jpnn.com - Medan memiliki banyak tempat bersejarah peninggalan zaman Kolonial Belanda, salah satunya Rumah Tjong A Fie. Hingga saat ini gedungnya masih bisa dilihat.
Mesya Mohamad - Medan
BACA JUGA: Siswa Paling tak Suka Mapel Sejarah Dipaparkan Guru, Lantas Disuruh Menghafal
RABU, 10 Juli 2019, rumah dua lantai di Jalan Ahmad Yani, Kesawan, Medan, Sumatra Utara tampak ramai.
Ramai dengan suara anak-anak SMA sederajat, peserta Lasenas (lawatan sejarah nasional) ke-17. Mereka tampak terpesona dengan kemegahan bangunan berusia 119 tahun itu.
BACA JUGA: Lasenas ke-17 di Medan, Cara Kreatif agar Siswa Tidak Melupakan Sejarah
Sesekali terdengar celetukan mereka. Katanya, zaman dulu saja sudah semegah ini rumahnya. Ya, rumah Tjong A Fie sangat megah.
Dengan luas bangunan 4000 meter, rumah ini menjadi saksi sejarah kejayaan Tjong A Fie, seorang pengusaha dan bankir terkaya yang ikut menggerakkan perekonomian di Medan kala itu.
BACA JUGA: Jangan Manfaatkan Cagar Budaya Kadipolo untuk Area Komersial
Tjong Nyie Mie (70), cucu ke-11 dari anak ke-4 Tjong A Fie berpose di belakang foto kakeknya. Foto: Mesya/JPNN.com
Sementara para siswa mengagumi setiap sudat rumah Tjong A Fie, dari jauh sosok perempuan paruh baya mengawasi mereka. Perempuan dengan rambut potongan pendek dan dicat pirang ini bernama Tjong Nyie Mie.
Usianya tidak muda lagi. Banyak yang tidak percaya bila cucu ke-11 dari Tjong A Fie itu sudah 70 tahun.
BACA JUGA: Pak Eko: Pasti Bapak Presiden Jokowi Tidak Mau
Sejak adiknya Tjong A Fie meninggal, rumah dirawat oleh Nyie Mie. Nyie Mie tinggal di rumah itu juga. Walaupun sudah dibuka untuk umum pada 2009, tapi masih ada beberapa bagian yang tidak dibuka karena ditempati keturunan Tjong A Fie.
Diceritakan Nyie Mie, saat Rumah Tjong A Fie dibuka, lima tahun pertama pengunjungnya bisa dihitung dengan jari. Bahkan warga sekitar pun tidak ada yang tertarik untuk masuk ke dalamnya. Agar kelihatan menarik, rumah itu dicat berwarna kuning dipadukan hijau dan krem agar tidak menyerupai klenteng.
"Kalau merah kan identik dengan klenteng makanya dicat kuning agar orang tahu ini rumah," kata Nyie Mie kepada JPNN.
Meski lima tahun sepi pengunjung, keturunan Tjong A Fie tidak patah semangat. Mereka ingin masyarakat Indonesia tahu kalau di Medan ada warga Tionghoa yang turut menggerakkan ekonomi.
Tjong A Fie lahir di Tiongkok pada 1860. Dia adalah pedagang Hakka yang memiliki banyak tanah perkebunan di Medan. Dia kemudian diangkat sebagai Majoor der Chineezen di Medan dan memimpin pembangunan rel kereta api Medan-Belawan. Dia juga membangun Bank Kesawan.
Semua sejarah Tjong A Fie bisa dilihat dari foto-foto, lukisan serta perabotan rumah yang digunakan oleh keluarganya serta mempelajari budaya Melayu-Tionghoa.
Menurut Nyie Mie, di rumah bergaya arsitektur Tionghoa, Eropa, Melayu dan art-deco itu menunjukkan kalau kebinekaan sudah lama diterapkan keluarga Tjong Afie. Ini ditunjukkan dengan adanya ruang tamu khusus bagi masyarakat Melayu.
Rumah Tjong A Fie memiliki tiga ruang tamu. Selain untuk masyarakat Melayu, ada juga ruang tamu khusus Eropa dan Tionghoa. Semua sudut ruangan tertata rapi dan sangat terawat.
Bagian lain yang membuat pengunjung takjub adalah kamar Tjong A Fie bersama istri ketiganya bermarga Lim. Mulai dari peraduan, baju, hingga parfum Tjong A Fie dan sang nyonya masih ada. Mereka penggemar parfum dari Paris. Bahkan timbangan berat badan pun tetap tersimpan.
Semasa hidupnya, Tjong A Fie memiliki tiga istri. Istri pertama dia tinggalkan di Tiongkok saat Tjong A Fie hijrah ke Medan. Istri kedua berkewarganegaraan Malaysia.
Dari istri kedua ini, Tjong A Fie mendapatkan tiga anak. Istri kedua Tjong A Fie meninggal dunia karena sakit.
Tidak lama berselang, Tjong A Fie menikahi gadis Binjai yang masih keturunan Tionghoa. Dari istri ketiganya, Tjong A Fie mendapatkan tujuh anak.
Perkawinan ketiganya langgeng hingga Tjong A Fie meninggal di 1921. Sepeninggal Tjong A Fie, istrinya membawa lima anaknya yang masih kecil ke Jenewa. Sedangkan dua anak lainnya tetap di Medan karena sudah menikah.
Sejak saat itu budaya keluarga Tjong A Fie berubah 180 derajat. Perkawinan campur pun bukan lagi hal tabu. Itu sebabnya banyak keturunan Tjong A Fie yang berdarah Tionghoa-Eropa.
Satu hal yang menarik dari filosofi hidup keluarga Tjong A Fie. Kejujuran, kedermawanan, dan pendidikan merupakan hal utama. Jangan heran bila seluruh keturunan Tjong A Afie memiliki pendidikan tinggi dan merupakan jebolah perguruan tinggi luar negeri.
Sayangnya, rumah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya ini tengah menghadapi kendala. Di beberapa bagian ruangan di lantai dua mulai rusak. Di sana-sini banyak yang bocor. Kayu penyangga lantai dua juga sudah lapuk dan harus segera diganti.
BACA JUGA: Sudah Lulus PPPK, Honorer K2 Tetap Berharap Revisi UU ASN Dituntaskan
Nyie Mie mengeluhkan, bila tidak direstorasi, bangunan bersejarah di lantai dua ini bisa ambrol. Sementara hingga saat ini tidak ada perhatian dari Pemda setempat.
Nyie Mie hanya bisa merawat bagian-bagian kecil seperti cat dan menggaji 12 pegawai dari hasil penjualan tiket masuk Rp 35 ribu per orang. Pernah Nyie Mie mengalami kesulitan keuangan lantaran sejak Januari hingga Mei 2019 sepi pengunjung. Mahalnya harga tiket pesawat berimbas pada tingkat kunjungan.
"Untunglah ada hajatan Lasenas jadi pengunjung ramai. Saya juga senang anak-anak remaja diajak ke sini agar mereka tahu bagaimana kehidupan Tjong A Fie yang asli Tionghoa dengan masyarakat lokal. Sangat akur, penuh kekeluargaan. Makanya saat kakek meninggal, ribuan masyarakat lokal ikut mengantar jenazahnya," tuturnya.
Saat ini Nyie Mie berharap pemerintah bisa merestorasi Rumah Tjong A Fie. Dia sadar biaya restorasi tidaklah sedikit. Namun, jika harus membebankan seluruhnya kepada keluarga Tjong A Fie sangat tidak mungkin.
Mengingat rumah tersebut sudah menjadi cagar budaya yang notabene jadi tanggung jawab pemerintah. (esy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jalur Tol Malang â Pandaan Berpotensi Diubah
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad