RI Belum Merdeka di Bidang Pangan dan Energi

Minggu, 17 Agustus 2014 – 10:53 WIB

jpnn.com - JAKARTA – Hari ini Indonesia genap 69 tahun mengecap kemerdekaan dari cengkeraman penjajah. Namun, dari kacamata ekonomi, Indonesia sejatinya belum sepenuhnya lepas dari belenggu asing.

Ekonom yang juga Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyatakan, dua hal yang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi pemerintahan Indonesia mendatang adalah kedaulatan pangan dan energi. ’’Ketergantungan terhadap asing di sektor ini kian parah,’’ ujarnya Sabtu (16/8).

BACA JUGA: Garuda Indonesia Wisuda 20 Pilot Baru

Ironis memang. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang terhampar di zamrud khatulistiwa selama bertahun-tahun belum berhasil mencukupi kebutuhan pangan warganya sehingga terus bergantung pada impor dari luar negeri. Parahnya, kata Enny, komoditas pangan yang diimpor adalah bahan pangan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. ’’Beras, gandum, jagung, kedelai, sapi hidup, dan susu,’’ ungkapnya.

Derasnya impor bahan pangan membuat neraca dagang di sektor itu terpuruk. Berdasar data Kementerian Pertanian, nilai defisit neraca perdagangan terjadi pada komoditas bahan pokok utama, yakni beras segar dan olahan. Pada 2012, makanan pokok sebagian besar rakyat tersebut tercatat defisit USD 1,00 miliar dan pada 2013 mengecil menjadi USD 244,66 juta.

BACA JUGA: Targetkan Grundbreaking Tol Trans Sumatera Sebelum SBY Lengser

Lalu, jagung pada 2012 mencatat defisit USD 542,58 miliar dan pada 2013 membengkak menjadi USD 936,22 miliar. Selanjutnya, kedelai yang menjadi bahan utama tahu-tempe yang merupakan lauk mayoritas masyarakat Indonesia pada 2012 menderita defisit USD 1,32 miliar dan pada 2013 mencapai USD 1,11 miliar. ’’Sapi dan susu juga mencatat defisit neraca dagang ratusan juta dolar,’’ ungkapnya.

Menurut Enny, ketergantungan impor pangan masih bisa ditoleransi jika terjadi pada komoditas yang tidak bisa diproduksi di Indonesia seperti gandum. Selama ini, 100 persen kebutuhan gandum Indonesia berasal dari impor yang pada 2013 mencapai 7,26 juta ton. ’’Tapi, untuk beras, jagung, maupun sapi, mestinya bisa diproduksi di dalam negeri,’’ tegasnya.

BACA JUGA: Menteri PU: Infratsruktur Masih Terkendala Pembebasan Lahan

Dia menyatakan, jika pemerintah mau bekerja keras, sebenarnya ada opsi untuk mengembangkan bahan pangan sebagai substitusi gandum. Misalnya, tepung cassava yang banyak terdapat di wilayah sepanjang pantai selatan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Menteri Pertanian Suswono menyebutkan, salah satu permasalahan mendasar di sektor pertanian adalah defisit lahan pertanian. Berdasar data, setiap tahun pemerintah hanya mampu mencetak lahan sawah baru 38.000 hektare, sedangkan alih fungsi lahan pertanian mencapai 100 ribu hektare per tahun. ’’Penyebabnya klasik, kita sulit mencari lahan baru yang bisa dijadikan areal pertanian,’’ ujarnya.

Namun, Enny melihat bahwa permasalahan sektor pertanian Indonesia jauh lebih kompleks. Selain menyusutnya lahan pertanian, ketergantungan impor pangan disebabkan lemahnya dukungan kelembagaan pertanian, kebijakan tata niaga pangan yang diserahkan ke mekanisme pasar, serta buruknya infrastruktur pertanian. ’’Itu semua harus ditangani dengan sangat serius. Jika tidak, Indonesia akan kian terbelenggu impor,’’ tegasnya.

Energi
Selain pangan, sektor strategis yang kini terjerat ketergantungan akut pada asing adalah energi, khususnya minyak atau bahan bakar minyak (BBM). Enny menuturkan, dalam satu dekade terakhir, Indonesia sudah masuk kategori net importer minyak karena merosotnya produksi dan terus naiknya konsumsi di dalam negeri. ’’Dampaknya lihat saja, setiap harga minyak naik, pemerintah kelabakan karena beban subsidi yang membengkak,’’ ujarnya.

Sebagai gambaran, saat ini produksi minyak Indonesia hanya berkisar 840 ribu barel per hari, sedangkan konsumsi BBM sudah mencapai 1,3 juta barel per hari. Artinya, setiap hari Indonesia harus mencukupi kebutuhan sekitar 460 ribu barel BBM per hari dari impor.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan hal tersebut. Sepanjang 2013 Indonesia mencatat defisit neraca perdagangan sektor minyak dan gas hingga USD 12,63 miliar atau lebih dari Rp 130 triliun. Jumlah itu melonjak jika dibandingkan dengan defisit periode 2012 yang tercatat USD 5,58 miliar. ’’Defisit ini berpotensi terus membesar karena konsumsi terus naik, sedangkan produksi menyusut,’’ kata Enny.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik mengungkapkan, saat ini sektor energi memang tengah menghadapi tantangan berat. Tidak adanya temuan cadangan minyak dalam skala besar membuat Indonesia hanya bisa mengandalkan produksi dari lapangan-lapangan minyak yang terus menua sehingga produksi terus turun. ’’Di sisi lain, ekonomi tumbuh bagus. Masyarakat makin banyak beli mobil dan motor sehingga konsumsi BBM naik terus,’’ ujarnya.

Politik
Bagaimana arti kemerdekaan di kalangan politisi? Wakil Ketua DPR Pramono Anung mengingatkan, peringatan hari kemerdekan selalu memberikan ruang pemikiran dan kontemplasi.

Karena itu, menurut dia, peringatan kemerdekaan tidak boleh lepas dari upaya perenungan serta penyiapan diri tentang tantangan sebagai bangsa yang dihadapi hari ini dan masa depan. ’’Ingat pula, tantangan dari satu generasi ke generasi yang lain itu selalu berbeda,’’ katanya kemarin (16/8).

Misalnya, ungkap Pramono, tantangan yang dihadapi founding fathers saat mendirikan bangsa dan tantangan yang dihadapi dewasa ini sangatlah berbeda. Karena itu, menurut dia, peringatan kemerdekaan bukan semata-mata romantisme heroik. ’’Heroisme boleh, tapi tidak boleh meniadakan substansinya,’’ tegasnya.

Lalu, bagaimana langkah untuk menyiapkan petarung-petarung tersebut? Pram –sapaan akrab Pramono– menyatakan, pembentukan karakter merupakan hal yang sangat penting.

Dia menambahkan, Indonesia sangat memenuhi syarat untuk menghadapi berbagai tantangan global. Menurut Pram, sebagai bangsa besar dengan sumber daya manusia yang tangguh, kekayaan alam yang melimpah, dan perekonomian yang masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia, bangsa ini sangat punya modal untuk eksis di kancah global.

’’Kita juga perlu bersyukur, Indonesia saat ini sudah on the right track,’’ imbuhnya. Indikasinya, beber dia, demokrasi yang telah berjalan baik hingga penghargaan terhadap tingginya pluralisme.(owi/dyn/mia/JPNN/c5/kim)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Targetkan Grundbreaking Tol Trans Sumatera Sebelum SBY Lengser


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler