jpnn.com - JAKARTA – Rupiah masih perkasa dalam beberapa waktu terakhir.
Nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan terhadap dolar Amerika Serikat (USD).
BACA JUGA: Jerman Jajaki Kerja Sama di Bidang Shipyard di Batam
Namun, penguatan kurs yang terlalu tajam perlu dihindari agar defisit neraca perdagangan tidak melebar.
Pada perdagangan kemarin, rupiah ditutup menguat tiga poin ke level Rp 12.992 per USD.
BACA JUGA: Pak Luhut, Tolong Tinjau Ulang Rencana Ini
Artinya, nilai tukar rupiah menguat signifikan dari Rp 13.943 per USD pada 8 Januari lalu.
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengingatkan, penguatan kurs yang berlebihan tidak terlalu baik bagi negara yang mengalami defisit dalam neraca perdagangan seperti Indonesia.
BACA JUGA: Indeks Syariah dan IHSG Kompak Melemah
Bila kurs rupiah terlalu kuat, lanjut dia, nilai impor cenderung terus meningkat. ’’Kalau kurs kuat, defisit semakin besar. Kurs yang menguat bukan sesuatu yang baik,’’ katanya di gedung Bank Indonesia kemarin (6/10).
Menurut dia, kondisi nilai tukar semestinya menggambarkan kondisi fundamental ekonomi sebuah negara.
Bagi Indonesia yang nilai impornya lebih besar daripada ekspor, penguatan kurs yang berlebihan justru merugikan.
”Lain halnya dengan Singapura, Malaysia, atau Filipina yang kondisinya sudah surplus,’’ imbuhnya.
Pada 2013, defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai USD 31 miliar, lantas turun pada 2015 menjadi USD 18 miliar dan kembali melonjak ke USD 21 miliar pada sembilan bulan tahun ini.
Indikator kesehatan ekonomi sebuah negara terlihat dari tiga faktor. Yakni, kondisi moneter, fiskal, dan pergerakan sektor riil.
Kondisi moneter sangat dipengaruhi sentimen ekonomi global, terutama negara-negara mitra ekspor utama.
Saat ini kondisi ekonomi global belum sesuai ekspektasi. Mirza mencontohkan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok terpangkas dari 10–12 persen per tahun menjadi 6,3–6,5 persen.
Lantaran perekonomian di Tiongkok melambat, ekspor komoditas Indonesia ke negara tersebut ikut terpukul.
Padahal, sebanyak 30 persen produk ekspor Indonesia merupakan komoditas. Terutama batu bara, karet, dan minyak sawit.
”Sumatera berkontribusi 22 persen di antara ekonomi Indonesia. Kalimantan menyumbang sembilan persen. Ketika (ekspor, Red) komoditas turun, pertumbuhan ekonomi daerah terganggu’’ tambahnya.
Berdasar sisi fiskal, Mirza menilai upaya menteri keuangan dalam mengendalikan defisit dalam anggaran negara melalui pemangkasan belanja Rp 113 triliun layak diapresiasi.
Tambahan pendapatan negara dari amnesti pajak juga membuat defisit anggaran negara terpangkas menjadi 2,6–2,7 persen dari produk domestik bruto.
Dia mengungkapkan, pekerjaan rumah pemerintah adalah memastikan deregulasi sektor riil melalui paket kebijakan 1 hingga paket kebijakan 13 berhasil.
”Jangan hanya berhenti setelah menerbitkan paket. Tapi, paketnya harus dievaluasi berjalan atau tidak. Jika belum, segera dilakukan penyesuaian,” sarannya. (dee/c16/noe)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Ada Subsidi Rp 27 Juta agar MBR Punya Rumah
Redaktur : Tim Redaksi