Ribuan Istri Gugat Cerai Suami Lantaran Tak Beri Nafkah

Rabu, 04 Januari 2017 – 18:44 WIB
Ilustrasi. Foto: pixabay

jpnn.com - JPNN.com - Kasus perceraian di Medan, Sumatera Utara termasuk tinggi. Bahkan, trennya meningkat setiap tahunnya.

Penyebabnya beragam. Tapi yang paling dominan adalah akibat suami yang tidak bertanggungjawab memberikan nafkah.

BACA JUGA: 22 Tahun Menikah, Pasangan Seleb ini Pilih Bercerai

Bahkan, sepanjang tahun 2016, jumlah istri yang menggugat suami mencapai 2003 kasus. Jika dilihat dari tahun ke tahun, jumlah gugatan perceraian meningkat.

Di tahun 2014 angka perceraian mencapai 2.025 kasus, tahun 2015 meningkat mencapai 2.372, kemudian, tahun 2016 meningkat mencapai 2.527 perkara pada kasus perceraian yang diputus Pengadilan Agama Medan.

BACA JUGA: Ada Apa Nih, Kok Banyak PNS Bercerai

“Dari semua kasus perceraian ini sekitar 60 persen adalah gugatan dari pihak istri. Jadi, gugatannya memang didominasi pihak istri,” jelas Panitera Pengadialan Agama, Jumri, seperti diberitakan Sumut Pos (Jawa Pos Group) hari ini.

Jumri merinci, sepanjang tahun 2016, Pengadilan Agama Medan menyidangkan 2.780 kasus pencerian. Perkara tersebut, didominasi gugatan cerai dilakukan istri terhadap suami.

BACA JUGA: Walah, Perceraian di Balikpapan Tertinggi se-Kalimantan

Dari 2.780 kasus tersebut, dibagi menjadi dua, yakni gugatan sebesar 2.626 kasus perkara dan pemohonan sebesar 154 kasus.

"Dari jumlah 2.780 kasus perkara, di antaranya gugatan sebesar 2.626 kasus, dan cerai talak yang dilakukan suami kepada istri 524 kasus serta cerai gugat yang dilakukan istri kepada suami sekitar 2.003 kasus,” papar Jumri.

Jumri menambahkan, untuk sisa perkara tahun ini ada sekitar 476 kasus dari gugatan dan ada sekitar 12 kasus dari permohon. “Setiap hari ada saja gugatan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Medan. Setiap hari juga ada saja yang disidangkan,” jelasnya.

Dari data kasus perceraian itu, lanjut Jumri, faktor penyebab tertingginya karena masalah ekonomi. Kebanyakan pihak istri yang menggugat cerai dikarenakan suaminya tak menafkahi lagi.

Kemudian, faktor pertengkaran yang terus-menerus terjadi antara suami dengan istri yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Ada juga faktor poligami yang dilakukan suami dan perselingkuhan. Paling rendah adalah karena faktor kawin paksa,” ungkapnya.

Tingginya angka perceraian ini, lanjut Jumri, harus menjadi perhatian semua pihak. Dibutuhkan langkah- langkah khusus yang dilakukan semua institusi untuk menekan angka perceraian ini. Sebab, tahun 2016 terjadi kenaikan angka perceraian hingga 10 persen.

Jumri menambahkan, tidak bisa menolak perkara gugatan cerai yang diajukan pihak suami atau istri. Sebab, pengadilan sifatnya pasif dan harus menerima perkara yang masuk. “Seharusnya ada tindakan preventif. Tindakan ini bisa dilakukan seluruh jajaran terkait dan masyarakat. Upaya ini mungkin akan bisa mengatasi angka perceraian yang tinggi,” tuturnya.

Dia menjelaskan, Pengadilan Agama selalu mengupayakan mediasi agar pihak yang ingin bercerai dapat kembali ke kehidupan harmonis. Namun, sangat sedikit yang berhasil bersatu kembali."Hanya berkisar 1 persen yang berhasil dimediasi. Bahkan ada pasangan yang telah dimediasi, belakangan ingin bercerai lagi," pungkasnya. (gus/ila)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Mike DBagindas Punya Bukti Istrinya tak Bisa Rawat Anak


Redaktur & Reporter : Budi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler