jpnn.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay ikut sedih dan prihatin musibah yang dialami bayi berusia 4 tahun, Tiara Debora Simanjorang.
Tiara meninggal dunia karena diduga terlambat mendapat penanganan medis dari RS Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta Barat akibat kekurangan biaya. Namun, pihak RS sudah membantah.
BACA JUGA: Tim Investigasi Kematian Bayi Debora Punya Waktu 48 Jam
"Saya bisa merasakan kesedihan dan duka yang dialami seluruh keluarganya," kata Saleh, Senin (11/9).
Saleh menuturkan, kejadian seperti ini tidak semestinya terjadi di tengah keseriusan pemerintah mengejar target implementasi universal health coverage (UHC).
BACA JUGA: DPR: Rumah Sakit tidak Boleh Tolak Pasien
Yakni masyarakat dipastikan memperoleh akses yang adil terhadap pelayanan kesehatan masyarakat yang bermutu dengan biaya yang terjangkau.
"Kalau masih ada kejadian seperti ini, saya yakin universal health coverage yang digaung-gaungkan akan sulit tercapai," ujarnya.
BACA JUGA: DPR Cecar Menkes Soal Bayi Debora
Karena itu, Saleh menegaskan, harus ada keseriusan dan keikhlasan semua pihak untuk berpartisipasi.
"Termasuk rumah-rumah sakit swasta yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan," katanya.
Dia memahami bahwa RS swasta memang memiliki aturan administratif dan sistem pembiayaan sendiri. Namun demikian, RS sakit juga diharapkan dapat memberikan pengecualian-pengecualian pada kasus-kasus tertentu.
"Karena hakikat dari pelayanan kesehatan adalah pelayanan kemanusiaan," tegasnya.
Dalam konteks ini, lanjut Saleh, Kementerian Kesehatan harus menginvestigasi serius agar kejadian serupa tidak terulang. Investigasi boleh melibatkan perkumpulan rumah-rumah sakit yang ada.
"Jika ditemukan ada yang salah dalam prosedur pelayanan, tentu Kementerian Kesehatan harus menjatuhkan sanksi tegas," ujarnya.
Politikus PAN itu mengatakan, pemerintah tentu sangat perlu mengeluarkan aturan khusus terkait pelayanan kesehatan di RS. Dengan demikian, RS tidak begitu saja menolak pasien yang tidak cukup biaya.
"Apalagi, pasien tersebut memiliki kartu BPJS Kesehatan yang perlindungan kesehatannya dijamin oleh negara," tegasnya.
Jadi, ujar dia, RS tidak boleh hanya berorientasi keuntungan finansial dan mengabaikan aspek sosial dan kemanusiaan.
"Bersedia membuka rumah sakit, tentu harus bersedia pula mengabdi pada kepentingan sosial dan kemanusian," ungkap Saleh.
"Kalau membaca ceritanya, ini kan situasinya darurat. Mestinya ada pengecualian dalam situasi seperti ini," tambahnya.
Di lain pihak, BPJS Kesehatan didesak untuk memperluas kerja sama dengan rumah-rumah sakit yang ada. Dengan begitu, masyarakat dengan mudah dapat menjangkaunya. Apalagi, kepesertaan BPJS Kesehatan dari tahun ke tahun semakin meningkat. "Tentu dibutuhkan jaringan pelayanan kesehatan yang semakin luas," ujarnya.
Dia mengatakan, dalam beberapa kasus, memang ada rumah sakit yang enggan untuk bekerja sama dengan BPJS kesehatan. Mungkin dinilai profitnya tidak terlalu banyak.
Padahal, pemegang kartu BPJS Kesehatan gratis tidaklah gratis begitu saja. Untuk tahun 2017 ini saja, anggaran untuk BPJS kesehatan dari data PBI sudah mencapai 34 triliun.
Karena itu, rumah-rumah sakit yang ada diimbau untuk membantu program pelayanan kesehatan yang dikembangkan pemerintah.
Selain itu, standar pembiayaan dan pelayanan kesehatan harus benar-benar berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Harus diingat betul, bahwa tidak ada satu orang pun yang ingin jatuh sakit.
"Karena itu, setiap orang yang sakit dipastikan adalah orang yang betul-betul membutuhkan pertolongan," pungkasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kasus Bayi Debora, Rieke Beberkan UU yang Dilanggar RS Mitra
Redaktur & Reporter : Boy