jpnn.com, JAKARTA - Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pelindo II Richard Joost Lino atau biasa dikenal dengan RJ Lino, mempersoalkan perhitungan kerugian negara yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi pengadaan quay container crane (QCC) 2021.
KPK menduga kerugian negara terkait pemeliharaaan QCC mencapai USD 22.828,94. Sementara, untuk pembangunan dan pengiriman barang tersebut, BPK tidak menghitung nilai kerugian negara.
BACA JUGA: Ditahan KPK, RJ Lino Merasa Sangat Senang
Meski begitu, RJ Lino mengaku memberikan keuntungan negara dengan menunjuk langsung perusahaan karena harga crane menjadi lebih murah.
Dia juga memberikan saran kepada BPK untuk menghitung keuntungan negara.
BACA JUGA: RJ Lino Ditahan KPK, Penyidikan Kasus Pelindo II di Kejagung Jalan Terus
"Jadi kalau hitung kerugian negara, juga harus hitung keuntungan negara," kata RJ Lino, Senin (29/3).
Lino juga menjelaskan bahwa penunjukkan langsung yang dilakukannya terhadap HuaDong Heavy Machinery Co. Ltd, (HDHM) didasari oleh Surat Keputusan (SK) dari Menteri BUMN.
"Ada SK Menteri BUMN tahun 2008 kalau alat itu di pelabuhan bisa tunjuk langsung. Kalau katanya emergency, prosesnya bisa tunjuk langsung. Kalau lelang lebih dari dua kali bisa tunjuk langsung," ujarnya.
Dia mengaku telah melakukan lelang sebanyak sembilan kali dalam pengadaan QCC ini.
Sebelumnya, RJ Lino mengatakan bahwa seharusnya KPK menghentikan kasus ini dari awal karena tidak ditemukan adanya kerugian negara dalam pengadaan QCC dari HDHM.
“Jadi, yang mau saya katakan waktu BPK periksa saya tahun lalu, mereka tidak fair,” ucap Lino, Jumat (26/3).
Menurut RJ Lino, saat proses penyelidikan dia sudah memberitahu bahwa pembelian QCC secara langsung HDHM lebih murah daripada melalui proses lelang.
“Alat yang saya tunjuk langsung itu, dua tahun kemudian saya lelang. Yang ikut lelang sepuluh orang, yang memasukkan penawaran dua. Barangnya sama persis. Kebetulan pemenangnya sama, harganya itu USD 500 ribu lebih mahal daripada saya menunjuk langsung,” kata RJ Lino.
Dia meyakini bahwa crane yang dibelinya itu paling murah. Dia lantas membandingkan crane yang dibeli Pelindo I dan II.
“Itu crane yang saya beli yang paling murah selama negeri ini berdiri. Pelindo I hanya bisa membeli satu crane harganya USD 12,2 juta, saya beli USD 5,5 juta,” tutur RJ Lino.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan, BPK meminta KPK mencari dokumen atau data dari HDHM terkait harga QCC yang dijual ke Pelindo II.
Selain itu, KPK juga harus memiliki data harga QCC yang dijual HDHM ke negara lain selain Indonesia. Setelah dokumen tersebut ada, BPK akan menghitung kerugian negara dalam kasus itu.
"Misalnya, HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara," kata Alex dalam konferensi pers, Jumat (26/3).
Terlepas dari itu, KPK tetap meminta BPK untuk menghitung kerugian negara. Namun, BPK hanya bisa menghitung kerugian negara pada aspek pemeliharaan QCC.
Menurut Alex, BPK tidak bisa menghitung kerugian negara dalam pengadaan alatnya. Sebab, KPK tidak memiliki dokumen atau data pembanding.
Akhirnya, KPK memutuskan menggunakan ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghitung harga pokok produksi QCC tersebut.
Ahli akan merekonstruksi unit QCC, lalu menghitung total harga pokok produksi.
"Memang dalam menghitung kerugian dalam akuntasi itu ada yang disebut histories cost. Itu biasanya didukung dengan data dan dokumen, berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat tersebut, temasuk harga pembanding," kata Alex.
Dia juga mengatakan, ada metode lain dalam menghitung kerugian, yakni replacement cost. Biaya produksi dihitung berdasarkan hasil rekonstruksi.
"Kami menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu," katanya.
Alex mengatakan, hasil perhitungan itu kemudian dijadikan dasar KPK bahwa terdapat selisih yang signifikan antara QCC yang dibeli Pelindo II dari HDHM dengan harga produksi.
"Dibandingkan dengan harga yang dibeli dari Pelindo ke HDHM yang sebesar USD 15 juta, kontraknya sebegitu. Sementara ahli dari ITB, mungkin termasuk ongkos angkut ke sini, secara total USD 10 juta. Jadi ada perbedaan sekitar USD 5 juta," kata Alex.
Seperti diketahui, RJ Lino resmi ditahan KPK selama 20 hari sejak 26 Maret sampai 13 April di Rutan Negara Kelas I Cabang KPK. (mcr9/jpnn)
Video Terpopuler Hari ini:
Redaktur & Reporter : Dea Hardianingsih