jpnn.com - JAKARTA—Pengusaha batubara mulai berteriak, menyusul rencana pemerintah yang akan menaikkan royalti batubara menjadi 13,5 persen.
Kondisi ini akan semakin memberatkan pengusaha jika Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam memberlakukan penerapan royalti biaya kompensasi sebesar 12,5 persen.
BACA JUGA: Dahlan Cek Kesiapan Terminal II Bandara Juanda
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R Sukhyar membenarkan rencana kenaikan royalty dimaksud. Namun berapa besarannya, Sukhyar mengaku masih dalam tahap pembahasan.
Dijelaskan, selama ini royalti yang dikenakan untuk pertambangan batubara adalah sebesar 13,5 persen untuk Kontraktor KK dan PKP2B. Sedangkan IUP sebesar 3, 5 persen atau 7 persen tergantung kualitasnya.
“Untuk IUP apakah akan disamakan belum ada kepastian. Tapi sebaiknya disamakan mendekati 13,5 persen," ujarnya.
BACA JUGA: Sharp Bangun Pabrik Rp 1,2 T di Karawang
Karena itu, jika rencana kenaikan royalti ini diterapkan, Sukhyar menegaskan Kementerian ESDM akan menolak Perda (Qanun) Pemprov NAD terkait penarikan royalti untuk pertambangan.
Ia meminta agar tidak ada Perda yang melebihi aturan UU, khususnya mengenai qanun penarikan royalti yang akan dilakukan Pemprov NAD. Qanun itu dikhawatirkan akan semakin memberatkan pengusaha.
BACA JUGA: Pengusaha Minta Lutfi Fokus Tekan Inflasi
"Kalau UU, memang izin itu dilakukan di daerah. Tapi dalam konteks pajak, dan PNPB itu harus mengikuti UU Organik yakni UU Keuangan. Itukan sifatnya kesatuan. Tidak bisa pungutan dilakukan oleh daerah tanpa berbasis UU yang sah," ujar Sukhyar.
Karena itu, terkait penarikan royalti tentu harus dibicarakan terlebih dulu dengan pemerintah pusat terutama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM. "Nanti perda itu tidak semena-mena diberlakukan, harus lewat Kemendagri dulu. Untuk pengesahan Kemendagri akan minta persetujuan sektor dalam hal ini Kementerian ESDM," ujarnya.
Terpisah, Harry Anwar, pengusaha batubara yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI), mengatakan, rencana pemerintah menaikkan royalti batubara hingga 13,5 persen pengusaha kurang pas di tengah situasi bisnis yang kurang kondusif. Pasalnya saat ini pasar internasional masih kurang bersahabat terhadap pengusaha batubara.
Belum lagi dengan rencana pemerintah provinsi Aceh yang akan menerapkan royalti biaya kompensasi sebesar 12,5 persen.
“Rencana ini jelas memprihatinkan bagi kami para penambang yang beroperasi di daerah,” ujar Harry Anwar, saat dihubungi wartawan, Rabu malam (13/2).
Dijelaskan, saat ini para pengusaha tambang yang memegang izin usaha penambangan (IUP) untuk di daerah, rata-rata hanya memperoleh batubara berkalori rendah, termasuk di Aceh. Wajar jika kondisi ini menyebabkan margin yang diperoleh pengusaha sangat tipis.
Alih-alih membuat situasi bisnis menjadi lebih baik, justru berbagai kebijakan di sektor minerba terutama terkait dengan royalti ini semakin memberatkan pengusaha. “Ingat ya, mereka menambang batubara yang hanya berkalori 3.000-4.000. Jika royalti dinaikan menjadi 13,5 persen, tentu berpotensi merugikan bagi pengusaha,” tegas Harry.
Sebagaimana diketahui, dalam PP No.9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian ESDM, tarif royalti bagi pemegang IUP ditetapkan 3 persen, 5 persen, dan 7 persen sesuai nilai kalori dari batubara. Sementara bagi pemegang lisensi PKP2B (Perjanjian Kontrak Penambangan Batu Bara) seperti PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Envirocoal, PT Borneo Indobara, dan lainnya sebesar 13,5 persen.
Selama ini, sudah banyak perusahaan di daerah yang menerapkan prinsip pengelolaan tambang secara benar baik dari sisi lingkungan dan manajemen. Nah, jika kebijijakan royalty diterapkan akan berpengaruh pada kebijakan manajemen perusahaan yang sudah berjalan.
“Banyak pemegang IUP dalam menjalankan bisnis telah memenuhi GCG, membayar royalti, hingga memperoleh sertifikasi eco-green dari Kementerian Lingkungan,” ujarnya.
“Saya khawatir kondisi ini akan berubah jika ada kebijakan baru yang justru akan membebani pengusaha. Kegiatan bisnis mereka bisa jadi akan terganggu,” imbuhnya.
Karena itu, kata Harry, sebelum kebijakan tersebut diterapkan sebaiknya pemerintah melihat terlebih dulu operasional perusahaan batubara khususnya dalam situasi pasar saat ini. Tentu sangat tidak tepat jika ada yang menuding bahwa keuntungan yang diperoleh pengusaha batubara sangat besar. Ini belum termasuk keuntungan lainnya. “Saya tegaskan semua itu tidak benar,” ujarnya.
Harry meyakini bahwa kontribusi pengusaha di sektor minerba untuk pemasukan negara selama ini sudah cukup besar. Kontribusi itu bukan hanya dari royalti saja, tapi juga dari PPN, PPA, pajak karyawan, dana CSR, dan dana sumbangan di daerah.
“Saya yakin pemerintah akan mendengar masukan dari pengusaha. Silakan dicek pembukuan dari kegiatan operasional perusahaan. Selaku pengusaha, kami ingin bisnis tetap jalan dan menguntungkan. Karena itu, kami bersedia berbagi dengan pemerintah,” tegasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Penerimaan Migas Anjlok Rp 20 T
Redaktur : Tim Redaksi