Rencana Kenaikan PPN 12 Persen Meresahkan, Perekonomian Bisa Terpukul

Rabu, 15 Mei 2024 – 07:02 WIB
Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 meresahkan masyarakat. Ilustrasi restoran sebagai salah satu objek PPN. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 meresahkan masyarakat.

Pasalnya, kata Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Ecky Awal Mucharam kenaikan PPN 12 persen bisa memukul mundur kondisi perekonomian masyarakat.

BACA JUGA: Said Abdullah: Kenaikan PPN 12 Persen Membebani Rakyat dan Pelaku Usaha

Menurutnya, pemerintah yang bersikukuh menaikkan PPN kontraproduktif dengan kondisi daya beli masyarakat saat ini.

“Rencana kenaikan PPN sangat menghimpit masyarakat. Ini akan memukul mundur daya beli masyarakat yang saat ini dihadapkan pada berbagai tekanan perekonomian” buka Ecky.

BACA JUGA: Awas! Pertumbuhan Ekonomi Terhambat karena Kenaikan PPN jadi 12 Persen

Menurutnya, beberapa tahun terakhir merupakan tahun tersulit yang dihadapi oleh masyarakat.

Ecky mencontohkan berbagai macam guncangan yang mengakibatkan pendapatan mereka tergerus karena gejolak perekonomian, mulai dari kenaikan harga harga bahan bakar minyak, bahan pokok dan lainnya.

Kemudian, beberapa waktu lalu masayarakay Indonesia juga merasakan kenaikan harga pangan khususnya beras. Belum usai beras meningkat, bahan pangan berbasis protein dan suku bunga kredit.

"Daya beli masyarakat benar-benar menghadapi pelemahan. Survei konsumen yang dilakukan oleh BI menunjukkan bahwa rasio konsumsi kelompok dengan pengeluaran di bawah Rp 5 juta sebagian besar mengalami penurunan. Penurunan paling dalam dicatatkan oleh kelompok pengeluaran Rp 2,1 juta - Rp 3 juta, diikuti kelompok pengeluaran Rp 4,1 juta - Rp 5 juta. Ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat makin terpukul," ungkap Ecky.

Ecky juga menuturkan bahwa pukulan terhadap daya beli masyakarat juga ditunjukkan dengan konsumsi yang belum cukup mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada triwulan I.

“Terbaru kita bisa melihat bagaimana konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di 4,91 persen, angka ini berada di bawah level pertumbuhan ekonomi nasional. Padahal, triwulan I memiliki beberapa momentum penting untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi, seperti momen Ramadan dan Lebaran. Nyatanya, daya beli justru sedang terpukul," jelas Ecky.

Ecky menuturkan PPN dominan dalam struktur penerimaan perpajakan. Demikian halnya dengan PPN impor yang cukup besar.

Dia menilai dengan mayoritas bersumber dari dalam negeri berupa konsumsi masyarakat, kenaikan tarif PPN tidak hanya akan berdampak pada pelemahan daya beli masyarakat, melainkan juga meningkatkan tekanan bagi perekonomian nasional.

"Kita bisa melihat bagaimana penerimaan pajak utama seperti PPN pada triwulan I-2024 menurun sekitar 24,8 persen. Padahal porsi PPN ini dominan terhadap struktur penerimaan perpajakan. Secara sektoral, pajak yang bersumber dari sektor industri juga turun sebesar 14,6 persen. Demikian halnya dengan perdagangan yang pada triwulan ini turun sekitar 0,74 persen," ujar Ecky

Ecky juga menjelaskan bahwa transmisi kenaikan PPN pada jangka panjang justru akan melemahkan daya saing dan profit industri.

“Daya beli yang tergerus akibat kenaikan PPN justru memiliki peran terhadap penurunan penjualan oleh industri. Dampaknya adalah penjualan tergerus dan menekan output produksi secara agregat. Di sisi lain, kenaikan ini juga akan mengganggu daya saing industri dalam negeri dan menggerus ekspor.” Jelas Ecky.

Ecky menjelaskan, bahwa sejak awal partainya menolak kenaikan pajak dalam pembahasan RUU HPP.

“Sejak awal PKS sudah menolak kenaikan PPN dalam pembahasan RUU HPP, PKS melihat bahwa kenaikan PPN hanya akan memberatkan daya beli dan ekonomi masyarakat. Kami konsisten terhadap sikap ini (penolakan kenaikan PPN)," pungkas Ecky.(mcr10/jpnn)


Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler