jpnn.com, JAKARTA - Rieke Diah Pitaloka menyuarakan penolakan eksekusi di luar ketentuan KUHAP terhadap Baiq Nuril Maknun, korban pelecehan seksual atasan yang justru divonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan oleh Mahkamah Agung.
Sikap Rieke didasari fakta hukum di persidangan staf honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat tersebut, serta dugaan pelanggaran KUHAP oleh jaksa eksekutor Kejaksaan Negeri Mataram terkait rencana eksekusi putusan MA.
BACA JUGA: Cak Imin: Atasan Menggoda kok Bu Nuril yang Dihukum
"Saya memantau dan mengawal langsung persidangan terbuka kasus Baiq Nuril tanggal 24 Mei 2017 di Pengadilan Negeri Mataram," kata Rieke kepada JPNN, Minggu (18/11).
Politikus PDIP ini pun menuturkan fakta persidangan, di mana majelis hakim menyatakan dalam putusannya bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan Muslim yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
BACA JUGA: Begini Respons Gubernur NTB dan Istri atas Kasus Baiq Nuril
"Dari persidangan yang telah berlangsung sejak 10 Mei 2017, telah disampaikan fakta hukum bahwa Baiq Nuril bukanlah pihak yang melakukan tindakan mentransmisikan atau mendistribusikan rekaman percakapan asusila tersebut," tutur Rieke.
BACA JUGA: Baiq Nuril Minta Eksekusi Ditangguhkan
Selain itu, lanjut politikus yang juga aktivis perempuan ini, keterangan saksi ahli Teguh Afriyadi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam persidangan sebelumnya memperkuat fakta Baiq Nuril bukan pelaku penyebaran konten. Perbuatan melanggar hukum tersebut dilakukan oleh pihak lain dan bukanlah Baiq Nuril sendiri.
Pendapat ahli berdasarkan data forensik yang disampaikan di persidangan membuktikan dakwaan terhadap Baiq Nuril adalah dakwaan yang bukan berdasarkan fakta karena pelaku tindak pidana bukanlah Baiq Nuril melainkan orang lain.
"Artinya unsur tindakan melakukan transmisi dan atau mendistribusikan seperti tercantum dalam pasal 27 ayat 1 UU ITE tidak bisa diarahkan pada Baiq Nuril," tegas Rieke yang mendukung Nuril mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas putusan kasasi MA.
Dia juga menyebutkan bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril terindikasi kuat mengabaikan fakta persidangan Baiq Nuril di PN Mataram yang telah membebaskannya dari tuduhan.
Informasi dari Kuasa Hukum Baiq Nuril, hingga saat ini salinan resmi putusan Mahkamah Agung pun belum diterima bukan hanya oleh kuasa hukum, tapi juga PN Mataram dan Kejaksaan Negeri Mataram.
Akan tetapi Kejaksaan Negeri Mataram telah menerbitkan Surat Panggilan Terdakwa Nomor B-1109/P.2.10/11/2018 untuk Baiq Nuril, agar menghadap Jaksa Penuntut Umum Kejari Mataram tanggal 21 November 2018, pukul 09.00 WITA. Alasan Kejaksaan adalah dalam rangka melaksanakan putusan MA yang baru berupa petikan.
"Jika copy surat panggilan dari Kejaksaan Negeri Mataram tersebut benar adanya, maka telah terjadi indikasi kuat pelanggaran oleh Kejari Mataram terhadap Pasal 270 KUHAP mengatur bahwa pelaksanaan eksekusi harus menggunakan salinan putusan," tutur Rieke.
Dia menambahkan, jika alasan jaksa karena berpedoman terhadap Surat Edaran MA yang membolehkan eksekusi hanya berdasarkan petikan putusan, Rieke menilai argumentasi tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum. Posisi UU KUHAP jelas di atas Surat Edaran MA.
"Dengan demikian jika panggilan Kejari Mataram terhadap Baiq Nuril benar adanya, maka terindikasi kuat justru Kejaksaan melalui jaksa terkait terindikasi kuat melanggar KUHAP, surat panggilan eksekusi Baiq Nuril itu berpotensi cacat hukum," tandasnya. (fat/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jaksa Ancang - ancang Eksekusi Baiq Nuril
Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam