Remehkan Volunterisme, Politisi Gerindra Dicap Terbiasa Politik Transaksional

Rabu, 02 Juli 2014 – 15:23 WIB
Harry Van Yogya (dua kanan), saat bertemu muka dengan Capres Joko Widodo usai mengayuh becak dari Jogjakarta. Foto.ist

jpnn.com - JAKARTA - Sikap politisi Partai Gerindra, Pius Lustrilanang yang meremehkan volunterisme (kesukarelawanan) menuai kritik.

Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ari Dwipayana, menilai sikap Pius meremehkan volunterisme yang ada di kubu Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK), justru memerlihatkan dirinya sudah terbiasa dengan cara-cara politik mobilisasi dan transaksional, sehingga tidak rela menerima kenyataan bawah volunterisme itu masih ada.

BACA JUGA: Dakwaan Sogok MS Kaban Cs Terbukti, Anggoro Kena 5 Tahun Bui

Menurut Ari, kesukarelawanan atau volunterisme di kubu Jokowi-JK merupakan kelebihan dari pasangan tersebut untuk menyentuh hati nurani masyarakat.

Volunterisme ditunjukkan dua tukang becak, Blasius Hariyadi atau Harry van Yogya dan Abuanto, yang menggenjot becak dari Jogjakarta ke Jakarta untuk mendukung Jokowi-JK.

BACA JUGA: Layanan Publik Harus Murah dan Cepat

"Kalau Pius tak percaya adanya volunterisme, sikap Pius tersebut telah membuka 'wajah asli' bahwa mereka sudah terbiasa dengan politik mobilisasi dan transaksional sehingga gagal untuk melihat kemunculan volunterisme," kata Ari Dwipayana, di Jakarta, Rabu (2/7).

Menurut Ari, tak bisa ditolak lagi bahwa ada ketidakmampuan Pius yang mendukung Prabowo-Hatta, untuk menggerakan volunterisme warga itu.

BACA JUGA: Kouta Penempatan Transmigran Tahun Ini Menurun

Yang ditunjukkan saat ini memang kontras antara kubu Jokowi-JK dengan Prabowo-Hatta, dimana kubu Jokowi-JK sangat padat relawan tanpa bendera partai dan berasal dari segala segmen sosial. Sedangkan kubu Prabowo-Hatta justru lebih kental bendera partai.

Hal kontras lain adalah, volunterisme ditandai dengan keanekaragaman, bersifat desentralisasi, dan tersebar karena muncul dari inisiatif warga.
Sementara politik mobilisasi-transaksional ditandai dengan keseragaman karena didorong oleh instruksi, komando dan terpusat.

"Volunterisme yang tumbuh dari warga pada saat Pilpres 2014 ini menegaskan kontras dengan politik transaksional alias politik wani piro yang justru berkembang kuat dalam sepuluh tahun terakhir," tegas Ari.

Lebih lanjut, Ari menilai pernyataan yang meremehkan kesukarelawan justru menunjukkan bahwa ada politisi yang yakin dengan kekuatan uang besar yang dianggap akan mampu membeli dukungan pemilih.

Hal demikian jelas berbahaya bagi demokrasi Indonesia karena kemenangan di pemilu akan dilakukan dengan kemampuan membeli partai, membeli suara pemilih, membeli penyelenggara, bahkan kemampuan membeli aparat.

"Indikasi semakin nyata dengan munculnya model transaksional dalam membangun koalisi dan menarik dukungan tokoh, surat untuk guru yang diselipi uang Rp100 ribu, artis pendukung berbayar sampai penggerak sosial media berbayar," tegasnya.

Bagi Ari Dwipayana sendiri, volunterisme yang ditunjukkan Harry dan Abuanto, serta jutaan masyarakat lainnya pendukung Jokowi-JK, mengingatkannya lagi pada kesukarelawanan sejenis yang terjadi pada 1999.

Saat itu, warga secara sukarela dan swadaya terlibat dalam politik elektoral seperti mengadakan atribut kampanye dengan biaya sendiri, membiayai aktivitas posko-posko secara gotong royong, sampai dengan sumbangan pada dapur umum.

"Apa yang menggerakkan itu? Apakah uang? Jelas bukan. Mereka digerakkan oleh keinginan atas perubahan. Mereka digerakkan oleh sebuah harapan. Dan juga digerakkan oleh keinginan untuk menolak demokrasi yang ada dikuasai oleh kaum oligarki politik bisnis," bebernya.

“Itulah yang menjelaskan kemunculan relawan yang mau terlibat tanpa mobilisasi."

Sebelumnya, satu video berjudul Harry van Yogya diunggah oleh akun "Jakartanicus" ke YouTube, menggambarkan Harry dan Abuanto, menggenjot becak dari Yogyakarta menuju Jakarta.

Start dari titik nol kilometer Yogyakarta pada 13 Juni, keduanya mengayuh becak masing-masing ke Jakarta sebagai bentuk dukungan untuk Jokowi-JK.

Di video itu, Pius mengeluarkan pernyataan dan menanggapinya. "Masyarakat sudah tidak mau keluar uang, yang ada adalah transaksi. Wani piro. Jika anda ingin menggerakkan mesin, anda harus punya oli, anda harus punya bensin. Saya tidak percaya adanya volunterisme."

"Apa istimewanya? Banyak orang cari sensasi sepanjang republik ini berdiri. Berjalan kaki, berjalan mundur, sama saja. Enggak ada istimewa," kata Pius lagi.

"Dia menikmati, dia memang tukang becak. Jangan-jangan dengan begitu penghasilannya justru lebih banyak daripada genjot becak biasa," kata anggota DPR asal Fraksi Partai Gerindra itu. (adk/jpnn)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Kereta Baru INKA Siap Bantu Angkut Pemudik


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler