jpnn.com - Sepuluh tahun itu tidak lama –kalau kita saja sudah lupa siapa menteri energi sepuluh tahun lalu.
Namun, PLN ternyata sudah melakukan kajian untuk sepuluh tahun ke depan.
BACA JUGA: Kemenhub Siapkan Roadmap Percepatan Program Kendaraan Listrik Berbasis Baterai
Hasilnya: sepuluh tahun lagi rumah-rumah penduduk sudah fisibel untuk memiliki listrik independen sendiri.
Itu pula yang mulai terjadi di California. "Sampai-sampai pembangkit listrik besar milik GE di sana harus ditutup," ujar Dr Zainal Arifin, Vice Presiden PLN bidang engineering dan technology.
BACA JUGA: LG Rilis Teknologi Pengisian Nirkabel untuk Sepeda Motor Listrik
"Padahal pembangkit itu baru berumur lima tahun," ujar Zainal di forum seminar Zoom oleh Himpunan Ahli Pembangkit Listrik (Hakit) kemarin.
"GE sampai rugi USD 1 miliar. Itu gara-gara pembangkit yang mestinya bisa dipakai 25 tahun hanya dipakai lima tahun," tambah Zainal.
BACA JUGA: Ibu Kota Negara Pindah ke Kaltim, Apakah Pertamina dan PLN Sudah Siap?
Padahal, kata Zainal, pembangkit yang ditutup itu berbahan bakar gas. Di Amerika harga gas itu murah. Itu saja sekarang sudah kalah murah dengan tenaga surya.
Zainal Arifin lulusan teknik mesin ITS. Lalu mengambil S2 di St Louis, Missouri, Amerika Serikat. Saat saya menjadi dirut PLN, Zainal masih di St Louis.
Pulang ke Indonesia ia mengambil S3 strategic management di Universitas Indonesia.
Ia orang Kraksaan, Probolinggo. Ayahnya orang dari pondok Nurul Jadid, dekat Paiton, Kraksaan. Nama Zainal diambil dari nama kiai pendiri Nurul Jadid.
Di Indonesia, menurut penelitian Zainal, harga listrik dari solar cell sebenarnya hanya Rp 1.100/kWh.
"Itu sudah lebih murah dari tarif listrik PLN yang Rp 1.400/kWh," ujar Zainal.
Hanya saja tenaga surya itu hanya bisa dipakai siang hari. Padahal rumah tangga perlu juga listrik di malam hari.
Intinya adalah baterai. Untuk menyimpan tenaga matahari di siang hari. Agar bisa dipakai malam hari.
Sekarang harga baterai itu masih mahal, tetapi akan terus turun.
Pada saatnya nanti semua rumah tangga akan mampu membeli baterai itu. Itulah saatnya rumah tangga tidak perlu lagi aliran listrik dari PLN.
Syukurlah PLN sudah memikirkan masa depannya sejauh itu. Tinggal kapan baterai murah itu akan terjadi.
Lalu bagaimana nasib PLN setelah sepuluh tahun yang akan datang. Baterai memang akan menjadi penentu energi. Sebentar lagi.
Itulah yang sudah diantisipasi oleh pemerintah. Dengan mendirikan Industri Baterai Corporation (IBC). Yang pemegang sahamnya empat BUMN: Pertamina, PLN, Antam, dan Mind d/h Inalum.
Di seminar kemarin, saya mengusulkan agar pemegang sahamnya salah satu saja: PLN atau Pertamina.
Saya membayangkan betapa sulitnya direksi IBC itu nanti. Punya bos empat orang. Sulit dalam pengertian panjangnya proses minta persetujuan. Bisa-bisa energi terbesar direksi habis untuk mengurus birokrasinya.
Padahal industri baterai harus dinamis. Teknologi baterai terus berubah. Pemilihan teknologinya harus sangat peka. Jangan sampai ketika sebuah pemikiran diproses untuk menjadi keputusan waktunya begitu panjang –saking panjangnya keputusan itu tidak relevan lagi dengan keadaan.
Dr. Agus Tjahjana W, komisaris utama IBC tampil sebagai salah satu pembicara. Dari uraiannya kita bisa tahu betapa rumit merealisasikan industri baterai ini –meski kita ini negara lumbung nikel.
"Kami harus mencari lima atau enam partner investasi," ujar Dr Agus.
Saya kenal lama dengan Dr Agus. Beliau menjadi dirjen di Kemenperin ketika saya di Jakarta. Dr Agus inilah yang berjasa besar menegosiasikan PT Inalum –berhasil pindah status dari perusahaan Jepang menjadi 100 persen BUMN.
Agar bahan tambang nikel itu menjadi katoda-baterai harus melalui lima proses pengolahan.
Tiap proses memerlukan satu pabrik yang terpisah. Tidak bisa dilakukan dalam satu line produksi.
"Mereka, calon partner itu, selalu menanyakan emangnya berapa besar pasar baterai di Indonesia," ujar Agus.
Maka sebaiknya, dua pasar besar baterai harus didorong: mobil listrik dan powerbank untuk rumah tangga.
Itu sudah sepenuhnya menyangkut kebijakan energi nasional. Tidak boleh hanya dilihat dari capaian green energi. Harus dilihat juga dari kebijakan ekonomi nasional.
"Impor BBM kita itu satu tahun mencapai Rp 300 triliun," ujar Zainal.
"Kalau tidak ada perubahan kebijakan bisa-bisa impor BBM kita mencapai dua persen PDB," imbuhnya.
Bahkan impor BBM akan bisa mencapai Rp 500 triliun.
Kelak ibu-ibu rumah tangga yang bisa menghentikan impor BBM itu. Yakni kalau kendaraannya sudah listrik, energi rumahnya sudah dari powerbank dan kompor di dapurnya sudah bukan gas atau elpiji lagi. (*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... PLN Pastikan Tetap Berikan Diskon Listrik hingga Juni, Ini Perinciannya...
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi