Rupiah Remuk, Akankah Berdampak pada Harga BBM?

Rabu, 05 September 2018 – 17:24 WIB
Ignasius Jonan. Foto: Imam Husein/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dipastikan tidak akan memicu kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) dalam waktu dekat. Sejumlah upaya terus dilakukan guna menekan kenaikan harga BBM.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, ada beberapa hal yang dilakukan seperti meningkatkan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri). Misalnya, mengatur bagian produksi minyak mentah atau crude milik KKKS (kontraktor kontrak kerja sama) asing harus dijual ke Pertamina.

BACA JUGA: Surya Paloh Sebut Terpuruknya Rupiah sebagai Cobaan

’’Kita produksi, kita lelang di Singapura. Pertamina butuh, impor crude beli di Singapura, kan lucu. Minyak kirim luar negeri kita impor,’’ ujarnya tadi malam.

Berdasar data Kementerian ESDM, neraca sektor migas pada triwulan kedua 2018 membaik jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Pada triwulan kedua 2018, neraca sektor migas surplus USD 0,25 miliar.

BACA JUGA: Hal Ini Memperparah Pelemahan Rupiah

Perinciannya, total penerimaan negara dari sektor migas USD 3,57 miliar. Sedangkan ekspor migas USD 2,97 miliar dan impor migas maupun produk turunannya mencapai USD 6,29 miliar.

Meski demikian, neraca perdagangan migas Indonesia memang defisit lantaran nilai impor lebih besar ketimbang ekspor. Pemerintah juga memastikan sejumlah proyek kilang akan terus berjalan meski TKDN-nya rendah, yakni 10–20 persen.

BACA JUGA: Rupiah Terkapar, Ini Langkah Bank Indonesia

Sedangkan 80 persen komponen pembangunan kilang masih harus diimpor. Pertamina diharapkan bisa mendapatkan pinjaman dana dalam mata uang asing guna membiayai impor agar tidak semakin membebani nilai tukar rupiah.

Kewajiban KKKS menjual minyak bagian mereka ke Pertamina juga mampu menghemat pengeluaran Pertamina dalam mata uang asing. Sebab, ada penghematan ongkos angkut jika harus membeli minyak dari luar negeri.

Selain itu, untuk ekspor sumber daya alam (SDA) diatur dengan menggunakan LC (letter of credit). Tujuannya, pemerintah bisa memastikan seluruh devisa hasil ekspor kembali ke Indonesia maupun disimpan di perbankan BUMN di luar negeri.

’’Kita akan beri sanksi untuk kurangi kemampuan ekspornya,’’ katanya. Jika devisa hasil ekspor lebih rendah daripada nilai PEB (pemberitahuan ekspor barang) disetorkan, bakal dikenai sanksi administrasi 0,5 persen untuk 30 hari kali 3.

Menurut data SKK Migas, hingga sekarang belum ada KKKS yang melanggar ketentuan tersebut. Sistem tersebut diberlakukan sejak akhir 2016. Untuk sektor mineral dan batu bara, perusahaan yang melanggar diberi sanksi pengurangan produksi.

Dia juga menerangkan, ada penundaan proyek 35.000 mw sejumlah 15.200 mw lantaran pertumbuhan konsumsi listrik tidak sesuai target awal. ESDM memperkirakan konsumsi listrik tahun ini hanya tumbuh 6 persen. Padahal, dalam APBN 2018, konsumsi listrik diperkirakan bisa tumbuh 8 persen.

BACA JUGA: Nilai Tukar Rupiah Makin Buruk, Jangan Bandingkan dengan 98

Total nilai investasi yang akan digeser dari penundaan pun USD 24 miliar hingga USD 25 miliar, serta mengurangi beban impor USD 8 miliar hingga USD 10 miliar. ’’Kapasitas pembangkit yang ditunda itu 2019 ke 2021 hingga 2026,’’ kata mantan menteri perhubungan tersebut.

Meski demikian, dia optimistis penundaan tersebut tidak akan mengurangi target pemerintah untuk mencapai rasio elektrifikasi 99 persen pada 2019. (vir/c4/oki)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Nilai Tukar Rupiah Makin Buruk, Jangan Bandingkan dengan 98


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler