Rekor 8 Menit

Oleh Dahlan Iskan

Jumat, 19 April 2019 – 04:24 WIB
Foto/ilustrasi: disway.id

jpnn.com - Koran hampir mati. Namun kertas suara masih lebih lebar dari koran.

Zamannya digital. Generasinya milennial. Namun coblosannya masih pakai paku.

BACA JUGA: Pesta Demokrasi Belum Usai, Tetaplah Meningkatkan Kesiapsiagaan

Itulah pemilihan umum Indonesia tahun 2019. 

Di TPS saya antre lama, tetapi tidak mengeluh. Bisa saya manfaatkan untuk penelitian ringan. Saya aktifkan stopwatch di HP saya.

BACA JUGA: Luna Maya Mencoblos di Amerika

Seorang milennial dipanggil. Untuk mengambil surat suara. Lima lembar. Yang masih dalam keadaan terlipat. Umurnya sekitar 20 tahun.

Begitu dia memasuki kotak pencoblosan stopwatch saya hidupkan. Dua menit. Dua setengah menit. Tiga menit. Belum juga selesai.

BACA JUGA: Mengaku Anggota Intelkam Berulah di Sejumlah TPS, Oh Ternyata

Dia baru meninggalkan boks setelah 3,75 menit. Dia lantas ke kotak suara. Memasukkan pilihannya.

Giliran seorang mantan direktur keuangan dipanggil. Ia sudah pensiun lima tahun lalu. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah saya. Ia tidak tahu kalau saya lagi main stopwatch.

Catatan waktu yang ada di HP itu saya capture. Pakai fitur screenshot. Ketika ia meninggalkan TPS capture-an itu saya kirim ke nomor WhatsApp (WA)-nya: empat menit.

"Lama juga ya saya tadi," komentarnya lewat WA.

"Tidak apa-apa," kata saya. "Anda kan orang keuangan. Harus teliti," tambah saya menghiburnya.

Rekor di TPS pagi itu adalah delapan menit. Lihat foto stopwatch saya. Entahlah. Apakah siangnya ada yang lebih lama.

Saya bergegas meninggalkan TPS. Harus ke bandara. Untuk ke Samarinda.

Sehari sebelum coblosan itu saya dari Jakarta ke Kudus. Jalan darat. Untuk pertama kali lewat tol Jakarta - Semarang.

Hanya satu jam di Kudus. Lalu ke Surabaya. Juga jalan darat. Bersama seorang kiai dari Tebu Ireng, Jombang.

Menjelang Kota Brebes kami harus isi BBM. Logika kami: pasti ada pompa bensin terdekat. Kami pun buka Google: ada. Tinggal 8 km lagi. Ternyata tutup.

Kami mulai grogi. Pertanda bensin mulai berwarna kuning. Namun kami masih agak tenang.

Kira-kira 20 km berikutnya ada pompa bensin lagi. Itu menurut Google.

Ternyata kami kecele: tidak ada. Yang ada hanya tulisan kecil: tutup. Pompa bensin itu kelihatannya sudah tutup agak lama. Mungkin belum melapor ke Google. Google ternyata tidak bisa sepenuhnya dipegang.

Kami putuskan keluar tol. Mencari pompa bensin di kota terdekat. Antara Tegal-Pemalang. Nyaris saja tangkinya kosong. Mengisinya pun agak lama: sampai penuh. Habis hampir Rp 600 ribu.

Tidak ada uang sebanyak itu di dompet kami. Pun kami tidak bisa membayar pakai kartu kredit.

Namun, kata petugas, jangan khawatir. Petugas di stasiun itu baik hati.

"Ada ATM di sana," katanya sambil menunjukkan jari. "Itu ada sepeda motor yang bisa mengantar ke sana," tambahnya.

Tentu mobil kami tidak boleh jalan. Belum bayar.

Rupanya banyak juga yang dompetnya kosong. Ada sepeda motor yang spesial menjual jasa untuk ke ATM.

Dalam hati saya tersenyum. Di zaman digital masih ada cerita seperti ini. Saya jadi ingat di Tiongkok. Yang segala hal tinggal klik di HP. Dompet justru dibiarkan kian kosong.

Lima tahun lagi 5G sudah bukan barang baru. Yang segala hal akan lebih mudah. Lebih cepat. Lebih akurat. Lebih persis.

Dengan 5G, tahun depan, di banyak negara blok Tiongkok, Anda sudah bisa men-download sebuah film full HD hanya 40 detik.

Bandingkan dengan saat kita pakai 4G sekarang ini: 7 menit. Atau saat kita masih 2G dulu: satu minggu.

Dengan 5G kita sudah bisa melihat istri lagi ngapain di salon. Atau melihat suami yang lagi di diskotek.

Masihkah kita akan membuka surat suara selebar koran lagi? Dengan antre ke TPS? Yang petugas TPS-nya, masih ada yang bilang: pilih nomer x saja? (***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Polri Minta Elite Politik Jangan Memprovokasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler