jpnn.com, JAKARTA - Ketua Umum Serikat Pekerja Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) Sudarto menyoroti draft RUU Omnibus Law, yang menurutnya merugikan pekerja.
"RUU Omnibus Law ini memberikan dampak terhadap menurunnya kesejahteraan pekerja Indonesia," kata Sudarto dalam rapimnas FSP RTMM-SPSI di Bogor, Rabu (30/9).
BACA JUGA: Revisi PP 109/2012, Sudarto: Bukti Pemerintah Tidak Adil kepada IHT
Menurut Sudarto, pihaknya telah berkirim surat kepada Presiden Jokowi, DPR dan Kementerian terkait RUU Omnibus Law meresahkan pekerja.
“Kami mempunyai tiga keinginan agar tidak diabaikan pemerintah dalam RUU tersebut. Pertama yakni meminta semua hak dan perlindungan tenaga kerja tetap terjaga sebagaimana mestinya,” paparnya.
BACA JUGA: RUU Cipta Kerja Rampung Dibahas, KSPN Tolak Ikut Mogok Nasional
Keinginan kedua, industri sebagai sawah ladang pekerja diperhatikan dan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang agar bisa mensejahterakan pekerjanya dan memperluas lapangan kerja.
Ketiga, peran serikat pekerja sebagai wakil pekerja hendaknya diberikan porsi dalam pengambilan keputusan kebijakan ketenagakerjaan maupun regulasi yang menyangkut ketenagakerjaan.
BACA JUGA: Sah! Semua Fraksi DPR Sepakat soal Klaster Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja
"Selama omnibus law tidak menggangu usulan tersebut, kami mendukung tetapi kalau mengganggu, kami pasti menyatakan menolak," papar Sudarto.
Selain RUU Omnibus Law, untuk sektor industri hasil tembakau (IHT) menghadapi regulasi yang dinilai menghambat keberlangsungan industri tembakau.
Mulai dari kenaikan harga jual eceran (HJE), rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012, hingga rencana ekstensifikasi cukai.
“Kenaikan tarif cukai dan HJE ibarat agenda tahunan yang mencekik IHT. Beleid tersebut berimbas pada pengurangan produksi, khususnya industri sigaret kretek tangan (SKT) dan berdampak pada efisiensi tenaga kerja,” tutur Sudarto.
Berdasarkan data FSP RTMM-SPSI selama 10 tahun terakhir, ada 63 ribu pekerja rokok yang terpaksa kehilangan pekerjaan. Jumlah industri ini berkurang dari 4.700 perusahaan menjadi sekitar 700 di 2019.
"Penyesuaian tarif cukai dan HJE berdasarkan target penerimaan dalam APBN menyulitkan kalangan industri dalam merencanakan produksi dan penetapan harga jual produk. Kami setiap tahun selalu mendorong agar kenaikannya moderat dan kalau memungkinkan berdasarkan nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi," tutur Sudarto.
Sudarto berharap, pemerintah menjaga kelangsungan IHT dan industri makanan dan minuman yang merupakan ladang penghidupan jutaan masyarakat Indonesia.
“Regulasi yang dibuat pemerintah hendaknya juga mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama tenaga kerja dalam memperoleh penghidupan yang layak. Untuk sektor SKT, sebaiknya mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena produk asli Indonesia,” tandas Sudarto.(chi/jpnn)
Redaktur & Reporter : Yessy