Ritual Bakar Tongkang, Kearifan Lokal Masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu

Sabtu, 20 September 2014 – 00:27 WIB
Prosesi Ritual Bakar Tongkang di Bagan Siapi-api, Kabupaten Rokan Hilir. Foto: IST

jpnn.com - REPLIKA tongkang (perahu) berukuran 8x2 meter itu diarak dari klenteng Ing Hok King, sebuah rumah ibadah tertua umat Kong Hu Chu yang terdapat di tengah kota Bagan Siapi-api, Rokan Hilir, Provinsi Riau. Puluhan ribu warga tampak tumpah ruah ke jalanan. Mereka tidak hanya berasal dari penduduk tempatan, namun juga berasal dari berbagai negara di belahan dunia.

Saat telah sampai di tempat yang disediakan, di tengah lapangan di tepian laut mengarah ke Selat Melaka, ribuan manusia memejamkan mata melantunkan doa. Menunggu jawaban dari arah jatuhnya tongkang yang telah dibakar.

BACA JUGA: Ketua DPC Partai Demokrat Palu Tersangka

Replika kapal yang terbuat dari kayu dan kertas dibakar di atas tumpukan kertas doa di dalam kapal juga terdapat replika patung Dewa Ki Ong Ya. Saat kapal ludes trebakar dimakan api, puluhan ribu warga Tionghoa menantikan arah jatuhnya tiang kapal.

Mereka meyakini, jika tiang kapal jatuh kerah laut, maka mereka percaya jika rezeki pada tahun ini datang dari arah laut atau nelayan dan jika tiang jatuh ke arah daratan, maka rezeki datang dari daratan atau bertani. Tahun ini, tiang tongkang jatuh ke arah laut.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, ritual bakar tongkang berlangsung meriah. Even internasional ini menarik wisatawan mancanegara dan lokal karena tradisi membakar tongkang di Bagansiapiapi adalah yang terbesar di dunia.

BACA JUGA: Kabut Asap, Penerbangan di Hang Nadim Kacau Balau

Kota di hilir Sungai Rokan itu sesak dengan pengunjung yang didominasi oleh etnis Tionghoa, terutama keturunan asli Bagansiapi-api yang merantau setelah produk hasil perikanan dari kota pesisir yang pernah tercatat sebagai produsen tertinggi di dunia ini mulai menurun.

Perayaan bakar tongkang biasanya digelar pada pertengahan bulan Juni atau tanggal 16 bulan kelima dalam kalender Imlek. Biasanya perayaan bakar tongkang akan mengubah wajah kota Bagansiapi-siapi menjadi serba merah-merah. Musik tradisional China mengiringi tarian barongsai dan grup opera yang sengaja diundang memeriahkan suasana. Inilah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Tionghoa di Bumi Melayu.

BACA JUGA: Kontraktor tak Penuhi Tuntutan, Warga Blokir Jalan

 

 

Perjalanan Tongkang hingga ke Bagansiapiapi

Sejarah bakar tongkang bermula dari kepercayaan masyarakat Tionghoa Bagan Siapi-api tentang ritual leluhur mereka memuja Dewa Kie Ong Ya atau dewa laut. Saat Provinsi Fujian, Tiongkok dilanda kerusuhan, para leluhur ini melarikan diri menggunakan kapal (tongkang) dan membawa patung Dewa Kie Ong Ya dalam pelayaran mereka.

Terombang-ambing di tengah lautan, para warga Tionghoa ini tak henti memanjatkan doa agar diberi keselamatan. Pada akhirnya mereka selamat dan mendarat di kota Bagan Siapi-api. Oleh mereka, kapal kayu tersebut dibakar agar tidak bisa balik kenegri asal mereka dan mereka bersumpah bahwa Bagan Siapiapi merupakan penganti tanah leluhur mereka.

Kisah yang terjadi pada abad ke 18 tersebut, menyisakan sejarah yang panjang. Dari empat tongkang yang berlayar waktu itu, hanya satu yang selamat ke tujuan dan berlabuh di Bagansiapiapi.

Sementara kisah lainnya menceritakan, pelayaran orang Tionghoa ini dipicu karena keinginan yang kuat untuk mengubah nasib, termasuk ketidaknyamanan di negerinya oleh berbagai kerusuhan politik dan kemiskinan yang makin menjadi-jadi. Konon, di pasar-pasar pun teleh tersedia tempat penjualan bayi secara terbuka agar bayi-bayi itu  mendapatkan orang tua baru yang dapat memberikan mereka kehidupan lebih baik.

Ketika akhirnya mereka memilih keluar dari tanah yang menderita itu, mereka tidak memiliki tujuan yang pasti. Namun mereka bertekad untuk tetap melakukannya. Mereka serta merta membawa patung dewa-dewa, di antaranya Dewa Taisun Ong Ya dan Kie Ong Ya di dalam kapal kecil berpenumpang banyak itu.

Di tengah perjalanan, rombongan itu sempat singgah di satu kampung bernama Se Se di Thailand Selatan. Sempat mereka berniat dan merasa cocok dengan lingkungan di sana, dan ingin mengembangkan usaha. Hubungan yang baik di antara pendatang dan penetap pun terjalin. Namun ketika salah satu pemuda rombongan Tionghoa ini menjalin hubungan dengan anak gadis setempat, situasi berubah. Tidak ingin kondisi semakin buruk, rombongan memilih meninggalkan tanah yang sudah sempat terasa cocok itu.

Rombongan Tionghoa perantauan yang dikenal juga dengan Hoa Kiaw ini memasukkan perbekalan ke dalam kapal sebanyak mungkin. Mereka berlayar ke arah selatan lagi, meninggalkan lebih jauh kampung nenek moyangnya. Badai kecil di tengah laut mengombang-ambing tongkang yang memang sudah over load. Penumpangnya sebagian jatuh ke laut dan hanya dua kapal bernama Se Gun dan Ci Kwee yang bisa meneruskan pengarungan.

Akhirnya rombongan perantauan ini memasuki Selat Malaka. Dan tiba di satu kampung kecil bernama Ping’i dekat Kuala Kubu. Menemukan daratan dan berinteraksi dengan masyarakat (Melayu) adalah sebuah angin segar bagi rombongan itu. Kedua pihak melakukan barter komoditas masing-masing. Ikan ditukar dengan sayur mayur, buah-buahan, beras dan lainnya. Mendengar ada etnis Tionghoa yang sebelumnya tinggal di Panipahan, maka mereka tertarik bergabung dan tinggal beberapa saat.

Namun keamanan laut di Panipahan tidak sebaik yang mereka kira. Lanun berkeliaran dan membuat resah nelayan. Rombongan kembali terpukul dan memilih menemukan tempat idaman. Mereka pun berangkat lagi. Sebagian rombongan memilih menyinggahi dan menetap di Teluk Palas, selatan Panipahan. Dan satu tongkang yang dipimpin Ang Mie Kuah dan 17 keluarga semarga Ang berlayar ke daerah Muara Kubu. Tiba di muara Sungai Rokan, mereka bisa menangkap hasil laut lebih dari biasanya. Di sinilah mereka baru bisa mengakhiri tujuan pelayarannya. Akhirnya banglimau pun didirikan. Dan inilah cikal bakal Bagansiapiapi yang kelak dikenal dengan produsen ikan ternama sepanjang sejarah.

Tongkang pelayaran yang dianggap berjasa itu kemudian dibakar sebagai bentuk tanda syukur terhadap tanah baru. Mereka menetapkan niat tidak pulang lagi. Mereka meyakini Dewa Ki Ong Ya telah menjaganya sepanjang pelayaran. Oleh karena itu, bakar tongkang erat kaitannya dengan Dewa Ki Ong Ya. Meskipun keturunan Tionghoa telah banyak keluar Kota Bagansiapiapi, mereka akan ziarah pada saat Bakar Tongkang. Mereka telah melupakan Hopin di Tiongkok Selatan, mereka hanya ingin pulang ke Bagansiapiapi.

Ajang Pariwisata Internasional

Bermula dari tuntutan kualitas hidup yang lebih baik lagi, sekelompok orang Tionghoa dari Propinsi Fujian - China, merantau menyeberangi lautan dengan kapal kayu sederhana. Dalam kebimbangan kehilangan arah, mereka berdoa ke Dewa Kie Ong Ya yang saat itu ada di kapal tersebut agar kiranya dapat diberikan penuntun arah menuju daratan.

Tak lama kemudian, pada keheningan malam tiba-tiba mereka melihat adanya cahaya yang samar-samar. Dengan berpikiran di mana ada api disitulah ada daratan dan kehidupan, akhirnya mereka mengikuti arah cahaya tersebut, hingga tibalah mereka di daratan Selat Malaka tersebut.

Mereka yang mendarat di tanah tersebut sebanyak 18 orang yang kesemuanya bermarga Ang, diantaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, Ang Tjie Tui.

Cahaya terang yang dilihat ke-18 perantau ini pada waktu kehilangan arah adalah cahaya yang dihasilkan oleh kunang-kunang di atas bagan (tempat penampungan ikan di pelabuhan). Sehingga para perantau menamakan daratan tersebut dengan nama Baganapi yang kini dikenal sebagai Bagansiapiapi.

Mereka inilah yang kemudian dianggap sebagai leluhur orang Tionghoa Bagansiapiapi. Sehingga mayoritas warga Tionghoa Bagansiapiapi kini adalah bermarga Ang atau Hong.

Pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16, para perantau menginjakkan kaki di daratan tersebut, mereka menyadari bahwa di sana terdapat banyak ikan laut, dengan penuh sukacita mereka menangkap ikan untuk kebutuhan hidup. Mulailah mereka bertahan hidup di tanah perantauan tersebut.

Sebagai wujud terima kasih kepada dewa laut Kie Ong Ya, para perantau memutuskan untuk membakar Tongkang yang ditumpangi mereka sebagai sesajen kepada dewa laut.

Mereka yang merasa menemukan daerah tempat tinggal yang lebih baik segera mengajak sanak-keluarga dari Negeri Tirai Bambu sehingga pendatang Tionghoa semakin banyak. Keahlian menangkap ikan yang dimiliki oleh nelayan tersebut mendorong penangkapan hasil laut yang terus berlimpah. Hasil laut berlimpah tersebut di-ekspor ke berbagai benua lain hingga Bagansiapiapi menjadi penghasil ikan laut terbesar ke-2 di dunia setelah Norwegia.

Perdagangan di selat Melaka semakin ramai hingga membuat Belanda melirik Bagansiapiapi sebagai salah satu basis kekuatan laut Belanda, yang kemudian oleh Belanda membangun pelabuhan yang di Bagansiapiapi, konon katanya pelabuhan tersebut adalah pelabuhan paling canggih saat itu di selat Melaka.

Tidak hanya hasil laut yang saat itu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bagansiapiapi, tapi ada juga hasil karet alam yang juga sangat terkenal. Di masa perang dunia I dan perang dunia II, Bagansiapiapi disebut sebagai salah satu daerah penghasil karet berkualitas tinggi yang saat itu banyak sekali dipakai untuk kebutuhan peralatan perang seperti ban dari bahan karet.

Pengolahan karet alam tersebut dilakukan sendiri oleh masyarakat Bagansiapiapi di beberapa pabrik karet di Bagansiapiapi. Namun setelah perang dunia II selesai, permintaan akan karet semakin menurun hingga beberapa pengusaha menutup pabrik karet tersebut.

Dari sisi kebudayaan, terdapat sebuah kelenteng tua yang sudah berumur ratusan tahun. Di tempat kelenteng inilah Dewa Kie Ong Ya saat ini disembahyangkan. Dewa Kie Ong Ya yang ada di dalam kelenteng Ing Hok Kiong saat ini adalah patung asli yang dibawa ke-18 perantau pada saat pertama kali menginjak kaki di daratan Bagansiapiapi.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, perayaan Go Cap Lak sempat vakum selama puluhan tahun. Hingga tahun 2000, perayaan ini kembali digelar. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir menjadikan ajang tahunan ini sebagai sarana pariwisata. Parayaan ini masuk dalam kalender visit Indonesia setiap tahunnya.

Pada perayaan bakar tongkang Juni 2014, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono, mengatakan tradisi ini merupakan tradisi yang mengagumkan dan menjadi bukti toleransi bangsa Indonesia terhadap keberagaman etnis dan budaya.

“Bakar Tongkang merupakan bukti adanya penghormatan terhadap keberagaman dan pluraritas. Ini tidak akan bisa berkembang seperti ini tanpa adanya tradisi toleransi di masyarakat,” katanya saat hadir di acara puncak Bakar Tongkang, di Kota Bagansiapi-api.

Sementara itu, Gubernur Riau Annas Maamun mengatakan pemerintah daerah berkomitmen akan terus mendukung Bakar Tongkang sebagai potensi pariwisata budaya andalan Riau.

Berdasarkan laporan dari Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, sedikitnya 40 ribu wisatawan lokal dan mancanegara menghadiri Bakar Tongkang tahun ini.

“Kita akan terus membantu dari anggaran APBD dan promosi terus ke seluruh penjuru dunia,” katanya.(***)

(Tulisan dikumpulkan dari berbagai sumber)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Museum Sonobudoyo Pamerkan Koleksi Wayang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler