jpnn.com - JAKARTA -- Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu Janner Purba dan Toton disogok agar menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa korupsi honor Dewan Pembina Rumah Sakit M Yunus Bengkulu, Edi Santroni dan Safri Safei. Tak tanggung-tanggung dua hakim itu diduga sudah menerima duit Rp 650 juta sebagai imbalan atas jasanya.
"Ada dugaan untuk divonis bebas," tegas Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati Iskak, Selasa (24/5).
BACA JUGA: PKS Gugat Balik Fahri...Tapi Nilainya Kok Receh Banget Ya?
Belum diketahui, apakah Rp 650 juta itu merupakan total pemberian untuk kedua hakim tersebut. Sebab, Yuyuk mengaku belum mengetahui komitmen fee untuk sang hakim dari terdakwa. "Belum dapat berapa komitmen fee nya," jelasnya.
Perkara korupsi honor Dewan Pembina Rumah Sakit itu juga menyeret mantan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah. Namun, KPK belum memastikan apakah ada atau tidak keterlibatan Junaidi. Termasuk apakah benar uang untuk sang hakim itu bersumber dari Junaidi. "Ini kan baru OTT, baru pemeriksaan pertama. Akan didalami penyidik asal uangnya," kata dia.
BACA JUGA: Prasetyo Curhat Hukuman Mati pada Jaksa Agung Turki
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus suap yang terbongkar lewat operasi tangkap tangan di Bengkulu, kemarin (24/5). Kelimanya ialah Ketua Pengadilan Negeri Kepahiang, Bengkulu, Janner Purba (JP) Hakim Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Bengkulu Toton (T), dan Panitera Pengganti pada PN Bengkulu Badaruddin alias Billy (BAB).
Kemudian, mantan Wakil Direktur Umum dan Keuangan Rumah Sakit Umum Daerah M Yunus Bengkulu Edi Santoni serta mantan Kepala Bagian Keuangan RSUD M Yunus, Safri Safei. Kasus suap menyuap ini terkait dengan perkara korupsi honor Dewan Pembina Rumah Sakit M. Yunus Bengkulu di PN Tipikor Bengkulu.
BACA JUGA: Tiba di Bandara, Warga Hong Kong yang Merokok di Pesawat itu Langsung...
Perkara korupsi ini bermula saat Junaidi Hamsyah menjabat Gubernur Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur nomor Z.17XXXVIII tentang Tim Pembina Manajemen RSUD Dr. M. Yunus (RSMY), yang diduga bertentangan dengan Permendagri nomor 61 tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas. Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina.
Akibat SK yang dikeluarkannya, negara disinyalir mengalami kerugian sebesar Rp 5,4 miliar. Dalam persidangan terdakwa Edi dan Safri, pengadilan menunjuk tiga hakim yakni Janner, Toton dan Siti Insirah. Namun, hanya dua hakim yang mulai ditetapkan sebagai tersangka. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... HEBOH... WNA Hongkong Nekat Merokok di Pesawat Citilink
Redaktur : Tim Redaksi