DENTUMAN musik dangdut terdengar nyaring di Jalan Dupak Bangunsari pada Rabu malam (5/8). Suara musik itu datang dari kafe atau rumah musik yang berjejer di sepanjang jalan tersebut. Cahaya lampu juga berkilauan sampai di jalanan. Ingar-bingar dan keasyikan para pengunjung terlihat hingga ke jalan. Sebab, pintu kafe itu terbuka lebar.
---------
Khafidlul Ulum, Surabaya
---------
Botol minuman keras tampak berjejer di atas meja. Sebagian orang tampak asyik bernyanyi dengan ditemani perempuan berpakaian ketat.
Ya, kawasan eks lokalisasi Bangunsari itu memang tetap ramai. Prostitusinya memang resmi ditutup tahun lalu. Tapi, dunia malamnya tak serta-merta mati. Kafe-kafe dengan pelayan seksi masih beroperasi.
BACA JUGA: Mengenal Ignatius Ryan Tumiwa, Penggugat Pasal Eutanasia di MK
Di luar itu, tampak salah satu warung, penjual menu penyetan, yang ramai. Di antara pengunjungnya, tampak dua laki-laki berbincang akrab dengan beberapa pelayan kafe yang sedang marung. Bahkan, salah satu di antara mereka ditraktir sebungkus penyetan.
Dua laki-laki itu adalah M. Arif An dan Tukul Bintoro. Arif An adalah anggota Pokja HIV/AIDS Kecamatan Krembangan, sedangkan Tukul sebagai anggota Pokja HIV/AIDS Tambakasri, Kelurahan Morokrembangan.
BACA JUGA: Ivan Mbatik Habibie, Ayung Pilih Enak Jamanku To
Sebagai relawan yang menangani ODHA (orang dengan HIV/AIDS), keduanya terbiasa bergaul dengan para pelayan kafe yang sebelumnya bekerja sebagai PSK di kompleks tersebut. ’’Hanya sebagian yang kena HIV/AIDS,’’ jelas Arif An.
Satu lagi anggota pokja yang malam itu ikut berbincang. Yaitu, Sulasih, pemilik warung yang sudah lama menjadi anggota Pokja HIV/AIDS Dupak Bangunsari. Arif An, Tukul, dan Asih adalah sebagian relawan yang paling getol memberikan pendampingan bagi para ODHA.
BACA JUGA: Mantan Deputi Menteri BUMN Sulap Lalat Jadi Pakan Ternak
Tidak hanya memberikan konseling dan motivasi, mereka juga mendampingi para ODHA saat berobat ke RSUD dr Soetomo.
Mereka bergabung dengan pokja pada 2010 silam. Tukul mengungkapkan, sebelum bergabung menjadi anggota pokja, dirinya mendapatkan pelatihan dari Yayasan Hotline Surabaya. Beberapa hari dia dididik sehingga paham tentang penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya itu.
Pada salah satu sesi pelatihan, dia diajak melihat para ODHA di RSUD dr Soetomo. Tukul merasa kaget dan trenyuh melihat kondisi penderita yang sangat memprihatinkan, terutama mereka yang sudah parah. ’’Badannya tinggal tulang,’’ ucap pria yang tinggal di Tambakasri 224 tersebut.
Mulai saat itu, timbul keinginan yang kuat untuk membantu para ODHA, terutama para PSK dan warga yang terkena penyakit tersebut. Selama ini, banyak warga yang tidak peduli dengan kondisi mereka. Bahkan, banyak orang yang takut bergaul dengan ODHA.
Selesai ikut pelatihan, Tukul langsung bergabung dalam pokja yang saat itu baru saja didirikan. Bersama relawan yang lain, dia aktif memberikan sosialisasi dan rutin membantu pemeriksaan kesehatan bagi para PSK dan warga sekitar. Semua PSK wajib ikut periksa kesehatan. Jika tidak ikut, mereka bisa dipulangkan. Biasanya, mucikari yang meminta mereka untuk rajin periksa.
Saat itu, kata dia, di Tambakasri atau kompleks lokalisasi Kremil ada 25–30 orang yang terkena virus tersebut. Sementara itu, di Bangunsari terdapat 25–26 orang yang positif HIV/AIDS. Mereka mendapat pendampingan dari pokja. Pendampingan itu dilakukan agar mereka selalu terpantau.
Tukul termasuk orang yang sangat dekat dengan ODHA. Pria yang mempunyai usaha cuci motor itu mengungkapkan, dirinya rutin mendampingi mereka untuk periksa dan mengambil obat di rumah sakit.
’’Saya harus meluangkan waktu sehari penuh untuk mengantar mereka. Kadang saya yang ke sana mengambil obatnya sendiri,’’ katanya. Dia sering mengeluarkan uang pribadi untuk biaya transpor.
Menurut Tukul, tidak mudah mendampingi ODHA. Suatu hari, dia pernah mendampingi PSK untuk periksa. ’’Awalnya dia bukan ODHA. Periksa agar diketahui apakah kena atau tidak,’’ terangnya. Setelah diperiksa, ternyata perempuan tersebut positif mengidap HIV/AIDS.
Perempuan itu kaget dan stres berat. Ketika di perjalanan pulang, PSK tersebut berusaha bunuh diri dengan meloncat dari sepeda motor yang ditumpangi. Beruntung, Tukul bisa menenangkan perempuan itu. Dia memberikan nasihat dan motivasi positif di pinggir jalan sembari minum es tebu.
Kejadian tersebut menjadi pelajaran berharga baginya. Setelah itu, setiap mengantar ke rumah sakit, Tukul mengajak mereka naik angkot agar tidak ada yang mencoba bunuh diri. Menurut Tukul, mendampingi ODHA tidaklah mudah. Mereka kerap marah karena stres. Dia pun kerap kena imbas.
Padahal, bantuannya selalu sukarela. Pengalaman lain dialami Asih. Tidak hanya mengantarkan mereka periksa kesehatan, dia juga rela mengurus berbagai persyaratan untuk berobat. Salah satunya surat keterangan miskin. Karena kebanyakan mereka berasal dari luar kota, dia pun harus berangkat ke luar kota.
Berbekal alamat yang didapat, Asih mencari daerah asal PSK. Salah satunya di Dampit, Malang. ’’Rumahnya terletak di pelosok sekali. Saya harus lewat sawah-sawah,’’ katanya. Asih juga pernah mengurus surat ke Probolinggo, Tulungagung, Madura, Kediri, dan beberapa daerah lain.
Semuanya berada di pelosok desa. Bahkan, dia harus naik turun gunung untuk mendapatkan surat keterangan miskin. Semua biaya perjalanan itu ditanggung sendiri, tidak ada yang membiayai. Sebagai relawan, Asih harus siap berkorban. Menurut dia, setelah membantu, biasanya ada saja rezeki yang datang.
Walaupun lokalisasi sudah ditutup, lanjut Asih, sampai sekarang dia masih melakukan pendampingan. Sebab, di wilayahnya masih ada 14 orang yang menderita penyakit tersebut. Dia masih rutin memantau agar mereka selalu mengonsumsi obat yang diberikan dokter.
Tukul menambahkan, mengurusi ODHA tidak hanya saat mereka masih hidup. Ketika mereka meninggal, dia juga aktif mengurusnya. Setelah lokalisasi Kremil ditutup, ada lima orang yang meninggal karena penyakit tersebut. Ketika ODHA meninggal, warga sekitar enggan mengurusnya.
Tidak ada yang mau memandikannya. Bahkan, modin pun takut mendekat. Akhirnya dia yang memandikan dengan dibantu beberapa anggota pokja. Selain memandikan, dia harus mengurus pemakaman. Bagaimana dengan biaya pemakaman? Menurut dia, selama ini pihaknya yang urunan untuk membiayai pemakaman ODHA. Tidak ada biaya dari pemerintah.
Saat lokalisasi masih buka, dia bisa berkeliling ke beberapa wisma untuk meminta sumbangan buat biaya pemakaman. Sekarang anggota pokja yang harus urunan. ’’Waktu itu kami juga urunan, tapi dibantu pemilik wisma,’’ terangnya. Kalau tidak urunan, tidak ada orang yang mau membiayai.
Arif An menyatakan, saat ini pokja masih aktif melakukan pendampingan. Bahkan, kondisinya semakin sulit karena mantan PSK tinggal di kos-kosan. Jadi, tidak ada lagi aturan yang perlu mereka taati. Berbeda jika mereka tinggal di wisma, masih ada mucikari yang setiap hari memantau.
Yang perlu diwaspadai adalah ODHA yang stres. Penderita itu berbahaya karena akan mencari mangsa untuk ditulari. Dia pernah dicurhati seorang penderita. PSK itu mengeluh, saat dia masih muda dan sehat, banyak yang mau dengannya. Tapi, ketika dia menderita penyakit, semua orang menjauhi.
Akhirnya, perempuan itu pun stres dan kesal sehingga mengambil jalan dengan menawarkan ’’jasa’’ gratis kepada anak-anak muda di sekitarnya. Ternyata, banyak anak muda yang tergiur sehingga tertular penyakit tersebut.
Modus seperti itu juga pernah dilakukan ODHA yang masih muda. Dia juga memberikan layanan gratis bagi anak-anak muda. Banyak yang tergiur karena PSK itu masih muda.
Menurut ketua PC Muhammadiyah Krembangan itu, saat itu dirinya pernah mengumpulkan beberapa anak muda. Dia pun dengan terang-terangan bertanya, siapa yang pernah tidur dengan PSK tersebut. Ternyata, ada lima orang yang mengaku pernah tidur gratis. ’’Saya langsung minta mereka periksa. Beruntung, tidak ada yang positif,’’ jelasnya.
Dalam perjalanannya, para anggota pokja itu memang kerap mengalami suka dan duka. Tapi, mereka tetap teguh menjalani kiprah sukarela itu. (*/c17/dos)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Semobil, Serasa dengarkan Kaset Kartolo, tapi tanpa Kaset
Redaktur : Tim Redaksi