jpnn.com, JAKARTA - Kebijakan publik harus didasari asas dialogis. Menata sistem jaminan sosial bagi pekerja tidak hanya berdasarkan alasan teoretis dan yuridis, tetapi juga menjawab kondisi sosial yang dihadapi para pekerja.
"Aturan jaminan hari tua bagi pekerja seharusnya lahir dari proses dialog antara sejumlah pihak yang terkait sehingga sistem jaminan sosial yang dibangun itu benar-benar bisa bermanfaat bagi pekerja," kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Tata Kelola Sistem Jaminan Sosial yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (23/2).
BACA JUGA: Rerie Minta Pemerintah Lindungi PRT di Luar Negeri lewat Realisasi UU PPRT
Menurut Lestari, manusia memiliki nilai personal, sosial, dan spiritual. Selain
untuk memenuhi kebutuhan dasar dan aktualisasi diri, kerja memiliki tujuan agar bisa berbagi manfaat bagi orang lain.
BACA JUGA: Mbak Rerie Berharap Kemandirian Masyarakat Dibangun untuk Hadapi Kenormalan Baru
Dinamika kerja manusia dalam konteks bernegara, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, menuntut tanggung jawab perlindungan negara atas warga negaranya.
Salah satu tanggung jawab itu, ujar Rerie, diatur dengan mekanisme melalui ragam jaminan. Salah satunya adalah jaminan hari tua (JHT) bagi para pekerja.
BACA JUGA: Mbak Rerie: Tanamkan Nilai-Nilai Kebangsaan Lewat Proses Pendidikan
Peraturan baru tentang jaminan hari tua pekerja, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, dalam beberapa pekan terakhir ramai menjadi pembicaraan publik.
Bahkan, sejumlah kalangan mendorong agar aturan baru tersebut direvisi agar sistem jaminan bagi pekerja itu mampu menjawab kebutuhan para pekerja di era yang penuh ketidakpastian ini.
Rerie sangat berharap sistem jaminan sosial yang diterapkan pemerintah benar-benar bisa bermanfaat bagi para pekerja yang saat ini menghadapi ancaman pemutusan hubungan kerja sebagai dampak dari perubahan di sejumlah sektor akibat pandemi Covid-19.
Kapoksi Komisi IX Fraksi Partai NasDem DPR RI Irma Suryani Chaniago menuturkan, kegaduhan yang terjadi terkait terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Sebab, hal itu bertentangan dengan PP 60/2015 tentang Penyelenggaraan Jaminan Hari Tua yang memperbolehkan pekerja yang berhenti bekerja bisa langsung mengambil JHT di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Irma menyarankan, Menteri Tenaga Kerja mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang bertentangan dengan peraturan pemerintah dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Kemudian, ujar Irma, aturan jaminan hari tua sebenarnya tidak kaku, bisa dicairkan setelah usia pekerja 56 tahun atau sebelumnya asalkan sudah membayar iuran selama 10 tahun.
Pemerintah, tambah Irma, juga sudah mengedepankan opsi jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) untuk menjawab kebutuhan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Yang menjadi persoalan bagi buruh, menurut Irma, adalah besaran JKP lebih rendah daripada JHT sehingga tidak mampu menjawab kebutuhan buruh.
Editor Media Indonesia, Soelistijono, berpendapat kekisruhan yang terjadi setelah diterbitkannya permenaker ini karena kurangnya sosialisasi.
Negara harus terlibat dalam upaya melindungi warga negara, termasuk para pekerja.
Menurut dia, hingga saat ini, banyak pekerja yang belum mendapat perlindungan yang memadai dari negara, seperti pekerja di sektor informal dan outsourching.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia Sabilar Rosyad mengungkapkan, persoalan yang dihadapi buruh saat ini adalah besaran JKP yang ditawarkan jauh lebih kecil daripada JHT.
Selain itu, menurut Sabilar, di lapangan banyak perusahaan yang memaksa pekerjanya mengundurkan diri agar tidak melakukan PHK yang berdampak pada pemberian pesangon.
Pada posisi tersebut, tambah Sabilar, buruh berada di pihak yang lemah sehingga sangat membutuhkan bantuan.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio sejak awal menyampaikan kepada Pemerintah bahwa permenaker itu merupakan kebijakan yang tidak lengkap.
Ada kesan terburu-buru karena permenaker itu ternyata bertentangan dengan aturan yang sudah ada.
Penerbitan aturan yang sensitif, menurut Agus, membutuhkan sikap kehati-hatian dari para menteri terkait agar tidak menimbulkan kegaduhan.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Atang Irawan, terbitnya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 memperlihatkan politik legislasi yang buram dari penyelenggara negara.
Menteri Tenaga Kerja, jelas Atang, melanggar keputusan judicial review Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja yang melarang penerbitan aturan-aturan turunan dari UU Cipta Kerja selama pemerintah merevisi undang-undang itu. Aspek tenaga kerja adalah salah satu yang diatur dalam UU Cipta Kerja.
Selain itu, tegas Atang, permenaker itu tidak memiliki legal standing yang jelas karena tidak ada aturan di atasnya.
Menurut Atang, terjadi problem inkonstitusional dalam penerbitan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Karena itu, dia menyarankan agar Permenaker tersebut segera dicabut.
Wartawan senior Saur Hutabarat mengungkapkan jaminan hari tua itu sudah dipandang sebagai tabungan oleh para pekerja yang bisa diambil sewaktu-waktu. Berlakunya permenaker itu, menurut Saur, mencederai pemahaman tersebut.
Selain itu, jumlah orang yang memiliki dana cadangan di atas enam bulan biaya hidup di Indonesia sangat sedikit.
Pekerja yang terkena PHK seperti orang yang hampir tenggelam dengan air yang sudah sampai leher.
Karena itu, Saur berpendapat, permenaker tersebut harus segera dicabut. (mrk/jpnn)
Redaktur : Tarmizi Hamdi
Reporter : Tarmizi Hamdi, Tarmizi Hamdi