Rupiah Terjepit di Tengah Pertarungan Empat Gajah

Kamis, 24 September 2015 – 05:24 WIB
Foto ilustrasi.dok.Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA - Para spekulan di pasar keuangan yang terus memanfaatkan situasi uncertainty atau ketidakpastian akibat langkah Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang mengulur-ulur kenaikan suku bunga.

Pakar Keuangan Yanuar Rizki mengatakan, para pelaku pasar uang yang beroperasi di Indonesia sebenarnya sudah punya ekspektasi jika The Fed menaikkan suku bunga, maka Bank Indonesia (BI) akan ikut mengerek bunga BI Rate, sehingga mereka bisa mendapat keuntungan lebih tinggi dari pendapatan bunga pada instrumen investasi di Indonesia.

BACA JUGA: Gara-gara KRL Tabrakan, Proyek KA Cepat Jakarta-Bandung Jadi Terancam

Tapi, skenario itu tidak menjadi kenyataan. "Para investor itu akhirnya cari untung di pasar uang melalui selisih nilai tukar, sehingga rupiah bergejolak dalam tiga hari terakhir," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (23/9).

Dalam beberapa hari terakhir, rupiah memang kian tenggelam disapu gelombang penguatan dolar AS (USD), hingga terus mencatat rekor posisi terlemah sejak era krisis moneter 1998. Berdasar data Jakarta Interbank Spot Dollar Offered Rate (Jisdor) yang dirilis BI kemarin, rupiah sudah mencapai level terendah baru di 14.623 per USD, melemah 37 poin dibanding penutupan sehari sebelumnya.

BACA JUGA: Ini Janji Manis Menteri Perindustrian Jika Proyek Infrastruktur Gunakan Produk Lokal

Di pasar spot, rupiah bahkan sudah terhempas lebih jauh. Berdasar data Bloomberg, rupiah terus tertekan sepanjang sesi perdagangan hingga menyentuh rekor terendah 14.730 per USD, sebelum akhirnya rebound atau menguat di akhir sesi perdagangan dan ditutup di level 16.646, melemah 95 poin atau 0,65 persen dibanding penutupan hari sebelumnya.

Kemarin, greenback alias dolar AS memang terlihat sangat perkasa. Dari 13 mata uang utama di kawasan Asia Pasifik, 10 diantaranya berhasil ditekuk greenback. Bahkan, rupiah yang melemah 0,65 persen dalam satu hari pun masih terbilang lumayan karena ada dua mata uang lain yang melemah lebih parah yakni, won Korea yang tersungkur hingga 1,02 persen serta ringgit Malaysia yang melemah tajam 0,91 persen.

BACA JUGA: Rupiah Kembali Tergerus, Anggota DPR Curiga BI Raup Untung dari Selisih Kurs

Berikutnya dolar Taiwan 0,63 persen, dolar Singapura 0,55 persen, peso Filipina 0,30 persen, baht Thailand 0,21 persen, rupee India 0,16 persen, yuan Tiongkok 0,12 persen, serta yen Jepang 0,09 persen. Sementara itu, tiga mata uang berhasil menguat terhadap dolar AS, yakni dolar Australia, dolar New Zealand,  dan dolar Hongkong.

Menurut Yanuar, kondisi semacam ini tidak akan selesai dalam waktu singkat. Dia menyebut, ketika The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga karena realisasi inflasi hanya 1,7 persen atau masih di bawah proyeksi 2,0 persen, maka bank sentral yang dipimpin Janet Yellen itu seakan mengarahkan moncong senjata ke Bank Sentral Tiongkok.

Sebab, gara-gara Tiongkok melemahkan atau mendevaluasi mata uang Yuan, maka produk-produk impor asal Tiongkok yang membanjiri AS menjadi lebih murah, sehingga inflasi rendah dan daya saing produk made in USA kian lemah. Artinya perang kurs yang dipicu Tiongkok itu, sekarang memasuki fase baru.

"Ibarat pertandingan sepakbola, sekarang adalah awal masa perpanjangan waktu. Tapi di pasar finansial, perpanjangan waktu ini tak terbatas, bisa lebih lama dari waktu normal pertandingan, sampai salah satunya kalah atau mengalah," urai pakar keuangan yang juga aktivis peneliti di Indonesia Corruption Watch (ICW) itu.

Kondisi pasar finansial global yang penuh ketidakpastian ini diperkirakan baru akan mereda ketika The Fed mengambil sikap untuk menaikkan suku bunga. Namun jika The Fed masih menggantung keputusannya, maka semua akan ikut-ikutan menunggu dan saling mengintai.

Yanuar menyebut, saat ini ada empat pemain besar yang saling mengintip kekuatan lawan sebelum masuk ke medan peperangan kurs yang lebih besar. Selain The Fed dan Bank Sentral Tiongkok yang sudah saling berhadapan, ada pula Bank Sentral Eropa dan Bank Sentral Jepang yang siap masuk gelanggang.

"Akibatnya, rupiah dan mata uang global lainnya, kini terhimpit di antara empat gajah yang siap bertarung," ujarnya.

Kondisi semacam itulah yang akhirnya dimanfaatkan para pelaku pasar keuangan untuk mengeruk keuntungan. Karena itu, lanjut Yanuar, upaya BI mengintervensi pasar sehingga membuat cadangan devisa menyusut hingga USD 103 miliar, juga hanya mampu sedikit menahan laju kejatuhan rupiah. "Sebab tekanannya jauh lebih kuat dari kemampuan bank sentral kita, dan ini juga dialami mata uang di banyak negara lain," katanya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Yanuar menyebut, dalam kondisi seperti ini, tidak banyak yang bisa dilakukan BI selaku otoritas moneter maupun pemerintah untuk menahan pelemahan rupiah. Untuk itu, daripada mengerahkan seluruh energi untuk membendung pelemahan rupiah, pemerintah dan BI lebih baik berkoordinasi lebih erat untuk meminimalisir dampaknya.

Misalnya, meredam inflasi dengan memperbaiki alur distribusi barang, terutama kebutuhan pokok, agar imported inflation atau inflasi yang dipicu kenaikan harga produk impor akibat pelemahan rupiah, bisa dikurangi.

Selain itu, perbaikan iklim investasi dan iklim bisnis agar pelaku usaha menghindari PHK (pemutusan hubungan kerja), juga meningkatkan efektifitas belanja pemerintah agar memicu bergeraknya sektor riil. "Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan sudah lumayan bagus, tinggal bagaimana implementasinya saja," ujarnya. (owi/ken)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Satgas Dwelling Time Besutan Menko Rizal Langsung Bertindak


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler