Revisi UU Terorisme Jawaban Lemahnya Polisi Tangani Teroris

Rabu, 20 Januari 2016 – 03:51 WIB
Ilustrasi. Foto: dok/JPNN.com

jpnn.com - JAKARTA - Revisi Undang-undang Terorisme yang diusulkan Kepala BIN Sutiyoso bisa menjadi jawaban atas masih tidak efektifnya kepolisian dalam memberantas aksi terorisme di Indonesia. 

Pengamat hukum Andri W. Kusuma menyatakan tangan kepolisian dalam memberantas teroris masih terikat aturan KUHAP yang selama ini menjadi 'kitab suci' korps baju cokelat.

BACA JUGA: Catat! Dalam Kasus Ini, Jaksa Agung Dituding Punya Agenda Politik

Menurut dia, dalam penegakan hukum memang polisi sangat berperan. "Tapi lihat, polisi yang "kitab sucinya "KUHAP ini terbukti pada tragedi Bom Thamrin dimana polisi gagal mencegah para pelaku biarpun sudah ada info," ujar Andri, di Jakarta, Selasa (19/1). 

Menurutnya, memang dalam penegakan hukum tindak pidana terorisme, vide pasal 26 UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibutuhkan formalitas-formalitas yang wajib dipenuhi oleh kepolisian. Misalnya, harus ada dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup, penyidikannya mesti mendapatkan perintah terlebih dahulu dari pengadilan negeri setempat dan hal lain hang memang sangat menyita waktu.

BACA JUGA: Polri Terima Ancaman Bakal Ada Bom Bali, tapi Tenaaang...

Sehingga, kata dia, ketika polisi dengan KUHAP-nya tidak dapat menjangkau pencegahan terorisme, maka harus ada instrument negara lain yang harus mengisi kekurangan atau kelemahan ini.

Padahal, lanjut dia, tindak pidana terorisme itu dalam menyiapkan aksinya kerap melakukan pergerakan intelijen antara lain dalam perekrutan, penggalangan, perencanaan dan baru aksi yang semunya berada “di bawah layar” sehingga kepolisian sulit membuktikannya.

BACA JUGA: Waduh, PPP Mulai Ditinggal Kader di Daerah

Selain itu patut diingat bahwa “tidak pidana terorisme itu memiliki spektrum” yang sangat luas vide pasal 6, 7, 9, 10 dan 12 UU Terorisme. Kemudian, sifat dan karakternya juga berbeda dengan tindak pidana lainnya.

Sehingga sangatlah jelas dalam penanganan tindak pidana terorisme tidak hanya penegakkan hukum oleh polisi yang dibutuhkan, akan tetapi justru lebih kental pencegahannya yaitu dalam bentuk “deteksi dini dan cegah dini”. "Nah, dalam hal deteksi dini dan cegeh dini ini adalah BIN dapat menjalankan perannya," ungkap Andri.

Menurut Andri, saat ini dilihat dari eskalasi global, terorisme terutama ISIS pergerakannya makin luas dan kondisi Indonesia sangat rawan dilihat dari sisi geografis dan demografis dimana banyaknya pintu masuk ke Negara ini, serta masih banyak sel-sel kelompok teroris yang masih hidup di Tanah air. Untuk itu, lanjut dia, penumpasan terorisme hanya dapat dilawan dengan operasi intelijen yang efektif dan dijalankan secara profesional.

"Nantinya BIN harus lebih berperan utamanya dalam hal deteksi dini dan cegah dini," paparnya. Sehingga, lanjut dia, intelijen juga harus memiliki kewenangan untuk menangkap. 

Sama seperti di negara lain contohnya Malaysia, dan Singapura. "Bahkan di Malaysia, bila ada orang terduga teroris, ditangkap, kemudian dipasangi kalung yang ada GPS-nya," tutur dia. (boy/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sudah Lima Kali Ratas, Dualisme di Batam Tak Kunjung Tuntas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler