Rupiah Semakin Tertekan

Tembus Level Psikologis Rp 12.000 Per USD

Rabu, 25 Juni 2014 – 05:19 WIB

jpnn.com - JAKARTA - Pertahanan rupiah akhirnya jebol juga. Setelah tiga pekan bertahan di kisaran 11.700"11.900, rupiah kemarin menembus level psikologis 12.000 per USD.

 

Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung (CT) menyatakan, pelemahan nilai tukar saat ini terjadi karena menumpuknya kebutuhan valuta asing (valas) sebagai akibat pembayaran dividen kepada pemegang saham di luar negeri.

BACA JUGA: Daging Ayam, Telur dan Bawang Alami Kenaikan Harga

"Jadi, ini sifatnya seasonal (musiman)," ujarnya di kantor Kemenko Perekonomian kemarin (24/6).
 
Berdasar data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis Bank Indonesia (BI), rupiah kemarin (24/6) ditutup di level 12.000 per USD, melemah jika dibandingkan dengan penutupan Senin (23/6) di posisi 11.971. Posisi 12.000 per USD itu merupakan yang terendah sejak 13 Februari 2014. Ketika itu rupiah berada di level 12.073 per USD.
 
Sementara itu, di pasar spot berdasar data Bloomberg, rupiah yang pekan lalu wara-wiri di 12.000-an per USD kemarin justru sedikit menguat ke level 11.989. Di kawasan Asia-Pasifik, kurs mata uang terlihat bergerak variatif.

BACA JUGA: Tingkat Keterisian Pelni Jelang Ramadan Baru 30 Persen

Mata uang yang kemarin menguat terhadap USD adalah dolar Australia, rupee India, ringgit Malaysia, dan yen Jepang. Mata uang yang melemah terhadap USD, antara lain, dolar Hongkong, dolar Singapura, peso Filipina, dan yuan Tiongkok.
 
Menurut CT, selain periode repatriasi atau pembayaran dividen oleh perusahaan penanaman modal asing (PMA), Mei dan Juni berbarengan dengan masa pembayaran cicilan utang luar negeri. "Karena itu, kebutuhan dolar (AS) naik dan menekan rupiah," katanya.
 
Bagaimana prospek ke depan? CT memproyeksi, tekanan terhadap rupiah akan mereda pada Juli mendatang. Selain selesainya periode repatriasi dan pembayaran cicilan utang luar negeri, rupiah berpotensi mendapat sentimen positif dengan masuknya investor setelah pemilihan presiden 9 Juli mendatang. "Tentu dengan catatan pemilu berjalan baik dan tidak ada keributan," ucapnya.
 
Ekonom Bank Danamon Dian Ayu Yustina mengungkapkan, depresiasi rupiah memang sudah diproyeksikan terjadi pada Juni ini. Salah satu faktornya adalah tingginya impor barang konsumsi untuk persiapan puasa dan Lebaran sehingga kebutuhan USD naik.

"Tapi, kalau rupiah melemah tajam ke 12 ribu (per USD), BI pasti intervensi untuk menjaga agar volatilitas tidak terlalu tinggi," ujarnya.
 
Menteri Keuangan Chatib Basri memiliki analisis tersendiri terkait dengan depresiasi rupiah akhir-akhir ini. Selain faktor fundamental, lanjut dia, rupiah melemah karena faktor sentimen memanasnya tensi politik menjelang pemilihan presiden karena kompetisi makin ketat. Apalagi survei-survei terkini menunjukkan perolehan suara dua pasangan capres-cawapres tidak akan terpaut jauh.
 
Hal itu, kata Chatib, berpotensi memicu sengketa jika ada salah satu pasangan capres-cawapres yang tidak bisa menerima hasil pemilu dan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu bisa memicu goyahnya stabilitas politik dan ekonomi Indonesia.

BACA JUGA: Sambut Ramadan dan Lebaran, CT Cs Rakor Dua Segmen

"Orang luar melihat potensi dispute (perselisihan) hasil pemilu kalau perbedaan perolehan suaranya tipis," katanya.
 
Selain itu, rilis survei Deutsche Bank menunjukkan adanya kekhawatiran investor jika pasangan Prabowo-Hatta memenangi pemilihan presiden. Dalam survei bertajuk "Indo Strategy Political Series" itu, 56 persen investor akan melakukan aksi jual dan hanya 13 persen yang melakukan aksi beli jika pasangan Prabowo-Hatta menang.

Sebaliknya, 74 persen investor akan melakukan aksi beli dan hanya 6 persen yang melakukan aksi jual jika pasangan Jokowi-Jusuf Kalla menang.
 
"Total 87 persen investor percaya kepemimpinan pemerintahan berikutnya akan memengaruhi keputusan investasi mereka di Indonesia," jelas survei tersebut.
 
Meski demikian, lanjut Chatib, secara fundamental, ekonomi Indonesia diperkirakan membaik pada triwulan III 2014. Dia menyebutkan, siklus neraca perdagangan biasanya membaik pada triwulan III.

Dengan demikian, defisit transaksi berjalan pun diproyeksi membaik. "Jadi, secara fundamental, saya yakin depresiasi saat ini bersifat temporer saja sehingga ada potensi rupiah kembali menguat," tegasnya.
 
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menyatakan, pelemahan rupiah yang mencapai 12.000 per USD dipicu kondisi eksternal. Yakni, kondisi geopolitik di Iraq.

Sementara itu, di dalam negeri ada tekanan dari defisit transaksi berjalan dan investor menunggu hasil pilpres 9 Juli mendatang. "Setelah pilpres, kami harap situasi lebih baik dan perdagangan bisa lebih baik pada Mei 2014," katanya kemarin (24/6).
 
Ke depan, rupiah diprediksi sulit kembali ke rentang di bawah 11.000 per USD. Dalam rapat Badan Anggaran DPR yang membahas RAPBN 2015, BI memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap USD tahun depan berkisar 11.900"12.100. "Perkiraan tersebut sudah menghitung sejumlah risiko perekonomian, baik eksternal maupun internal," jelas Agus.
 
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, pasar keuangan di dalam negeri yang tidak terlalu dalam membuat rupiah akan sangat sensitif terhadap berbagai sentimen negatif, baik dari dalam maupun luar negeri. Namun, menurut dia, sebetulnya BI nyaman dengan situasi rupiah di kisaran 11.400"11.800 per USD.

Tetapi, masih adanya ancaman defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan mengharuskan rupiah dijaga agar lebih kompetitif bagi ekspor sehingga bisa mengurangi impor. "Jadi, rupiah yang sedikit under value itu lebih baik dalam situasi saat ini," tegasnya.
 
Di sisi lain, tekanan terhadap rupiah saat ini juga tidak terlepas dari besarnya permintaan valuta asing (valas), khususnya untuk pembelian korporasi dan ritel serta pembayaran utang luar negeri.

Adanya kesepahaman mengenai lindung nilai (hedging) valas untuk badan usaha milik negara (BUMN) yang telah disepakati sebagai kegiatan yang tidak merugikan negara juga diharapkan bisa berdampak positif bagi stabilitas nilai tukar rupiah. "BI tetap ada di pasar untuk menjaga supaya volatilitas tidak terlalu tinggi," katanya. (owi/gal/c5/sof)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan: Kereta Buatan PT INKA Harus Dibeli PT KAI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler