Rupiah Terperosok, Inflasi Mengancam

Selasa, 28 Oktober 2008 – 14:24 WIB
KURS dolar AS (USD) terus menguat terhadap rupiahDalam perdagangan Senin (27/10), nilai tukar rupiah terperosok tajam di posisi Rp10.749 per USD

BACA JUGA: Lawan Sentimen Pasar, CWMA Rekomendasi Hindari Obral Saham

Itu berarti ada pelemahan atau melemah 744 poin dibanding penutupan perdagangan pekan lalu


Turbulensi finansial membuat investor memilih lebih waspada dan menurunkan risk appetite-nya terhadap instrumen di emerging countries

BACA JUGA: Purnomo : Subsidi BBM 2008 Overload

Padahal, sebenarnya imbal hasil instrumen di emerging countries lebih menarik
Misalnya, imbal hasil SUN yang terus naik sehingga jauh lebih tinggi dibandingkan US Treasuries

BACA JUGA: Konsumsi BBM 2008 Lampaui APBN

Juga, bunga yang ditawarkan BI rate (9,25 persen) jauh lebih tinggi dibandingkan bunga The Fed (1,5 persen).

Chief Economist Bank BNI Tony Prasentiantono mengatakan, ada kepanikan investor di negara-negara maju yang sudah sangat besar"Buktinya poundsterling (GBP), euro (EUR), dan dolar Aussie (AUD) terbanting sangat tajamLalu, kepanikan ini mereka tularkan juga ke emerging countries, meski dengan intensitas yang lebih rendah," jelasnya kepada koran ini kemarin (27/10)Tony mengatakan, depresiasi rupiah masih lebih rendah daripada depresiasi poundsterling, euro, dan AUD

Selain itu, sambung dia, banyak mata uang yang selama ini overvalued terhadap USD, sehingga sekaranglah terjadinya koreksi"Rupiah termasuk yang mengalami overvalued dan terkoreksi," tuturnya.

Terdepresiasinya rupiah memang sebagai akibat berkurangnya pasokan dolar ASItu karena investor asing menarik dana USD-nya ke luar negeri, baik untuk pribadi maupun korporasiKondisi itu diperparah oleh makin sulitnya pendanaan USD dari pasar luar negeri karena lembaga keuangan di tingkat global sedang berkonsentrasi menyelesaikan masalah likuiditas valas mereka.

Ekonom dan anggota Komisi Keuangan DPR RI Dradjad HWibowo mengatakan, otoritas mesti waspada terhadap aksi spekulan yang hanya memperkeruh kondisi pasar uang nasionalKarena itu, jelas dia, bank sentral harus melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketatApalagi, BI baru saja membuat kebijakan untuk memperlonggar likuiditas valas"Perlu dimonitoring bagaimana operasi bank-bank yang ikut memainkan valas," katanya

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu mengatakan pelemahan nilai tukar tidak hanya terjadi pada rupiah, namun telah menjangkit secara regionalAnggito mengatakan fundamental ekonomi masih cukup bagus, ditunjukkan dengan pertumbuhan yang masih di atas 6 persenIni juga ditunjang dengan cadangan devisa yang cukup kuat dan industri perbankan yang sehat"Jadi secara fundamental tidak ada yang mesti dirisaukanTidak ada perubahan apa-apa yang cukup signifikan," kata Anggito kemarin (27/10)

Indonesia tidak bisa sendirian dalam menghadapi terpaan krisis keuangan globalIni karena hampir semua negara mengalami koreksi terhadap mata uangnya"Sekarang tetap kita lakukan reform sajaJadi untuk BI, akan menjaga keseimbangan baru ini," kata AnggitoSolusi bersama dilakukan melalui ASEAN plus 3 maupun dengan negara-negara G-20

Indonesia juga belum berminat menerapkan sistem devisa terbatasMenurut Anggito, yang terpenting saat ini adalah perbaikan pengawasan dan pengendalian terhadap valuta asing"Yang kita lakukan ada monitoring, pengawasan, pendendalian yang lebih baikBagaimana orang beli dolar biar tidak untuk spekulasi," kata Anggito.

Direktur Eksekutif Indef Ahmad Erani Yustika mengatakan, pelemahan rupiah berpotensi membuat harga barang-barang impor menanjakOperasional perusahaan-perusahaan yang menggunakan valas juga bisa membengkakSelain itu, perusahaan di Indonesia yang punya utang berdenominasi USD tentu nilai utangnya akan ikut membesar"Semua itu berpotensi mempersulit gerak dunia usaha, yang muaranya bisa menyebabkan inflasi," ujar doktor ekonomi lulusan Goettingen University, Jerman, itu(sof/eri)

BACA ARTIKEL LAINNYA... 2010, Tarif Dasar Listrik Naik 30%


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler