jpnn.com - Indonesia dalam kondisi darurat. Begitu, setidaknya, menurut Habib Rizieq Shihab atau HRS yang pekan ini menjalani pembebasan bersyarat.
Indonesia sedang berada pada kondisi darurat di banyak bidang, dan HRS menawarkan satu resep ampuh untuk mengatasinya, yaitu revolusi.
BACA JUGA: Habib Rizieq Bebas Hari Ini, Aziz Yanuar: Insyaallah, Mohon Doanya
Revolusi yang ditawarkan HRS bukan revolusi fisik yang pernah dikenal dalam sejarah bangsa-bangsa, tetapi revolusi ala HRS adalah revolusi akhlak.
Untuk menyelesaikan semua persoalan darurat itu resepnya hanya satu, yaitu revolusi akhlak.
BACA JUGA: Polisi Tetapkan Roy Suryo sebagai Tersangka
As simple as that, cukup sederhana resep yang ditawarkan HRS untuk menyelesaikan kedaruratan itu.
Kondisi darurat yang ditengarai sedang terjadi di Indonesia adalah darurat korupsi, darurat utang, darurat kebohongan, darurat kezaliman.
BACA JUGA: UU ITE Perlu Segera Direvisi, Jangan Sampai Kasus yang Buat Presiden Turun Tangan Ini Muncul Lagi
HRS membuat daftar berbagai persoalan yang kemudian dilabeli sebagai kondisi darurat.
HRS tidak memerinci apa yang dimaksudkan dengan kondisi darurat.
Juga tidak dijelaskan apa yang dimaksudkan sebagai kondisi darurat kebohongan dan darurat kezaliman.
Kalau disebut sebagai darurat artinya kondisinya sudah sampai pada posisi yang gawat dan sebentar lagi akan pecah menjadi bencana.
Kedaruratan adalah situasi bersiaga terus-menerus dalam kondisi tidak normal.
Dalam kedaruratan aturan dan undang-undang bisa diabaikan karena situasi sedang berada di luar normal.
Dalam banyak kasus, kondisi darurat sengaja diciptakan.
Kondisi darurat itu bahkan dibuat sebagai hal permanen.
Kondisi darurat seharusnya bersifat sementara, dan undang-undang darurat juga harus bersifat sementara.
Akan tetapi, dalam banyak kasus, kondisi darurat sengaja dibuat berkepanjangan, dan bahkan dipermanenkan.
Namanya juga darurat, seharusnya bersifat sementara.
Akan tetapi, yang terjadi kedaruratan itu malah dipermanenkan, dilembagakan, sehingga menjadi legitimasi bagi tindakan-tindakan di luar hukum.
Hukum ada, tetapi sekaligus tidak ada.
Hukum seharusnya melindungi, tetapi malah menempatkan rakyat dalam pengawasan yang berkelanjutan.
Kekuasaan dibangun di atas kedaruratan.
Penguasa mengumumkan kondisi darurat terorisme, darurat radikalisme, darurat pandemi, dan yang terbaru sekarang adalah darurat ekonomi akibat perang Rusia vs Ukraina.
Maka, semua tindakan di luar hukum bisa dilakukan atas nama kedaruratan.
Negara mengatur kesehatan kita dengan mengeluarkan kewajiban booster.
Alasannya untuk melindungi rakyat dari gelombang baru pandemi, tapi nyatanya menempatkan rakyat dalam kondisi darurat yang merepotkan.
Dengan menciptakan kondisi darurat itu, segala keputusan bisa diambil serta merta secara sepihak.
Bagaimana mengukur kondisi darurat, apakah ada parameternya?
Ternyata hal itu tak penting.
Yang penting adalah negara mengeluarkan pengumuman keadaan darurat sehingga bisa mengambil tindakan yang diinginkan.
Kondisi darurat ini tidak terjadi di negara otoriter komunis atau fasis, kondisi ini terjadi di banyak negara demokratis.
Atas nama kekuasaan demokratis, negara bisa menerapkan kondisi darurat, dan atas nama demokrasi rakyat boleh menjadi korban dan ditempatkan sebagai ‘’manusia telanjang’’.
Homs sacer, manusia telanjang, seperti yang digambarkan filosof Giorgio Agamben, adalah warga negara yang kehilangan hak-hak pribadinya dan tidak mendapatkan perlindungan dari negara yang seharusnya menjadi pelindung.
Homo sacer menggambarkan ketelanjangan manusia dan ketidakberdayaannya menghadapi hukum kekuasaan.
Para korban yang tidak berdaya di depan hukum itu adalah "homo sacer" manusia-manusia telanjang yang tidak terlindungi dari tekanan kekuatan hukum kekuasaan.
Negara mempunyai kekuasaan "sovereign power", kekuasaan berdaulat bahwa penguasa adalah orang yang bisa membuat keputusan atas dasar eksepsi atau pengecualian.
Hukum tidak berlaku sama terhadap semua orang, tetapi berlaku pengecualian eksepsional sesuai keinginan penguasa.
Sovereign, kedaulatan, menjadi kekuasaan yang tidak tertandingi karena menempatkan diri sebagai representasi seluruh rakyat.
Semboyan-semboyan besar diciptakan menjadi sakral "NKRI Harga Mati" adalah kekuasaan yang tidak tertandingi karena diklaim sebagai kekuatan yang mewakili seluruh rakyat.
Di luar sovereign power, tidak boleh ada yang kebal hukum dan merasa di atas hukum.
Karena itu, seluruh kekuatan pemaksa yang dipunyai kekuasaan dikerahkan total.
Sovereign power memiliki kekuasaan hukum untuk membatalkan validitas hukum, yakni, hukum berada di luar hukum itu sendiri.
"Aku, Sang Daulat yang berada di luar hukum, menegaskan bahwa tidak ada apa pun yang berada di luar hukum".
Atas nama soverignity penguasa bisa menangguhkan hukum justru dengan hukum itu sendiri melalui eksepsi.
Tidak boleh ada kendaraan yang masuk ke jalan verboden kecuali mobil pejabat.
Tidak boleh ada masa bakti kepresidenan lebih dari dua periode kecuali demi kepentingan nasional yang lebih besar, demi kondisi yang darurat.
Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk melakukan eksepsi-eksepsi, pengecualian-pengecualian.
Atas nama normalisasi keadaan darurat, kekuasaan bisa mengambil alih kewenangan legislatif dan judikatif dan juga bisa melakukan kekerasan.
Tanpa proses hukum "due process".
Undang-Undang Cipta Kerja, Omnibus Law, digodok tengah malam ketika rakyat masih tidur.
Ketika banyak yang protes pemerintah jalan terus karena UU itu diperlukan untuk mengatasi kondisi darurat.
RUU KUHP disusun diam-diam tanpa ‘’due process’’ yang melibatkan stakeholder.
Negara menciptakan suasana darurat sehingga siapa pun yang melakukan kritik bisa terancam penjara.
Jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistik pun bisa terancam penjara.
Para jurnalis dan aktivis demokrasi akan menjadi ‘’homo sacer’’ manusia telanjang, yang dengan mudah masuk penjara tanpa bisa mendapatkan perlindungan yang memadai.
Mereka yang dianggap sebagai kritikus kekuasaan bisa setiap saat menjadi manusia telanjang.
Siapa saja bisa kena, begitu jargon para aktivis demokrasi yang menolak RUU KUHP.
Sekarang pun tanpa KUHP baru, para aktivis demokrasi bisa dengan mudah ditangkap dengan UU ITE, apalagi kalau RUU KUHP nanti disahkan.
UU ITE dan UU KUHP adalah bukti adanya mental kedaruratan dalam kekuasaan.
Mereka yang menyuarakan kritik dianggap sebagai pengganggu yang harus didaruratkan.
Roy Suryo, politikus oposisi yang aktif mengritik melalui media sosial, akhirnya terjebak dan ditangkap sebagai manusia telanjang, dan ditersangkakan.
Kekerasan bisa dilakukan dengan menangkap dan memenjarakan siapa saja yang tidak mematuhi aturan itu.
Karena itu, suasana kedaruratan harus diciptakan.
Konstruksi kedaruratan harus dibangun.
Dulu di zaman Soeharto kedaruratan dibentuk dengan dimunculkannya ancaman PKI.
Rezim Soeharto bertahan 32 tahun atas nama kondisi darurat itu.
Sekarang kedaruratan dikonstruksi atas nama ancaman radikalisme dan ekstremisme Islam.
Konstruksi kedaruratan ini harus ada supaya kekuasaan bisa melakukan langkah-langkah hukum yang eksepsional melampaui kewenangan legislatif dan judikatif.
Politik harus ditransformasikan secara radikal menjadi dunia kehidupan yang telanjang dalam sebuah kamp konsentrasi raksasa yang memungkinkan penguasa melakukan dominasi total.
Manusia berada dalam kamp konsentrasi, bukan hanya merujuk pada makna harfiah, tetapi merujuk juga pada kondisi di mana manusia menjadi semata-mata tubuh wadag ragawi tanpa identitas politik, tanpa perlindungan hukum, sehingga terekspos secara langsung oleh berbagai kekerasan.
Homo sacer, manusia telanjang, adalah seseorang yang sudah dilucuti haknya sebagai warga yang terhormat, sehingga bahkan dia boleh dihabisi nyawanya.
Pembunuhan 6 pengawal HRS di Kilometer 50 adalah salah satu contoh kecil.
HRS melakukan counter-wacana dengan menggaungkan kondisi darurat kazaliman yang menjadi sintesis bagi kondisi darurat yang digaungkan pemerintah.
Dengan menggaungkan kondisi darurat kezaliman dan kebohongan, HRS melakukan counter-wacana dan sekaligus menantang dominasi negara sebagai penguasa wacana.
Gaung ‘’revolusi akhlak’’ yang disuarakan HRS, mungkin, tidak akan terlalu besar.
Posisi HRS sekarang adalah menjadi manusia telanjang, yang setiap saat bisa digaruk kembali dan dipenjarakan.
Meski begitu, revolusi akhlak, setidaknya, punya gaung yang bisa menjadi alternatif suara oposisi yang selama ini selalu sayup-sayup, nyaris tak terdengar. (*)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur : M. Kusdharmadi
Reporter : Cak Abror