Rolling Stones

Dhimam Abror Djuraid

Selasa, 24 Agustus 2021 – 08:34 WIB
Ali Mochtar Ngabalin. Foto: M Fathra Nazrul Islam/dok.JPNN

jpnn.com - King of Lip Service gelar untuk Jokowi, King of Silent gelar untuk Ma’ruf Amin, dan Queen of Ghosting gelar untuk Puan Maharani. Yang terbaru ada gelar King of Rolling Stones. Untuk siapa?

Gelar terbaru itu dianugerahkan kepada Ali Mochtar Ngabalin yang mendapat julukan ‘’Raja Penjilat’’. Gelar untuk Jokowi, Ma’ruf Amin, dan Puan diberikan oleh para mahasiswa.

BACA JUGA: Assalamualaikum, Bang Ngabalin, Mengapa Tidak Meminta Maaf kepada Pak Busyro?

Gelar untuk Ngabalin muncul di media sosial, bersamaan dengan munculnya mural bergambar seorang pria beserban, mirip Ngabalin, dengan mata tertutup dengan narasi ‘’504 Error’’.

Mural ini kemudian dilengkapi dengan gambar beberapa ekor kambing. Mungkin menyindir ucapan seorang pejabat pemerintah yang mengatakan bahwa mereka yang suka mengkritik pemerintah adalah warga negara kelas kambing.

BACA JUGA: Ngabalin: Saya Mau Bilang Itu Tuduhan yang Sungguh Menyesatkan Publik

Melihat postur orang beserban dan gambar kambing, warganet lantas mengasosiasikannya dengan Ali Mochtar Ngabalin.

Dalam tinjauan semiotika, mural bergambar pria beserban dengan mata tertutup, seperti iklan ‘’Wanted’’ itu, adalah penanda atau signifier. Ketika gambar itu dimaksudkan untuk merujuk pada seseorang—misalnya Ngabalin, atau seorang ustaz yang biasa memakai serban--maka dia disebut sebagai petanda atau signified.

BACA JUGA: Polemik Mural Jokowi 404 Not Found, Edi Bonetski: Lu Tahunya Borgol, Senjata, dar, der, dor

Publik hanya bisa mengira-ngira siapa lelaki beserban itu. Asosiasi terhadap Ngabalin pun lebih bersifat spekulatif. Sampai sekarang belum diketahui siapa pembuat mural itu. Polisi sedang memburunya. Sama dengan mural bergambar mirip Jokowi dengan narasi ‘’404 Not Found’’, mural pria beserban memunculkan multitafsir di kalangan publik.

Tidak ada yang tahu persis makna mural itu, atau siapa yang menjadi model mural itu, kecuali sang pelukis sendiri. Dialah sang author, pencipta karya itu. Dialah yang tahu persis maknanya. Publik hanya bisa melakukan tafsir atas karyanya.

Ketika sebuah karya--dalam bentuk lukisan, musik, puisi, narasi, pidato, dan lain-lain--sudah menyebar ke publik, maka sang author sudah tidak mempunyai kendali atas tafsir karyanya.

Begitu pula dengan beberapa mural itu. Publik bebas menginterpretasikannya sesuai dengan frame of reference, kemampuan referensinya.

Kalau seseorang menganggap pria bermata tertutup itu sebagai Jokowi, maka interpretasinya sah, karena referensinya mengatakan bahwa seseorang dengan bentuk kepala, rambut, hidung, dan dagu seperti dalam mural itu adalah Jokowi.

Kalau seseorang menganggap pria beserban itu adalah Ngabalin, maka tafsirnya itu juga sah, karena referensinya mengatakan bahwa orang yang biasa memakai serban adalah Ngabalin.

Sebaliknya, kalau orang menafsirkan bahwa pria pada mural ‘’Not Found’’ itu bukan Jokowi maka tafsirnya itu juga sah. Juga ketika seseorang menafsirkan bahwa pria beserban itu bukan Ngabalin, maka tafsir itu juga sah.

Past experience, atau pengalaman pribadi, juga akan memengaruhi tafsir seseorang terhadap mural itu. Mungkin saja pria pada mural ‘’Not Found’’ itu dianggapnya sebagai kepala desa, atau camat, atau lainnya.

Mungkin saja pria beserban itu dianggap sebagai ustaz di kampungnya, semua sah saja.

Semua tafsir itu sah, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, karena pembuat mural sebagai sang author sudah mati. Ketika dia melepas karyanya ke publik terjadilah apa yang oleh Roland Barthes disebut sebagai ‘’the death of the author’’, matinya sang pengarang.

Dia telah mati ketika karyanya menyebar ke publik. Karya itu bisa diterjemahkan apa saja, dan sang author tidak akan bisa melakukan apa pun untuk mencegahnya.

Karena itu, tafsir polisi atau petugas Pol PP yang menganggap pria Not Found itu sebagai Jokowi adalah sah. Juga kalau petugas menafsirkan pria beserban itu adalah Ngabalin, tafsir itu sah juga.

Sebaliknya, sang author tentu mempunyai maksud tersendiri dengan depiksi, penggambaran mural itu. Kalau sang author mengatakan bahwa gambar itu bukan Jokowi dan bukan Ngabalin, maka polisi tidak boleh memaksanya untuk mengakui bahwa itu gambar Jokowi dan Ngabalin.

Dalam kasus mural beserban, publik sudah telanjur menginterpretasikan bahwa sosok beserban itu adalah Ngabalin. Beberapa pakar juga sepakat mengasosiasikan gambar itu sebagai Ngabalin. Dan, Ngabalin sendiri mengatakan bahwa dia tidak marah atau tersinggung oleh mural itu. Ngabalin juga mengaku tidak marah oleh gelar ‘’Raja Penjilat’’.

Kalau memang begitu, tentu sikap Ngabalin ini patut diapresiasi. Ia tidak tersinggung karena menjadi objek kritik. Ia mengaku bahwa meskipun dijuluki sebagai Raja Penjilat ia tidak marah, karena penjilatannya itu dilakukan demi pengabdian kepada bangsa dan negara.

Logika dan retorika Ngabalin kali ini tidak perlu dipermasalahkan. Tidak perlu dipertanyakan bagaimana logika antara menjilat dan mengabdi kepada negara. Dengan menerima kritik mural itu Ngabalin sudah menunjukkan kemajuan sikap yang luar biasa.

Ngabalin selama ini dikenal punya ‘’sharp tongue’’ lidah yang tajam. Setiap ada pengkritik kebijakan pemerintah dia langsung menyambar dengan komentar tajam.

Tidak jarang dia melakukan ‘’ad hominem’’ menyerang pribadi. Seorang pengkritik disikat Ngabalin karena masih membujang dalam usia yang sudah matang. Ini serangan ad hominem khas Ngabalin.

Dia tidak segan menyebut seorang kiai dan tokoh sepuh dengan sebutan ‘’otak sungsang’’. Hal itu dilakukannya terhadap Kiai Anwar Abbas dan Busyro Muqoddas. Ngabalin menyebut Kiai Anwar berotak sungsang, karena mempertanyakan kasus penistaan agama oleh Joseph Paul Zhang, April lalu.

Kiai Anwar meragukan kasus itu akan dituntaskan oleh Polri karena kapolrinya non-muslim. Kontan Ngabalin menyambar dengan menyebut Kiai Anwar otak sungsang. Btw, sampai sekarang sudah enam bulan, kasus Zhang belum dituntaskan oleh polisi, dan Zhang masih bebas berkeliaran di Eropa. Kalau begini, siapa yang otak sungsang?

Busyro Muqoddas, salah satu ketua PP Muhammadiyah dan mantan wakil ketua KPK 2020, juga disikat Ngabalin dengan sebutan otak sungsang. Muqoddas mengkritik pemecatan Novel Baswedan dan kawan-kawan sebagai bukti konkret pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Ngabalin langsung menyebut Muqoddas berotak sungsang.

Ngabalin juga tidak segan-segan menyerang dengan melakukan asosiasi terhadap hewan. Ketika mural bergambar pria mirip Jokowi viral, Ngabalin langsung menyalak dengan menyebut pembuat mural itu sebagai warga negara kelas kambing.

Mungkin, karena rekam jejaknya seperti itu, lalu muncul ide seniman mural untuk menggambarkan pria beserban dengan narasi ‘’504 Error’’. Bersamaan dengan itu muncul gelar Raja Penjilat untuk Ngabalin.

Kali ini, Ngabalin ternyata lebih tenang, tidak error. Tidak menyalak dan tidak menyambar. Dia malah menerima gelar Raja Penjilat demi pengabdian kepada bangsa dan negara.

Karena itu, untuk mengapresiasi kebaikan Ngabalin, sebaiknya gelar Raja Penjilat dibuat lebih keren dalam bahasa Inggris, yaitu ‘’The King of Rolling Stones’’. Jangan lupa, tampilkan juga logo lidah menjulur khas Rolling Stones. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler