Ribuan pekerja di Indonesia berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan di Jakarta untuk memprotes rencana diterapkannya kewajiban Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).

Pemimpin partai Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah, mengatakan aksi unjuk rasa pada hari Kamis ini diikuti sedikitnya 11 organisasi buruh dan organisasi kemasyarakatan lainnya.

BACA JUGA: Dunia Hari Ini: Politisi Inggris Disiram Milkshake Saat Berkampanye

"Kami menuntut kepada pemerintah untuk membatalkan terlebih dahulu aturan Tapera ini," kata Ilhamsyah.

"Cara yang dipakai oleh pemerintah dengan cara mengeluarkan tabungan perumahan rakyat yang mewajibkan kepada seluruh kaum buruh, ASN, TNI, POLRI untuk wajib menjadi anggota Tapera adalah bentuk lepas tanggung jawabnya negara terhadap rakyatnya dalam menyediakan tempat tinggal yang layak," ujarnya.

BACA JUGA: Ratusan Buruh di Jateng Tolak Tapera, Disnakertrans Sampaikan ke Pimpinan

Ia mengatakan kewajiban dari program tabungan tersebut akan "sangat memberatkan" terutama jika ada sanksi bagi yang tidak membayar iuran.

Saat aksi unjuk rasa berlangsung, Kapolres Metro Jakarta Pusat mengatakan mengerahkan sedikitnya 1.600 personel yang disiagakan di beberapa titik pengamanan.

BACA JUGA: Gaji Honorer Tidak Seberapa, Mau Dipotong Tapera, Kebijakan Aneh

Apa itu Tapera?

Untuk Tabungan Perumahan Rakyat, semua pekerja dengan upah minimum minimal harus menyumbang 2,5 persen dari pendapatan bulanan mereka, sementara pengusaha harus menyumbang tambahan 0,5 persen untuk program tabungan perumahan.

Meskipun tujuan program tersebut adalah untuk membantu masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda, membeli rumah, mereka hanya dapat menarik dana ketika keanggotaan Tapera mereka berakhir pada usia 58 tahun atau karena pensiun atau meninggal dunia.

Berbeda dengan tabungan sejenis sebelumnya, yang bernama Taperum, tabungan ini bukan hanya wajib bagi pegawai negeri sipil.

Perubahan yang akan membuat Tapera wajib untuk seluruh pekerja dengan upah di atas UMR, termasuk pekerja lepasan, sudah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada akhir Mei lalu.

Pemotongan gaji baru tersebut memicu kebingungan dan kemarahan di kalangan pekerja, khususnya yang sudah merasa kesulitab akibat biaya hidup dan harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat.'Beli rumah Barbie saja enggak bisa'

Elza Yulianti, pekerja lepas berusia 30 tahun di Jakarta, ikut dalam aksi unjuk rasa hari ini.

Ia mengatakan peraturan Tapera akan "membebani" anak muda seperti dirinya.

"Di tengah ketidakpastian pendapatan yang setiap bulan diterima dan bisa di-PHK, kapanpun bisa dipecat ...Tapera ini akan mengurangi income [pendapatan] kami," ujar Elza.

Elza juga mempertanyakan bagaimana setoran wajib 2,5 persen dari gajinya per bulan nantinya bisa membeli tempat tinggal.

"Pendapatan saya hanya UMR sekitar 5 jutaan, sementara harga tanah di Jakarta itu sangat-sangat mahal."

Elza mengatakan kenaikan harga tanah "tidak berimbang" dengan upah dan pemerintah harus "menguatkan harga pasar."

"Tidak ada kejelasan mekanisme, transparansi anggarannya seperti apa lalu apa keuntungannya anak muda jika ikut Tapera atau pekerja Gen-Z dan Milenial jika ikut Tapera," katanya.

"Cuma akal-akalan saja untuk memotong iuran Tapera dengan alasan akan dialihkan ke program-program pembangunan seperti IKN dan makan siang gratis dan sebagainya, mungkin."

Elvia Shauki adalah mantan pegawai pemerintah yang tidak pernah tahu kalau ia sudah membayar tabungan rumah sejak mulai bekerja sebagai pegawai negeri sekitar 30 tahun yang lalu.

Secara otomatis, sebanyak Rp10ribu dipotong dari gaji bulanannya sebagai bagian dari program Taperum.

Namun saat mengakses situs untuk mengklaim uangnya, Elvia hanya menemukan saldo sekitar Rp4,5 juta di rekeningnya.

"Empat atau lima juta rupiah untuk membeli rumah?" katanya.

"Beli rumah Barbie saja enggak bisa, karena harganya sudah Rp6 -7 juta sekarang."

Elvia mengatakan seandainya skema tersebut sudah disosialisasikan dengan baik, ia dapat memantau ke mana uangnya pergi.

"Masalahnya adalah satu, visibilitas, kedua adalah transparansi, ketiga adalah bahwa kita itu dirugikan," katanya.

Ia merasa khawatir dengan program Tapera yang merupakan pembaharuan dari Taperum tersebut.

"Kalau ini memang tidak transparan dan tidak akuntabel, kenapa mesti dilanjutkan sama [pekerja] yang swasta?" ujarnya.

"Sudah cukup yang PNS itu menderita ... itu kan cuma akal-akalan mencari dana murah yang masif, gitu loh. Itu kan akal nipu-nipu saja."Bagaimana tanggapan Presiden Jokowi?

Presiden Joko Widodo mengatakan keberatan saat ada kebijakan diumumkan menjadi hal yang "biasa".

"Biasa. Dalam kebijakan yang baru itu pasti masyarakat juga ikut berhitung, mampu atau nggak mampu, berat atau nggak berat," ungkap Presiden Jokowi di Istora Senayan, akhir bulan lalu.

Ia menyamakan Tapera dengan iuran BPJS Kesehatan, yang awalnya juga dianggap keberatan bagi sejumlah masyarakat karena harus membayarnya tiap bulan.

"Seperti dulu BPJS, di luar yang PBI yang gratis 96 juta kan juga ramai tapi setelah berjalan saya kira merasakan manfaatnya bahwa rumah sakit tidak dipungut biaya," ujarnya.

Pakar kebijakan publik Agus Pambagyo mengatakan Tapera seharusnya "memperbanyak nilai uang" tetapi hal ini tidak mudah dengan adanya masalah korupsi dan misinformasi.

Agus juga membandingkan dengan program pembiayaan perumahan di negara lain seperti Jepang dan Singapura yang lebih menawarkan apartmen, bukan rumah dan tanah.

"Tapera ini bermimpi kalau orang mendapatkan rumah. Tanahnya mahal sekali," katanya.

Ia mengatakan program yang dimulai pada tahun 1993 itu "bermasalah."

"Niatnya bagus tapi tidak in detail [terinci]. Jadi masyarakat bingung mesti bagaimana. Uang saya dicuri. Itu saja urusannya," katanya.

Centre of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan "ada potensi legit" dari program tersebut dapat menghasilkan dana lebih dari Rp135 triliun jika diinvestasikan ke sejumlah instrumen investasi, seperti Surat Berharga Negara (SBN).

"Dengan target Rp160 triliun penerbitan SBN di tahun 2024, maka 37 persen bisa dipenuhi hanya dari BP Tapera," demikian tertulis dalam laporan CELIOS.

"Penggunaannya pun tidak akan terbatas pada perumahan, melainkan dapat digunakan untuk program pemerintah mulai dari pembangunan IKN hingga makan siang gratis ke depan."

Direktur Sistem Manajemen Investasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan Saiful Islam mengatakan dana Tapera "tidak digunakan untuk kegiatan pemerintah dan dimasukkan dalam anggaran negara."

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dunia Hari Ini: Modi Klaim Menang Pemilu India, tetapi Tak Sesuai Harapan

Berita Terkait