jpnn.com - JAKARTA - Penundaan langkah tapering off oleh bank sentral Amerika (The Fed) seolah menjadi antiklimaks dari gejolak pasar keuangan dunia dalam beberapa bulan terakhir. Aksi itu pun berdampak pada penguatan signifikan nilai tukar mata uang emerging market, termasuk Indonesia.
Ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Ariefianto mengatakan, penundaan tapering off meredakan turbulensi di pasar keuangan global dan membalikkan aliran modal yang selama ini kabur dari emerging market ke AS, kini kembali masuk ke emerging market seperti Indonesia.
BACA JUGA: 2015, Naik Mobil Murah Justru Boros
"Ini tecermin dari penguatan Rupiah dan IHSG (indeks harga saham gabungan)," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (19/9).
Sebagai gambaran, nilai tukar Rupiah berdasar Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI) menunjukkan, Rupiah kemarin ditutup di posisi 11.278 per USD, menguat 214 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya yang di posisi 11.492 per USD.
BACA JUGA: Jadi Biang Kemacetan, Mobil Murah akan Dibatasi
Di pasar spot, Rupiah menguat lebih signifikan dan kembali ke level di bawah 11.000 per USD. Data kompilasi Bloomberg menunjukkan, kemarin Rupiah ditutup di posisi 10.847 per USD, menguat 477 poin atau 4,21 persen dibanding penutupan hari sebelumnya. Penguatan ini merupakan yang terbesar dibanding seluruh mata uang dunia lainnya.
Sementara itu, di pasar modal, Bursa Efek Indonesia (BEI) kemarin diwarnai maraknya aksi beli saham oleh investor. AKibatnya, IHSG pun melonjak 207 poin atau 4,65 persen ke level 4.670. Ini merupakan penguatan terbesar dibanding bursa-bursa utama di regional Asia.
BACA JUGA: Kenaikan Tarif Tol Harus Diimbangi Kualitas Layanan
Ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) Dradjad Wibowo menambahkan, penundaan tapering off mambuat pasar keuangan dan pasar modal Indonesia kembali mendapat limpahan dana asing sehingga harga-harga saham diproyeksi akan kembali rebound. "Ini seperti durian runtuh, tapi mungkin hanya 1 atau 3 bulan saja," katanya.
Karena itu, lanjut dia, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) harus terus fokus dan mendorong upaya perbaikan defisit transaksi berjalan (current account) untuk memperbaiki fundamental perekonomian Indonesia. "Dengan kondisi saat ini, saya kira Rupiah akan ada ekuilibrium baru di kisaran 10.500 sampai 11.000 per USD," sebutnya.
Senada dengan Dradjad, Doddy juga mengatakan bahwa pemerintah dan BI harus terus waspada dan tidak boleh lengah dengan aliran hot money dalam jangka pendek ini. Sebab, menurut dia, isu tapering off akan kembali muncul dalam beberapa bulan ke depan. "The Fed mau tidak mau akan melakukan tapering, tinggal menunggu waktu saja," ujarnya.
Untuk itu, Indonesia harus benar-benar siap ketika tapering off nanti benar-benar dilakukan oleh The Fed. Upaya menggenjot ekspor dan mengerem impor harus terus dilakukan untuk memperbaiki defisit neraca dagang. "Jangan sampai ketika tapering dilakukan dua atau tiga bulan ke depan, fundamental ekonomi kita lemah, karena itu akan sangat buruk bagi perekonomian Indonesia," katanya.
Sementara itu, penundaan pemberlakuan kebijakan bank sentral Amerika atau The Fed untuk mengurangi stimulus atau (quantitative easing/QE) juga direspon pihak istana. Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan Firmanzah menuturkan, adanya kepastian dari pihak The Fed, diyakini bisa meredam gejolak ekonomi global.
"Iya, kita optimis keputusan The Fed tadi malam akan meredam gejolak pasar keuangan dunia," ujar Firmanzah di Jakarta, kemarin.
Meski begitu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menuturkan, pemerintah akan terus memonitor dan mengikuti pergerakan capital flow terhadap nilai tukar dan IHSDG.
Selain itu, pemerintah juga akan terus melanjutkan program dan paket kebijakan untuk memperkuat fundamental ekonomi. "Caranya dengan peningkatan investasi, mempersempit defisit transaksi necara pembayaran, penguatan daya beli masyarakat," imbuhnya. (owi/ken)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Mobil Murah Dinilai Bikin Masalah
Redaktur : Tim Redaksi