jpnn.com, JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrision mengatakan pengendalian konsumsi tembakau menemui jalan terjal dengan menjamurnya rokok murah di masyarakat.
Salah satunya disebabkan oleh struktur tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang masih kompleks dengan sistem berlapis, sehingga rentang harga antara rokok paling mahal dan murah sangat lebar.
BACA JUGA: Pelaku IHT Minta Pemerintah Tunda Kebijakan Menaikkan Cukai Rokok
Menurut Vid Adrision, kesenjangan harga ini yang kemudian membuka peluang bagi masyarakat untuk membeli rokok yang paling murah.
Penetapan tarif cukai saat ini didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan No. 191/PMK.010/2022 dimana CHT terdiri dari 8 lapisan tarif.
BACA JUGA: Soal Dampak Kenaikan Tarif Cukai Rokok, Sri Mulyani: Sudah Dikelola..
Pemerintah menetapkan batasan produksi masing-masing jenis rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 146/PMK.010/2017.
Adapun batasan produksi golongan 2 untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM) ditetapkan maksimal 3 miliar batang/tahun.
BACA JUGA: Gus Muhaimin Sikapi Keputusan Pemerintah Menaikkan Cukai Rokok Elektrik, Simak
"Saat ini ada delapan lapisan tarif, yang lebih rendah diberikan jika produksinya lebih sedikit. Kalau SPM dan SKM itu bedanya cuma di atas atau di bawah tiga miliar batang per tahun," ujar Adrision, dalam keterangannya, Jumat (28/7).
Berdasarkan tarif cukai dan minimum HJE yang saat ini berlaku, satu pabrikan SKM golongan 2 dengan produksi 3 miliar batang dapat mencapai omset fantastis hingga lebih dari Rp 3 triliun dalam setahun.
Perbedaan tarif dan harga jual eceran antargolongan juga turut memperlebar jarak antara rokok di golongan tertinggi dengan bawah.
"Sudah cukai lebih rendah, harga jual eceran minimumnya pun lebih rendah. Artinya, mereka memiliki kesempatan untuk menjual rokok lebih murah dibandingkan di golongan satu," tuturnya.
Dia pun memprediksi tren peralihan konsumsi rokok ke golongan yang lebih murah masih akan terus terjadi apabila struktur cukai tidak diperbaiki.
"Saya tidak yakin akan bisa satu tarif cukai, karena coba cari industri yang bisa memberikan kontribusi ke penerimaan negara sekitar 10%, hanya industri rokok, tidak ada yang lain. Dari cukai saja 10% belum lagi kalau dihitung PPH dan PPN-nya,” katanya. (jlo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Djainab Natalia Saroh