadirkan banyak pasangan capres-cawapres.
Hal itu disebabkan ada ketentuan lain di UU 1945, yang mengatur syarat pencalonan presiden dan wapres.
"Tetapi tidak mungkin banyak juga, kenapa? Karena kalau kita kembali kepada persyaratan pasal 6A ayat 2 itu, bahwa paslon diusulkan parpol atau gabungan parpol peserta pemilu. Maka untuk menjadi pemilu susahnya minta ampun," jelas Refly.
Oleh karena itu, kata pria yang meraih gelar master (S2) ilmu hukum tata negara dari Universitas Notre Dame, Amerika Serikat, ini menyatakan upaya menghilangan ketentuan presidential threshold tetap harus dilakukan.
"Ke depan, jalan kita tetap dua, mendesak partai-partai untuk menghapuskan presidential threshold semaksimal mungkin dan tetap mengajukan judicial review ke MK, karena kan nanti ada undang-undang baru," tandasnya. (fat/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam