jpnn.com - JOMBANG - Kericuhan yang diwarnai aksi pemukulan hingga penghinaan terhadap ulama oleh peserta muktamirin dari PWNU Kepulauan Riau, membuat pleno pembahasan tata tertib (Tatib) Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang, Jawa Timur, deadlock.
KH Slamet Effendi Yusuf yang memimpin sidang akhirnya memutuskan sidang ditunda sampai besok. "Kami menyerahkan pleno kepada penanggunggjawab Muktamar dan akan mendiskusikan dengan ulama," kata Kiai Slamet, Minggu (2/8) malam.
BACA JUGA: Dalami Skandal Bansos, Kejagung Siap Garap Pejabat Sumut
Penundaan ini dampak dari keributan saat pembahasan pasal 19 rancangan Tatib, yang mengatur soal sistem musyawarah dan mufakat atau Ahlul Halli Wal 'Aqdi (AHWA), untuk memilih Rais 'Aam PBNU.
Konsep ini menimbulkan perdebatan di kalangan peserta Muktamar. Ada yang pro dan kontra dengan berbagai alasannya. Ahlul Halli Wal 'Aqdi (AHWA)
BACA JUGA: Pengacara Minta Gubernur Sumut Jangan Ditahan
"Kami mendukung sistem AHWA, ada beberapa alasan, pertama, menurut sejarah ini khusus untuk pemilihan Rais 'Aam. Pemilihan langsung itu membuat konflik dan polarisasi antar para Kiai Nahdlatul Ulama," ujar utusan PCNU Pati, Jawa Tengah.
Sementara PWNU Sumatera Selatan menilai sistem AHWA belum bisa digunakan karena hasil Musyawarah Nasional (Munas) bukan Muktamar.
BACA JUGA: Kepala Kepolisian Seluruh ASEAN Kumpul di Jakarta, Personel Polda Siaga
"Kami tahu AHWA diambil keputusan Munas, menurut kami itu hanya rekokmendasi. Kami menolak adanya AHWA dan kita kembali pada AD/ART yang ada. Pemilihan Rais 'Aam dilaksanakan dan dipilih langsung oleh muktamar," jelasnya.
Jalan tengah diusulkan PWNU Sumatera Utara, tapi tetap tidak mendinginkan suasana. Saat itu, PWNU Sumut mengusulkan pasal 19 berbunyi pemilihan Rais 'Aam dilakukan berdasarkan AD/ART Muktamar ke-33 Jombang, sehingga pembahasannya dilakukan pada pembahasan AD/ART sejalan dengan revisinya.
Pro dan kontra antar PWNU dan PCNU terus terjadi sampai tiba giliran PWNU Kepulauan Riau, yang berujung pada pemukulan karena utusan Kepri dinilai menghina ulama yang berada di meja pimpinan pleno.
Utusan Kepri menuding para pimpinan pleno, KH Slamet Effendi Yusuf ikut membagi-bagikan saat sosialisasi sistem AHWA di Aceh. "Kalau Bapak bilang sistem AHWA mengangkat marwah ulama, Bapak sendiri yang menyerahkan uang saat sosialisasi AHWA di Aceh," ujar utusan Kepri yang tidak diketahui namanya, sembari menunjuk ke meja pimpinan pleno. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Denny Indrayana: Itu Bukan Korupsi, Itu Inovasi
Redaktur : Tim Redaksi