Reza Indragiri Menilai Twit Ferdinand, Cermati Kalimat Terakhir

Jumat, 07 Januari 2022 – 11:31 WIB
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel sampaikan analisis tentang twit Ferdinand Hutahaean yang dianggap penistaan agama sehingga dilaporkan ke Bareskrim Polri. Ilustrasi Foto: Andika Kurniawan/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyampaikan sejumlah analisis tentang twit Ferdinand Hutahaean dan media sosial (medsos) setelah direktur eksekutif Indonesia Police Monitoring (IPM) itu dilaporkan ke polisi.

Ferdinand dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Ketua Umum KNPI Haris Pertama  atas dugaan pelanggaran UU ITE dan penistaan agama pada Rabu (5/1).

BACA JUGA: Cara Reza Indragiri Menilai Twit Ferdinand Hutahaean, Runut ke Belakang!

Pelaporan itu berkaitan dengan unggahan Ferdinand pada Selasa (4/1), melalui akun @FerdinandHaean3 di Twitter yang anggap dapat merusak persatuan bangsa.

Ferdinand dalam cuitannya menuliskan kalimat "Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela".

BACA JUGA: Chandra Sampaikan Pernyataan soal Kasus Denny Siregar, Ada Kata Pembangkangan

Pada hari yang sama, twit itu lantas dihapus dan disertai permintaan maaf serta klarifikasi dari Ferdinand yang menyatakan cuitan itu merupakan dialog pribadi alias curhatan yang bersifat imajiner tentang kebatinannya.

Nah, apakah benar twit Ferdinand itu sekadar curhatan, adakah motif politik tersirat dari teks itu, dan apakah berpotensi memecah belah?

BACA JUGA: Tagar #TangkapFerdinand Trending, Ferdinand Hutahaean Bereaksi

Berikut wawancara JPNN dengan Reza Indragiri, penyandang gelar MCrim (Forpsych-master psikologi forensik) dari Universitas of Melbourne Australia seputar kasus Ferdinand Hutahaean dalam bentuk tanya jawab.

Anda menilai twit Ferdinand sebagai curhatan atau sentilan?

Kalau dirunut ke belakang, cuitan-cuitannya tidak bermuatan kontemplatif apalagi yang berupa self talk atau dialog internal. Banyak yang justru agresif bahkan ofensif.

Jadi, patut dipertanyakan seberapa jauh kebenaran alibinya kali ini.

Ferdinand seorang politisi, adakah motif politik di balik twit itu?

Yang sering terbaca adalah cuitan bertema in-group vs out-group. Bipolar, dua sisi. Antagonistik antar kubu.

BACA JUGA: Penjelasan Ferdinand soal Twit Allahmu dan Allahku, Simak Kalimat Terakhir

Pengotak-ngotakan cara pandang seperti itu merupakan salah satu corak berpikir politik. Apalagi, karena keterbatasan karakter yang disediakan Twitter, maka isu kompleks pun diperas secara paksa ke dalam 140 karakter saja. Semakin simplistis dan judgmental tanpa topangan argumentasi.

Teks yang ditulis itu sensitif, apa iya Ferdinand tidak membaca twitnya itu bakal jadi polemik?

Perlu ditelaah seberapa jauh medsos membuat orang menjadi impulsif.

BACA JUGA: Edy Rahmayadi Tak Berniat Menjewer Coki Aritonang, tetapi

Dahulu masih ada pengendalian diri. Namun, ketika medsos hadir, mikrofon sekaligus tong sampah itu menjadi berada dalam genggaman. Kapan pun penggunanya bisa seketika berteriak atau membuang ludah.

Apa lagi, ada studi yang menemukan bahwa penggunaan medsos mengakibatkan kecemasan, depresi, insomnia, gangguan bipolar, bahkan memunculkan dorongan bunuh diri.

Makin sering bermedsos, semakin menjadi-jadi guncangan kejiwaannya. Persepsi terhadap realitas menjadi menyimpang. Kendali diri pun niscaya kian anjlok. Akibatnya, si pemakai medsos tidak lagi cukup awas akan dampak cuitannya.

BACA JUGA: Kombes Ibrahim Tompo Beri Info Penting soal Kasus Denny Siregar, Ternyata

Namun, betapa pun ada dinamika sedemikian rupa, para perusuh di medsos tetap harus diproses hukum. Mereka tetap waras untuk dimintai pertanggungjawabannya secara pidana.

Menurut Anda, twit Ferdinand itu ada kaitan dengan isu aktual hari itu atau tidak?

Fitur utama yang disediakan medsos adalah kesanggupannya menampung lalu menyebarkan pesan dalam skala masif secara real time.

Saat ini, di semua lini. Dengan fitur semacam itu, medsos memang jitu digunakan sebagai wahana untuk merespon situasi-kondisi saat ini.

Isu-isu sensitif seperti ini sudah berulang kali, apakah ada potensi ledakan, kegaduhan massal akibat teks yang ditulis Ferdinand itu?

Terjawab lewat poin-poin di atas. Pada sisi lain, kita mencermati seberapa jauh pemanfaatan medsos oleh otoritas penegakan hukum. Seberapa jauh institusi-institusi terkait juga memiliki daya respons yang cepat guna menyetop kemungkinan beranak-pinaknya suatu isu menjadi bola liar.

Jadi, potensi ledakan dari sebuah isu semestinya bisa diredam jika otoritas terkait juga responsif. Semakin real time, semakin baik.

Kasus ini bergulir cepat. Dalam sehari, dari trending tagar #TangkapFerdinand, ada pelaporan dan polisi langsung memproses. Apakah itu bisa meredakan kemarahan pihak yang tersinggung oleh twit Ferdinand?

Idem. Yang jelas, ada catatan bahwa survei di sekian banyak wilayah di negara lain memperlihatkan pihak yang paling responsif dalam berkomunikasi via media sosial memang institusi penegakan hukum.

Kembali ke poin 1-4, apa pun motifnya, bagaimanapun suasana batinnya, yang jelas perilakunya (cuitannya) bikin gaduh dan berpotensi kuat memecah-belah masyarakat. Merendahkan pihak lain, meninggikan diri sendiri.

Ketika substansi pesan semacam itu tidak tertuju ke individu tertentu, melainkan menyasar secara pukul rata ke kaum berdasarkan ikatan-ikatan primordial tertentu, maka inilah ujaran kebencian. Polisi tentu perlu investigasi kemungkinan-kemungkinannya. (fat/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler