Reformasi Pajak Jadi Solusi Gap Kelas Atas dan Bawah? Ini Kata Pakar Ekonomi

Senin, 23 Agustus 2021 – 17:40 WIB
Direktur Celios Bhima Yudhistira menyebut reformasi pajak mendesak, salah satunya untuk mempersempit jurang antara pajak kelas atas dan bawah. Ilustrasi Foto: dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut ada gap antara pajak kelas atas dan bawah selama pandemi Covid-19.

Menurut Bhima, reformasi pajak adalah salah satu solusi mengurangi gap tersebut.

BACA JUGA: Bu Menkeu Sudah Pasang Kuda-Kuda, Pengusaha Siap-Siap Insentif Pajak Bakal Lebih Selektif

"Jadi terkait revisi UU KUP pasal 44D berkaitan dengan perubahan UU PPh pasal 17 yang menambah jumlah bracket pajak dan tarif PPh Orang Pribadi harus diprioritaskan. Ini perlu mendapat dukungan. Sejauh ini tarif PPh dan jumlah bracket atau golongan pajak untuk orang kaya terlalu sedikit," ujar Bhima saat dikonfirmasi JPNN.com, di Jakarta, Senin (23/8).

Bhima mengatakan usul PPh di atas Rp 5 miliar dikenakan tarif pajak hingga 45 persen. Dari kenaikan tarif PPh orang pribadi, peningkatan kepatuhan dan pendataan wajib pajak yang valid akan menghasilkan dampak ke penerimaan pajak secara besar.

BACA JUGA: Sri Mulyani Bakal Atur Ulang Objek Pajak PPN, Ada Sembako hingga Jasa Kesehatan

"Andaikan UU PPh-nya diloloskan maka tidak perlu pemerintah bahas soal PPN ke sembako," ungkapnya.

Selain itu, kata Bhima, Pasal 31F Penerapan Alternative Minimum Tax/pajak minimum diperlukan untuk mencegah praktik penghindaran pajak perusahaan-perusahaan asing.

BACA JUGA: Keluhan Sri Mulyani soal Wajib Pajak Badan: Mengaku Rugi, tetapi Mengembangkan Usaha

Selama ini ada perusahaan yang sengaja mencatat rugi di laporan keuangan sebagai trik menghindari pembayaran PPh badan misalnya.

"Yang masih perlu didiskusikan adalah apakah cukup tarif minimum satu persen?" kata Bhima.

Oleh karena itu, dia menilai reformasi perpajakan mendesak dilakukan dengan perhitungan dan cara yang tepat tepat, agar tidak menghambat pemulihan ekonomi nasional dari dampak COVID-19.

Pemerintah juga perlu mengarahkan reformasi perpajakan kepada pencegahan penghindaran pajak antar negara dan penurunan emisi karbon secara signifikan.

Bhima menyebut penerapan pajak karbon yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) pasal 44G perlu diprioritaskan.

Dalam jangka pendek, menurut Bhima, pemerintah bisa berfokus mengenakan pajak karbon untuk hulu industri ekstraktif yang menghasilkan emisi karbon, seperti pertambangan.

“Sementara penerapan pajak karbon ke masyarakat sebaiknya dilakukan secara hati-hati dengan menimbang daya beli per kelompok masyarakat,” imbuhnya.

Lebih lanjut, pajak minimum alternatif (alternative minimum tax) untuk perusahaan asing juga perlu mulai diterapkan dengan tarif yang bisa di atas satu persen.

Di samping itu, basis barang yang dikenakan cukai juga perlu perlu diperluas sehingga tidak hanya rokok, alkohol, dan etil alkohol.

“Ke depannya barang kena cukai bisa didorong lebih banyak, misalnya minuman berpemanis yang punya efek ke kesehatan idealnya dikenakan cukai juga,” ucap Bhima. (mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler