Revisi UU KPK: Tak Perlu Izin Menyadap, Kewenangan SP3 Boleh Dihapus

Rabu, 11 September 2019 – 17:46 WIB
Ilustrasi KPK. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing menyoroti pro dan kontra yang selalu muncul dalam setiap wacana revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Menurut Emrus, kelompok yang mendukung kerap melontarkan pandangan bahwa wacana revisi UU KPK itu sebagai upaya melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Mereka menginginkan KPK tetap kuat.

BACA JUGA: Jawaban Diplomatis Irjen Firli soal Dewan Pengawas dan Pengaturan Penyadapan di KPK

Emrus menjelaskan kekhawatiran kelompok itu bisa diterima akal sehat karena perilaku koruptif di negeri ini sudah pada titik patologi sosial kronis yang membahayakan keuangan negara.

"Menurut hemat saya, seandainya anggaran, perluasan kewenangan, dan semua sumber daya yang dimiliki KPK setara saja dengan Kejaksaan Agung atau Polri, OTT oleh KPK bisa terjadi setiap hari di negeri ini," kata Emrus, Rabu (11/9).

BACA JUGA: Sukmawati dan FPI Sama-sama Gugat SP3, Polri Menunggu Saja

Sisi lain, kata dia, kelompok yang kontra menyatakan revisi UU KPK bertujuan memperkuat posisi komisi antirasuah itu sendiri untuk mencegah dan memberantas korupsi di tanah air.

Menurut dia, meskipun pandangan kedua pihak saling berseberangan, sebagai suatu tesis dan antitesis uniknya mereka sama-sama mengaku mempunyai tujuan yang sama yaitu memperkuat posisi KPK.

BACA JUGA: Revisi UU KPK untuk Meluruskan yang Bengkok

Hanya saja, Emrus menyatakan, kebanyakan orang seolah lupa menggali sisi positif dari perbedaan itu.

Sebab, lanjut dia, dari setiap perbedaan bila diungkap secara serius, sebenarnya tersimpan energi yang luar biasa dalam bentuk sintesa yang sungguh-sungguh mampu membuat KPK bertindak profesional sebagai upaya memperkuat posisi lembaga itu dalam melaksanakan tugas mencegah serta memberantas perilaku koruptif di Indonesia.

"Sebagai suatu sintesa, revisi UU KPK bisa saja dilakukan pada bagian-bagian tertentu sembari tetap menjaga eksistensi isi pasal lainnya yang sudah teruji memperkuat KPK," ujarnya. Sebab, sambung Emrus, tidak ada karya manusia yang parmanen, termasuk isi UU KPK. Konstitusi saja bisa diamendemen.

Direktur EmrusCorner itu mengatakan bila ingin menggali makna lebih serius, mendalam dan objektif terhadap pasal demi pasal UU KPK, serta masih terus terjadinya perilaku koruptif di bebagai instansi, bisa jadi ditemukan ada sejumlah pasal yang perlu mendapat perhatian untuk direvisi. Sekaligus memastikan pasal yang mana tetap dijaga eksistensinya.

"Menurut kajian Lembaga EmrusCorner, terdapat sejumlah persoalan yang perlu mendapat perhatian serius terhadap isi UU KPK," ungkapnya.

Pertama, terkait penyadapan. Pasal tindakan penyadapan harus tetap dipertahankan dalam UU KPK.

Ketika akan dan melakukan penyadapan tidak perlu mendapat izin dari pihak mana pun, dan bila perlu termasuk dari dewan pengawas.

Tujuannya, untuk meniadakan atau paling tidak memperkecil pengaruh berbagai kepentingan, yang boleh jadi masuk melalui pihak lain, tak terkecuali melalui oknum dewan pengawas.

"Biarlah tindakan penyadapan itu menjadi otonomi para penyidik itu sendiri," kata Emrus.

Hanya saja, lanjut dia, bila data penyadapan tidak memenuhi syarat ditindaklanjuti ke tahapan proses hukum selanjutnya, rekaman penyadapan dalam bentuk apa pun harus dimusnahkan dengan berita acara.

Sementara data penyadapan yang bisa ditindaklanjuti ke tahap berkutnya hingga memiliki hukum tetap harus benar-benar tersimpan dengan keamanan yang sangat luar biasa.

"Tidak boleh bocor apalagi dibocorkan kelak kemudian hari oleh siapa pun," paparnya.

Kedua, terkait dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Pasal yang menyangkut KPK tidak boleh mengeluarkan SP3, kata Emrus, perlu direvisi menjadi bahwa KPK berwenang mengeluarkan SP3.

Sebab, sebagai suatu institusi sosial, yang bekerja di KPK tetap manusia biasa yang tidak lepas dari kekurangan, kesalahan, kepentingan sempit dan perilaku mereka tidak pernah berada di ruang hampa.

Karena itu, penetapan seseorang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh KPK kepada seseorang atau kelompok orang sangat-sangat mungkin mengandung kelemahan.

"Jika memang ditemukan ada kelemahan serta sudah teruji secara valid, jangan dipaksakan lanjut ke tahap berikutnya menjadi terdakwa yang kemudian harus mengikuti setiap tahan proses persidangan," ungkapnya.

Menurut Emrus, kalau ini terjadi, maka bisa mengganggu bahkan merusak reputasi maupun nama baik orang yang bersangkutan dan segenap anggota keluarganya, sekalipun ke depan di pengadilan diputuskan tidak bersalah yang sudah mempunyai hukum tetap.

"Ini harus menjadi koreksi mendasar bagi kita semua, agar KPK bisa mengeluarkan SP3 secara mandiri dan independen tanpa intervensi dari berbagai kepentingan dan kekuatan apapun dari dalam maupun dari luar KPK," katanya. (boy/jpnn)


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler